Sore itu, Ben menjemput Deviana di salon. Ia sudah dirias dan mengenakan gaun yang indah. Perlu Ben akui jika Deviana termasuk gadis yang cantik dan menawan jika ia sudah dipoles oleh sang ahli.
Ben bangga dengan gaun pilihannya dan hasil riasan Lindy. Selama ini Lindy adalah make up artist profesional kebanggan salonnya.
Deviana benar-benar tampak luar biasa dengan gaun berbentuk duyung dan berwarna rose gold itu. Ben pun mengajak Deviana untuk ke parkiran mobil.
Namun, tiba-tiba, ponsel Ben bergetar. "Tunggu sebentar ya. Kamu duduk dulu saja."
"Baiklah," jawab Deviana sambil mengangguk. Lalu ia pun duduk di sofa dan Klarina datang untuk mengajaknya mengobrol.
Ben pun mengangkat telepon. "Halo, Jihan. Kamu ada di mana?"
"Hai, Ben. Aku masih di tempat gym, baru saja selesai olahraga," jawab Jihan.
"Ah, kamu rajin sekali, Han. Omong-omong, ada apa meneleponku?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, apa kamu sudah selesai bersiap-siap untuk ke acara prom?"
Ben tersenyum. "Tentu saja. Kenapa kamu tidak mau ikut? Aku bisa saja menjemputmu sekarang."
"Tidak, terima kasih. Aku bukan tipe wanita yang senang berdansa. Lebih baik aku berlari berkilo-kilo daripada harus mengenakan gaun ketat dan sepatu hak tinggi. Itu jelas bukan tipeku, Ben."
Ben pun terkekeh mendengar perkataan sahabatnya itu. "Tentu saja. Aku tahu persis seperti apa kamu. Tenang saja, aku akan mengirimkan foto."
"Untuk apa? Aku tidak tertarik sama sekali."
"Oh ya? Lalu kenapa kamu meneleponku?"
"Ya itu tadi. Aku hanya ingin mengobrol denganmu. Memangnya tidak boleh? Oops apa di sana ada Selena? Eh Deviana? Briella? Kamu sedang bersama siapa sekarang?"
"Aku dan Selena sudah putus," jawab Ben dengan nada bosan.
"Ah, aku lupa. Siapa suruh kamu playboy. Aku jadi lupa."
"Aku sedang bersama Deviana. Kan dia yang mengajakku ke pesta prom, ingat?"
"Tidak," jawab Jihan jujur.
"Kamu memang pelupa. Hmmm, omong-omong dia tidak akan cemburu padamu," ucap Ben sambil berbisik. Lalu ia melirik Deviana yang sedang sibuk menatap wajahnya di depan cermin kecil yang ia bawa di tasnya.
"Apa kamu yakin? Bagaimana jika dia jatuh cinta padamu?"
"Tidak akan. Dia sengaja melakukan semua ini untuk menarik perhatian Gani. Aku hanyalah teman baiknya yang akan menyempurnakan rencananya."
Jihan mendengus. "Untuk apa kamu mengikuti rencananya? Dasar payah."
"Ah, tentu saja aku mau. Aku kan pria yang baik. Dan lagi, tidak ada salahnya jika aku melirik beberapa wanita cantik di sana."
"Ya ya ya."
Ben membayangkan Jihan memutar bola matanya dengan wajah bosan.
"Ya sudah. Aku mau berangkat dulu. Deviana sudah siap. So, see you later. Bye, Jihan."
"Bye."
Ben pun menutup telepon dan memasukkannya ke dalam saku. "Dev, ayo kita berangkat."
Deviana langsung bangkit berdiri dan mereka sama-sama berangkat menuju ke gedung serba guna, tempat dilaksanakannya prom night.
Setibanya di sana, sikap Deviana berubah gugup. Ia meremas-remas ponselnya sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
"Kamu sedang mencari siapa?" tanya Ben.
Deviana menoleh pada Ben dengan ekspresi gamang yang kentara. "A-aku … aku hanya mencari Erika. Sepertinya dia sudah di dalam."
"Ayo, kalau begitu kita masuk," ajak Ben.
Namun, baru beberapa langkah, Deviana berhenti. "Ben, menurutmu aku cantik tidak?"
Ben mendesah. "Harus berapa kali aku bilang kalau kamu itu cantik? Bukankah sejak tadi kamu terus menerus menatap cermin. Apa yang cermin itu katakan padamu?"
Deviana tersenyum tipis. "Aku tidak sedang berbicara dengan cermin ajaib."
"Ya sudah. Biar aku yang menjadi cermin itu." Ben pun berdeham dan mengubah suaranya menjadi lebih berat. "Wahai, Nona Deviana. Wajahmu tampak rupawan dan gaunmu sangat spektakuler. Itu pasti adalah gaun yang pernah dipakai oleh artis."
Deviana benar-benar tertawa sekarang. "Terima kasih, Cermin Ajaib. Aku sangat berterima kasih atas pujianmu dan segalanya. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin hanya akan tampil sederhana seperti gadis desa."
"Ah, bukan apa-apa. Ini hanya bantuan kecil." Ben menggerakkan tangannya. "Kenapa ya, aku jadi merasa seperti ibu peri?"
Deviana tertawa lagi. "Ayo kita masuk."
Melihat Deviana yang lebih percaya diri, membuat Ben jadi lebih bersemangat. Mereka pun memasuki ruangan ballroom yang sangat luas.
Ben langsung mengedarkan pandangannya dan mencari sesuatu yang berkilauan di antara lautan mahasiswi yang berbalut gaun malam yang serba indah.
Tiba-tiba, pegangan tangan Deviana mengencang. "Ben," pekiknya.
"Ada apa?" Ben menoleh pada Deviana, lalu mengikuti arah pandangnya.
Ternyata Deviana sedang melihat seorang pria pujaan hatinya. Gani sedang berdiri di pojok bersama teman-temannya. Tampaknya, Gani hanya datang seorang diri, tanpa pasangan dansa.
"Ben! Apa Gani akan melihatku?" ucap Deviana gugup.
Sudah Ben duga. Deviana memang sedang menanti Gani memperhatikannya.