Ben menatap sahabatnya sambil menyeringai. "Aku bukan bayi!"
"Kalau begitu, berhentilah mengeluh," ucap Jihan sambil melipat kedua tangannya di dada.
Jika Jihan sudah menatapnya seperti itu, Ben tidak bisa melawan lagi. Jihan adalah sahabatnya dan tahu bagaimana harus mengendalikan emosi Ben yang sering kali meledak-ledak tak karuan.
Jihan adalah satu-satunya wanita di dunia ini yang paling mengerti perasaan Ben. Tidak ada perasaan berlebih di antara mereka karena Ben hanya menganggap Jihan sebagai teman saja. Sama halnya dengan Jihan yang tidak pernah terpesona oleh wajah tampan Ben.
Bagi Jihan, wajah Ben tampak seperti bule-bule Inggris pada umumnya. Ia tidak pernah tertarik pada pria bule, tapi ia bisa kejang-kejang saat melihat pria keturunan Korea. Jihan adalah penggemar K-POP. Ia selalu bercita-cita untuk pergi ke Korea dan menikah dengan Choi Jin Hyuk, salah satu aktor kesukaannya.
Ben hanya mengangguk dan mengiyakan setiap kali Jihan memuja-muja aktor itu. Ya, sama saja saat Ben bersikap kekanakan, Jihan pun akan mengiyakan setiap perkataannya supaya Ben berhenti berbicara.
Ini adalah pertama kalinya Ben merasa begitu emosi pada seorang wanita. Biasanya, ia akan selalu memuja dan merayu wanita supaya wanita itu luluh dan melakukan apa saja yang Ben inginkan. Ia terbiasa nyaman berbicara dengan wanita baik yang lebih muda, seumuran, maupun yang lebih tua sekalipun.
"Astaga! Aku sampai lupa!" seru Ben. "Tadi Sam mengirimiku WA dan mengajakku menonton filmnya Chris Evans yang baru. Aku baru saja mau membalas WA-nya, tapi si wanita gila itu menubrukku hingga ponselku rusak."
"Apa kamu sudah menyalakan ponselmu?" tanya Jihan.
Ben menekan tombol daya dan menunggu hingga ponsel itu menyala. Lampu di layarnya menyala, tapi ponselnya tidak merespon. Ia menunggu hingga tulisan logo ponselnya muncul, tapi tidak terjadi apa-apa.
"Oh no," ujar Ben sambil menatap sedih ponselnya.
"Coba kita tunggu sebentar lagi."
Mereka sudah tiba di depan mobil Ben. Jihan merebut kunci mobil Ben dan mengambil alih kemudi. Lalu ia duduk di sana sambil menyesuaikan posisi jok dan kaca spionnya.
Ben pun masuk ke dalam mobilnya yang sudah dinyalakan mesinnya oleh Jihan. Ia terus memandangi ponselnya yang hanya menyala putih tanpa muncul apa-apa. Dan lagi, layar ponselnya retak.
"Sepertinya ponselku mati. Sialan! Aku menjatuhkannya cukup keras." Ben menekan-nekan tombol daya dan ponselnya tidak mau mati. Sekarang ponselnya terasa mulai panas.
"Ya sudah kalau begitu, sekarang kita pergi dulu ke tempat servis handphone, oke?" ucap Jihan.
"Oke."
Ben merosot di kursinya sambil memandang ponselnya yang sedang dalam ambang kematian. Ia merasa sedih dan kesal sekali pada wanita yang bernama Briella itu.
Semua ini gara-gara wanita menyebalkan itu, pikir Ben dalam kepalanya yang masih panas. Lalu ia mengeluarkan kartu nama wanita itu dari saku celananya.
Briella Lilianne. Di kartu itu tercantum nomor ponselnya. Aneh, Ben tidak terbiasa menerima kartu nama dari seorang wanita kecuali jika wanita itu memiliki urusan bisnis dengannya. Ia menyimpan berbagai macam kartu nama dari para vendor pernikahan. Semua itu untuk urusan wedding organizer yang ia kelola bersama ibunya.
Namun, saat melihat kartu nama Briella, Ben merasa tidak nyaman. Wanita itu tampak sangat aneh dan mengerikan. Tampaknya, wanita itu memiliki sebuah kebencian di dadanya yang tidak Ben ketahui.
Ben mencoba mengingat-ingat perbuatannya yang dulu pada Briella. Tampaknya tidak ada. Meski Ben seorang playboy, tapi ia akan selalu ingat dengan siapa saja ia pernah berpacaran walaupun ia tidak benar-benar mengingat nama mereka satu per satu.
Akhirnya, mereka pun tiba di depan gedung pusat servis ponsel. Seorang satpam menyambut Ben dan Jihan. Setelah Ben mendapatkan nomor antrian, mereka pun duduk di kursi yang kosong sambil menunggu giliran untuk maju.
"Apa menurutmu, aku harus menghubungi wanita gila itu?" tanya Ben pada Jihan.
"Hmmm, tergantung. Memangnya kamu masih mau berurusan dengannya?"
"Yaaa, semua ini kan salahnya. Aku harus meminta pertanggungjawaban darinya," ucap Ben sambil mengedikkan bahunya.
"Iya, kamu benar. Kalau begitu, kamu bisa menggunakan ponselku untuk meneleponnya setelah kamu mendapatkan total biaya servis ponselmu itu."
Ben mengangguk. "Yeah, baiklah. Aku akan meneleponnya nanti setelah aku tahu total biaya kerusakannya."
"Apa kamu masih mau bertemu dengan wanita itu? Dia itu sepertinya sangat menyebalkan dan kasar."
Ben menatap Jihan dan mulai berpikir. "Ya, memang. Dia itu kasar sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkannya lepas begitu saja. Dia sudah membuatku rugi besar. Di dalam ponselku itu terdapat banyak nomor kontak penting, foto, video, data-data, dan segala macam. Aku yakin jika wanita itu juga pasti akan mengamuk jika aku merusak ponselnya."
"Ya sudah. Asalkan kalau kalian bertemu lagi, janganlah bertengkar seperti tadi. Kamu tampak seperti yang hendak memukulnya. Itu tidak baik dan tampak sangat kekanakan." Jihan mengangkat alisnya sambil mengangguk.
"Ah, sudahlah. Aku tadi sangat kesal. Coba saja jika kamu jadi aku, kamu juga pasti akan marah."
Akhirnya, tiba giliran Ben maju ke depan, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya customer service itu dengan nada monoton.
"Sore, Mbak," sapa Ben sambil menyerahkan kertas antrian.
Lalu pegawai servis itu mendongak dan menatap wajah Ben, seketika ia tercengang. Lalu ia tersenyum sambil mengaitkan rambutnya ke balik kuping.
"Saya tidak menyangka jika Bapak bisa bicara bahasa Indonesia," ucapnya dengan suara yang manja, tidak seperti sebelumnya.
Ben terkekeh hambar. Ia sudah bosan disebut-sebut bule di mana-mana. Ia penasaran, apa jangan-jangan ibunya pun mengalami nasib yang sama. Meski wajah Ben bule, tapi kulitnya coklat seperti orang Indonesia.
"Iya, Mbak. Hmmm, ini ponsel saya sepertinya rusak. Boleh tolong diperiksa, Mbak?"
Ben menyerahkan ponselnya yang masih dalam keadaan lampu menyala, tapi tidak muncul tulisan apa-apa. Ponsel itu jadi semakin panas seperti yang demam.
"Sebentar ya, Pak saya periksa dulu."
Wanita itu melakukan sesuatu pada ponselnya dari balik konternya, sayangnya Ben tidak dapat melihatnya dengan jelas. "Sepertinya ada yang korslet. Saya akan mencoba memperbaikinya, tapi saya tidak dapat menjamin jika ponselnya bisa hidup kembali dan untuk data-datanya kemungkinan besar akan hilang. Apakah Bapak setuju akan hal itu?"
"Oh no. Aku perlu data-data itu, Mbak. Bisakah jika ponselnya diservis, tapi jangan sampai data-datanya hilang?"
"Apakah Bapak sudah melakukan backup data secara rutin ke email Bapak? Jika sudah, maka nomor kontak tidak akan hilang. Namun, untuk foto, video, dan aplikasi yang ada di dalam ponselnya akan hilang."
Ben mendesah. Di dalam ponselnya terdapat foto-foto dirinya dengan para wanita yang ia temui saat ia berlibur ke Bali. Sepertinya ia harus merelakan foto-foto itu.