Arsya pulang ke rumah mewahnya yang tidak jauh dari Halte Bus tadi.
Rumahnya masih terang, dia yakin kalau penghuni rumah masih ada yang terbangun.
Arsya tidak yakin kalau itu adalah ayahnya atau ibu tirinya karena mereka berdua selalu tidur lebih awal.
Arsya memegang gagang pintu rumahnya, menekannya ke bawah dan melangkahkan kaki setelah pintu itu dibuka.
Dugaannya benar –Arsya kesal, melihat adiknya Mina yang masih menonton televisi.
Adik perempuannya yang sangat menyukai film hantu, sudah dapat Arsya tebak kalau Mina sedang menonton film yang sangat tidak disukai Arsya.
"Mina!" bentak Arsya.
Adiknya terkejut, lebih dari mendapat serangan jantung dan juga memasang ekspresi ketakutan saat sosok hantu muncul di layar kaca.
Gadis berusia delapan tahun itu tampak kesal pada kakak tirinya yang tiba-tiba memanggil.
"Kakak! Aku kira hantu," ucapnya seperti nada merengek. Mina memeluk erat bantal kursi dan matanya kembali fokus ke layar kaca.
"Kamu enggak takut nonton film hantu terus?" protes Arsya sambil berjalan mendekatinya.
Tangan kanannya menjadi tameng di pipi kanan, agar mata Arsya tidak menengok langsung film yang bisa membuat dirinya terjaga sampai pagi karena takut.
"Aku nonton sama Bibi."
"Bibinya ke mana?" tanya Arsya mencari-cari sosok pembantunya yang tidak ada di sana.
"Bibi ke dapur ngambil minum," balas Mina tanpa memerhatikan raut wajah Arsya yang sekarang begitu tegang.
Terdengar suara kaki berjalan mendekat, tapi bukan di dunia nyata melainkan di film yang tengah ditonton adik tirinya.
Arsya juga ikut menonton adegan filmnya yang terlihat seru. Begitu menegangkan saat si gadis anak sekolah berjalan di lorong-lorong sekolah yang tampak sudah sore hari.
Arsya yang berdiri di belakang sofa yang diduduki Mina, tanpa sadar dia menurunkan tangan kanannya yang tadi dia pakai sebagai tameng.
Arsya bukan tidak menyukai alur fim horror, hanya saja dia terlalu penakut untuk menontonnya. Terlebih dampak setelah menonton.
Keduanya sangat fokus. Si Pemeran film kemudian membuka ruangan kelas, mencari-cari sesuatu … entah apa itu.
Hingga sekelebat bayangan hitam tampak di jendela. Si pemeran film mendongak, dia merasakan hal aneh. Dia melihat keluar jendela yang ada pohon besar di sana.
Melihat ke atas dahan yang lurus dan terlihat sangat nyaman jika dipakai tempat duduk dan bergelantungan di sana.
Pasti kalau di malam hari semua orang akan sepakat dahan itu menjadi tempat duduknya sesosok makhluk astral berambut panjang.
Kemudian si Pemeran film itu memalingkan wajahnya ke belakang dan menghela napas, karena dikiranya ada sesuatu tapi ternyata hanya daun yang rantingnya menjalar dekat kaca.
Saat si pemeran itu membalik badan sambil meletakan rambut sisinya ke belakang telinga ….
"Aaaaa, Kunti!" teriak Arsya bersamaan dengan jeritan seorang perempuan tua di sampingnya, sangat keras sampai-sampai Mina terperanjat.
Bukan karena ada hantu di film itu, tapi karena Bi Ani yang sekarang tidak mengikat rambutnya dan berdiri di samping Arsya yang penakut.
Arsya menelungkupkan kepalanya dan berjongkok. "Jangan ganggu! Pergi! Pergi!" Arsya mengusir perempuan tua itu yang dia sangka adalah hantu.
Mina yang tadi ketakutan pun, sekarang menatap miris kakaknya yang seperti orang gila, pikirnya. Histeris.
"Ya Alloh, Ya Rabbi. La haula wala kuata illabillah, pergi kamu kunti. Pergi!" Bi Ani menutup matanya, dia tidak sadar kalau sebutan 'Kunti' itu ditujukkan Arsya untuk dirinya sendiri.
Mina hanya membiarkan keduanya ketakutan sendiri yang tak berani membuka mata mereka. Mina memerhatikan ekspresi keduanya sambil bertopang dagu di bahu sofa. Hingga kedua orang tua mereka turun dari Kamar.
"Ada apa ini, Arsya?" tanya Hendrawan--ayahnya. Mina membelalakkan matanya dengan tersenyum setelah Arsya dan Bi Ani membuka matanya.
"Astagfirullah, Bi Ani!" ucap Majikannya, Nia sambil melotot. Dia kemudian berjalan mendekati Bi Ani dan memegang rambutnya yang acak-acakkan. "Pantesan Arsya ketakutan, rambut kamu kenapa dibiarin gini tanpa diikat. Hah? Kayak Tante Kunti, tahu. Cepet ikat rambut kamu!" titah Nia dengan telunjuk kekuasaannya yang teracung-acung.
"Maaf Nyonya, hehe. Ani kalau malam emang suka dibuka ikatan rambutnya," Bi Ani jujur. Namun, kejujurannya tidak akan ditolelir sang majikan jika itu menyangkut Arsya—anak tirinya yang sangat dia manjakan.
"Mina, cepet tidur sana! Nonton film serem mulu. Cepet tidur!" bentak Nia dan langsung mematikan televisi. Mina sudah biasa dengan sikap ibunya yang over protektif pada kakaknya—Arsya. Bibir Mina cemberut dan langsung pergi ke kamarnya di lantai bawah, bersebelahan dengan kamar Arsya.
"Arsya, kamu masih saja penakut," ucap ayahnya setengah menghiraukan Arsya. Jika anaknya menikah haruslah dengan perempuan yang lebih berani.
Nia membelototi Ani, pembantunya itu cukup paham apa yang diperintah majikan perempuanya hanya lewat tatapan mata saja.
Ani pun mengangguk dengan seringai deretan gigi, pergi sembari menggulung rambutnya tanpa ikatan rambut. Hanya digulung dan diselipkan ke dalam rambutnya yang tergulung.
"Udah, kamu jangan takut Arsya," ucap Nia sembari mengelus-elus rambut anak tirinya. Arsya masih merasakan detak jantungnya yang seperti berdisco-disco saking terkejutnya.
"Arsya mau tidur Ma," ucapnya dengan matanya yang tidak fokus dan helaan napas tak beraturan.
"Baiklah, tidur yang nyenyank. Apa perlu mama bawakan teh hangat untuk kamu?" tawarnya pada anak tirinya.
"Enggak perlu Ma, Arsya pengen cepet tidur."
"Baik kalau begitu, tidur ya Sayang."
Arsya kemudian berjalan pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
Hendrawan menatap istrinya dengan rayuan mata. Nia sadar akan apa yang diinginkan suaminya.
"Seduh sendiri, Mama lagi males ah," ucap Nia sembari berlalu naik tangga.
"Tuh Mama kebiasaan deh, suka dahuluin Arsya dibanding Papa." Hendrawan menguntit istrinya. Terus memaksa.
"Enggak! Mama ngantuk."
"Ya, Mama."
"Papa bisa seduh sendiri."
"Ma."
"Enggak."
***
Arsya tersenyum di kamarnya.
Dia memang tahu kalau ibu tirinya sangat menyayangi Arsya dan kadang seperti pilih kasih pada Mina, anak kandungnya sendiri.
Walaupun saat kecil Arsya tidak ramah padanya, tapi berkat kebaikan Nia yang selalu memanjakan Arsya –dia pun akhirnya menerima Nia sebagai ibu sambungnya dan bahkan kadang lupa pada ibunya sendiri meskipun tidak total. Arsya mendendam, dia masih bertanya-tanya mengapa ibunya pergi.
Setengah tak percaya dengan ucapan ayahnya yang bilang kalau ibunya yang selingkuh dan memilih jadi pelacur, tapi memory-Nya dulu bersama ibunya tidak bisa begitu saja Arsya lupakan.
Walaupun setelah kepergian ibunya Arsya merasa kalau Nia datang sebagai seorang Malaikat di kehidupannya, sebagai pengganti ibunya yang tega meninggalkan dirinya, anak semata wayangnya dulu tanpa pernah kembali lagi menampakkan batang hidungnya.
Dalam lamunannya, sekelebat bayangan perempuan tadi yang dia temui lewat.
Seumur-umur Arsya tidak pernah menyukai perempuan, bukan karena Arsya tidak normal tapi belum ada perempuan yang mampu menyentuh hatinya.
Tapi bisa-bisanya dia menasehati perempuan tadi yang terlihat kagum setelah Arsya mengeluarkan kata-katanya.
Arsya tersenyum-senyum sendiri. Merasa tidak waras dengan dirinya sendiri yang seperskian detik bisa menyamar jadi seorang Mario Teguh yang memotivasi orang lain padahal di waktu yang sama dia juga dilema.
"Arsya, Arsya … lo emang hebat untuk nipu orang lain," puji Arsya pada dirinya sendiri.
Entah pujian tinggi atau rendah dia sendiri tidak tahu.
Yang dipikirkan di benak Arsya adalah sekarang dia harus segera tidur dengan menutup semua tubuhnya dengan selimut tanpa celah udara.
Dia sangat takut kalau ada makhluk astral yang bisa menyentuhnya.
***