Keesokan harinya tepatnya saat jam lima sore waktu Seattle, Washington DC.
Mark turun dari mobil hitamnya sambil menelepon seseorang. Pria terlihat baru pulang dari kantor karena mengenakan pakaian formal berupa setelan jas biru dipadu dengan dasi silver bermotif garis miring serta menenteng tas kerja berwarna hitam.
"Aku akan mengatur waktunya ..tenang saja, aku akan menepati janjiku," kata Mark yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon, lalu menutup telepon dan segera menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya sambil berjalan memasuki rumah mewahnya yang bernuansa putih metalik itu.
"Tidak biasanya kamu pulang jam segini," sapa Adriana menyambut kedatangan Mark di ruang tamu. Dia sedikit terkejut karena suaminya pulang sore, sedangkan biasanya selalu pulang larut malam.
"Apa yang salah jika aku pulang lebih awal? Aku ingin mengajak kamu dan Evan makan malam di luar." Mark tersenyum pada Adriana, sesekali melirik Evan yang masih sibuk dengan mainannya di meja ruang tamu.
"Itu tidak salah, hanya terasa tidak biasa karena akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam," jawab Adriana sinis. Dia mulai merasa jijik dengan sikap suaminya yang berlagak manis, apalagi semalam bersama wanita lain..
"Aku hanya ingin bersenang-senang denganmu dan putraku, aku sadar aku harus meluangkan waktu untuk kalian." Mark berjalan ke arah Evan, lalu segera menggendongnya, menciuminya dengan gemas. Dia segera berjalan menuju kamar dengan memanggul putranya itu.
Evan merasa senang saat Mark menggendongnya. Bocah yang memakai celana santai hitam dan t-shirt putih itu tertawa bahagia sambil meremas rambut ayahnya tanpa memperdulikan mainannya lagi.
Adriana hanya tersenyum tipis. dia merasa suaminya hanya menutupi sesuatu darinya. Dan entah apa yang akan terjadi, mungkinkah dia akan dibuat puas, lalu ditinggalkan saat tengah malam seperti malam-malam sebelumnya? Kita lihat saja seberapa kuat dan sabar wanita itu.
___
Jam tujuh malam ...
Adriana melihat pantulan dirinya cermin besar di kamarnya. Dia mengenakan terusan dress berwarna gold, memoles wajahnya dengan make up tipis, dan membiarkan rambutnya yang panjang bergelombang terurai begitu saja. Ibu muda itu sudah siap dengan penampilan sederhananya, sementara suaminya menunggu di ruang tamu bersama putra mereka.
Karena menunggu terlalu lama, Mark segera menyusul Adriana ke kamar.
"Adriana, apa kamu belum selesai?" tanya Mark saat memasuki ruangan.
"Sudah. Ayo berangkat," seru Adriana sambil mengambil tas kecil berwarna biru gelap yang selalu dibawanya saat bepergian,. kemudian mendekati Mark. Suaminya segera meraih tangannya dan menuntunnya keluar dari kamar.
"Kalian mau ke mana?" tanya dave sambil menatap pasangan suami istri yang jarang bersama namun kini terlihat mesra bergandengan tangan, sedangkan Evan segera menghampiri mereka untuk meminta digendong.
"Kita akan dinner," kata Mark sambil menggendong Evan.
Adriana hanya terdiam dengan wajah masamnya yang tak menunjukkan kebahagiaan samasekali, karena masih mencurigai sikap aneh Mark dan teringat pada kejadian semalam.
Dave bisa melihat ada semburat kesedihan di mata Adriana. Namun, dia memilih untuk tetap diam tanpa bertanya mengapa dia tampak mendung.
"Apa kamu ingin ikut?" tanya Mark dengan tersenyum mengejek.
"Hmm, tidak. Aku tidak tertarik," jawab Dave kemudian segera pergi ke kamarnya.
Mark kembali menatap Adriana. "Ayo kita berangkat, aku sudah booking tempat dinner untuk kita," ucapnya.
"Booking?"Adriana tampak tak percaya.
"Iya, Sayang. Aku ingin kita makan dengan nyaman," jelas Mark kemudian segera mengajak Adriana keluar dari rumah sambil menggendong Evan.
Dari lantai atas, Dave tersenyum tipis melirik kebersamaan Adriana dan Mark. "Kamu tidak pantas untuk Adriana. Diu diam-diam kecewa padamu, Mark. Tapi kamu tidak menyadarinya, bahkan masih selalu menyakitinya,' batinnya.
"Kenapa kamu melihat mereka seperti itu?" tanya Byanca, yang telah mengawasi Dave dari depan pintu kamarnya.
"Tidak apa-apa," jawab Dave dengan tatapan datar lalu meninggalkan Byanca.
"Aku tahu kamu menyukai Adriana. Ini gila, benar-benar gila. Drama apa lagi yang akan terjadi karena wanita itu?" Byanca bermonolog dengan dirinya sendiri sambil tersenyum sinis menatap punggung Dave yang berjalan menuju kamar.
Selama ini Byanca lebih memperhatikan tingkah Dave yang selalu lebih memperhatikan Adriana dan Evan ketimbang Mark sebagai suami. Dia merasa curiga bahwa kakaknya itu menyukai istri kakaknya. Dasar gadis penguntit sialan!
___
Selama dalam perjalanan menuju restoran, hanya ada keheningan. Adriana enggan berbicara sepatah kata pun dan hanya menatap pemandangan kota dari balik jendela mobil. Terkadang, suara celoteh Evan memecah kesunyian.
"Banyak lampu...." Evan menunjuk lampu warna-warni yang menghiasi gedung pencakar langit. Dia duduk di pangkuan sang ibu dengan tatapan mengarah ke arah kaca depan mobil.
"Apa kamu suka lampu seperti itu?" tanya Mark dengan tersenyum lalu kembali menatap kedepan.
Evan hanya menanggapi ayahnya dengan anggukan. Matanya tetap fokus melihat pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Wajar saja, karena bocah itu jarang diajak keluar malam oleh orang tuanya.
"Besok, papa akan beli lampu seperti itu untuk diletakkan di kamarmu," kata Mark sambil mengelus rambut lebat Evan.
"Di mana kita akan makan malam?" tanya Adriana tanpa menoleh.
"Di restoran tempat kita biasa makan malam dulu," kata Mark sambil sesekali menoleh untuk melihat istrinya yang tampak tidak senang.
"Oh...." Adriana mengangguk mengerti lalu terdiam lagi.
"Mengapa kamu terlihat tidak senang, apa ada masalah?" tanya Mark, merasakan perbedaan pada Adriana. biasanya, istrinya itu bersikap ramah dan selalu tersenyum padanya. Tapi sejak dia bertemu Maura, semuanya berubah. 'Apakah dia tahu aku bertemu Maura tadi malam?' batinnya.
"Aku hanya sedang tidak enak badan," kata Adriana berbohong, karena jika membicarakan topik semalam akan menimbulkan pertengkaran, sedangkan dia tidak ingin berdebat di depan Evan.
"Kalau begitu tersenyumlah. Aku mengajakmu untuk bahagia, bukan memasang wajah masam seperti itu. Lihat Evan, dia terlihat bahagia!"
Adriana tersenyum kaku sebagai tanggapan. Dia melirik putranya yang tampak senang menikmati waktu bersama. Rasanya tidak etis membicarakan urusan rumah tangga di depan balita.
.