Chereads / Isi Hati Rania / Chapter 18 - Bab. 17. Melihat Rumah baru.

Chapter 18 - Bab. 17. Melihat Rumah baru.

Ridho menatap istri mudanya tajam, bukankah ini demi kebaikannya? Ridho memukul setir melampiaskan emosinya. lalu membuang muka ke arah lain.

Di mana otak Arini? Ridho mendengus menghembuskan napas kasar. Tak percaya dengan ucapannya tadi, ia seperti anak kecil yang tak kebagian mainan.

"Kenapa kau menatapku seperti itu Mas?" Arini tidak suka dengan tatapan tajam suaminya, lalu segera memalingkan wajahnya ke lain arah Melihat lalu lalang kendaraan yang lewat.

"Arini. Apa tak dengar tadi di ruangan dokter? Kamu tak boleh stres! Agar bayi kita tak ikut stres, aku tak mau terjadi apa- apa sama anakku!" Ridho kemudian menstater mobilnya melajukan mobilnya membelah jalanan kota, sempet menghubungi temenya tadi seorang marketing developer. Ia akan Menunjukan kawasan perumahan yang baru jadi. Kalau cocok ia kasih Dp.

Arini diem, tak ingin debat panjang lagi, terpaksa mengikuti suaminya. Kalau di paksakan debat sakit perutnya. Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Tak lama kemudian sampailah di kawasan perumahan Greenland. Perumahan kawasan menengah. Rumah semi mewah dua lantai, masih baru. Tanpa pagar.

Ridho kemudian turun, Arini melepas seatbeltnya. Mengikuti langkah Ridho, melihat rumah- rumah yang berjejer rapi, sedikit memberikan hiburan hati yang galau. Jujur dari dalam hatinya, tak rela pindah rumah, takut suaminya jatuh cinta sama Rania.

"Bagaimana kalau rumah ini Arini? Apa kau menyukainya?" tanya Ridho ingin meraih tangan Arini. Tapi Arini kemudian melangkah memasuki pekarangan rumah ini. Tanpa pedulikan Ridho yang akan menggenggam tangannya.

"Andi, berapa harga rumah ini?

" Kalau ini 800 juta, bisa kredit,"

"Boleh aku masuk ke dalam melihat rumah,"

"Silakan Ridho,"

Andi kemudian membuka pintu rumah itu, Rumah bercat Abu- abu, ruangan yang masih kosong. Tembok pun baru selesai di cat, terasa bau catnya. Arini sampai menutup baunya karena bau yang menusuk. Ruang tamu, dua kamar, dapur, Ridho melongok kamar mandinya. Ada shower juga closet duduk. Belum puas ia dan Arini melangkah ke lantai dua.

Ruangan kosong, kamar tidur juga plus kamar mandi, Ridho merasa cocok dengan rumah ini. Ingin mengambilnya dan menempati bersama Arini. Saat ini ingin Arini dan Rania bisa berpisah. Tak baik dua wanita dalam satu rumah. Pusing mendengar keluhan Arini. Ia juga tak ingin menyakiti Rania lebih banyak lagi.

Kenapa aku mulai memperhatikan Rania ya?

Entahlah tapi sejak kapan wajah Rania adalah kesukaanku, batin Ridho. Alisnya yang rapi, mata indah dengan bulu mata lentik. Hidung kecil yang lancip juga bibir tipis. Senang sekali melihat senyum di bibirnya.

Ridho tersenyum dalam hati kala mengingat itu.

"Gimana Rumah ini Ridho? tanya Andi mengagetkan Ridho dalam lamunanya.

"Bagus! Aku ambil ini Andi, tapi sama teman sendiri harganya tak di kurangikah?"

Andi tersenyum tipis, baiklah akan di kurangi sedikit. Mengingat Ridho dulu temen saat kuliah dulu.

"Baiklah, harga di kurangi 50 jt, jadi total semua 750 juta."

"Bisa kredit kan?"

"Bisa tenang saja," ucap Andi mantap.

"Baiklah, aku DP dulu 50 juta,"

"Oke."

Ridho kemudian mengambil ponsel di sakunya. Mentransfer sejumlah uang itu melalui M- bangkingnya.

Ting. Bunyi notifikasi dari ponsel Andi.

Pertanda uang udah masuk dari transferan Ridho.

"Makasih, udah masuk. Semoga kamu betah Ridho,"

Andi menepuk pundak Ridho.

"Makasih Andi,"

"Sama-sama," Kemudian Andi meninggalkan Mereka, melanjutkan pekerjaan lagi. Ia akan menemui klien di kafe.

"Bagaimana menurutmu rumah ini Arini?" tanya Ridho memperhatikan raut wajah Istrinya mudanya ini. Ia sedari tadi diem, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya cemberut dengan bibir di monyongkan sedikit ke depan.

"Bagus." ujar Arini singkat. Hatinya dongkol harus pindah ke Rumah baru, ia tak rela kalau Nantinya Ridho dan Rania dalam satu rumah. Ia takut kebersamaan mereka yang intim menimbulkan benih- benih cinta di hati Mereka.

Arini takut membayangkan hal itu terjadi. Ia tak mau kehilangan Ridho, apalagi saat ini dirinya sedang mengandung. Tentunya ingin waktu lebih banyak dari Rania.

Arini bertekad ingin menjadi istri Ridho satu- satunya. Tapi ia tak ingin melakukan di luar jalur hukum, pikiranya masih waras tentang hal ini. Ia hanya ingin bahagia bersama Ridho dan menyingkirkan Rania dari hidupnya.

"Syukurlah kau menyukainya. Dah yuk pulang," ajak Ridho melunak, kembali ingin mengandeng istrinya. Tapi Arini enggan, malah melangkah meninggalkan Ridho.

Arini masuk dan duduk di jok depan, wajahnya masih cuek dan diem. Tinggal Ridho yang harus bersabar menghadapi istrinya yang berubah emosinya karena hormon kehamilannya.

"Sayang, kamu pingin makan apa?" tanya Ridho tak ingin wajah istrinya cemberut terus.

Mungkin makan bisa menghilangkan mengembalikan mood Arini. Pikir Ridho.

"Aku nggak laper, mas." ucap Arini ketus. Ridho hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Arini. Ia tak bertanya lagi, konsentrasi menyetir mobil. Tak lama kemudian Mobil sampai di rumah, Ridho memarkirkan mobilnya di teras. Terlihat Arini akan keluar, ia juga sudah rapi dan mengenakan jaket.

Bibir Ridho ingin bertanya sama Rania yang sudah cantik itu, tapi Arini melotot padanya berisyarat agar tak menyapa Rania. Nyali Ridho ciut seketika, ia pun terdiam saat Rania lewat di depanya.

"Kenapa dengan mereka," tanyaku dalam hati. Tapi tak perdulikan itu. Segera ku gas menuju pusat jajanan kuliner sore, berderet jajanan kuliner sore, dari aneka kue sampai gorengan.

Sore yang Indah mentari condong ke barat. Sinarnya tak lagi memanggang tubuh, tapi menghangatkan dan indah di pandang. Suasana yang hangat sedikit memberi hiburan di hati Rania. Walau kadang hati serasa lelah, tapi sekuat tenaga menguatkan hati demi orang- orang yang di kasihi.

Honda matic ku parkir kan di area parkir yang sudah di sediakan. Segera melangkah ke foodcourt aneka macam jajanan. Semua terasa enak di lidahku. Setelah berkeliling sebentar, akhirnya aku memilih jajajan khas semarang. Lumpia isi rebung dan martabak telur. Setelah selesai belanja segera ku gas ke rumah. Di ruang tamu, terdengar Ridho dan Arini sedang berdebat apa aku tak tau.

Aku menahan napasku, mendengar langkahku, mereka langsung terdiam. Aku basa- basi menawarkan jajan yang baru saja beli.

"Mas Ridho, Arini. Aku beli jajan, apa kalian mau?

"Jajan apa Rania?" tanya Ridho semangat.

"Martabak telur, sama Lumpia goreng isi rebung." Sengaja beli banyak biar berbagi sama mereka.

"Boleh," jawab Ridho senang. Aku pun menaruh satu kantong plastik di meja. Tapi tiba -tiba Arini mengambil kantong plastik itu dan membuangnya ke lantai.

Bruk.!

Lalu Arini beranjak melangkah naik lantai dua.

Aku dan Ridho shock melihat jajanan terburai keluar dari plastik, hatiku lebih serasa terburai lagi melihat ulah Arini.

"Astagfirullah." desis ku sambil mengusap dada.

Bersambung.