Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 14 - Hana yang Cerewet

Chapter 14 - Hana yang Cerewet

"Terus saja terima kasih. Udah ah, aku berangkat kerja." Mandar kesal karena Intan terus mengucapkan terima kasih padanya. "Nanti kalau kamu tidur kunci aja pintunya dari dalam ya, Tan," Mandar menambahkan seraya keluar dari rumahnya.

"Hehe, iya Man."

Mandar pun pergi, dia mengucapkan salam dan dijawab oleh Intan dan Karin.

Intan melihat Karin yang sudah seperti bunga yang layu, menatapnya iba. Diusapnya rambut Karin ke belakang, menyibak poni pendeknya yang manis.

Menambah cabinya pipi Karin yang sangat mirip dengan Arga, sang mantan suami.

Melihat wajah Karin, sebenarnya –selain membuat Intan bahagia … tapi juga seperti merupakan hukuman yang seringkali menampar ingatan Intan dengan kasar.

Mengingat kebersamaannya dengan Arga dulu, meskipun banyak perasaanya yang membuatnya sakit hati –tidak dipungkiri juga mengarungi mahligai rumah tangga dengan sang mantan suami juga ada bahagianya.

Pernah merasakan malam pertama yang pernah saling malu-malu berdua, pernah dibelikan makanan sepulang kerja, pernah dipeluk manja hingga semua kenangan itu dihapus seluruhnya dengan pemberian hadiah berupa tusukan pedang yang begitu perih menusuk dada.

Karin seperti kaset yang senantiasa selalu memutar ingan Intan yang masih belum bisa terlepas dari rasa sakitya oleh seorang lelaki.

Ditambah menjadi seorang janda juga tidaklah mudah. Banyak gossip miring yang tertuding padanya.

"Anak Mama cape, ya, Nak? Ayo istirahat yuk!" ajak Intan pada Karin. Karin tidak bisa berbohong kalau kakinya pegal-pegal, badan kecilnya terasa ringsek dan matanya juga lelah. Karin butuh kasur untuk tidur. Seperti kata Mandar, yang menunjuk kamar untuk tempat Karin dan Intan beristirahat. Intan pun menuntun Karin dan membawa barang bawaannya masuk kamar.

Dibukanya kamar itu, tampak begitu rapi. Intan belum tahu kalau temannya Mandar sudah punya anak atau belum, tapi kamarnya itu tidak terkesan banyak barang milik si penghuni kamar.

Ada kasur yang sudah dipakaikan sprei, bantal dan guling tertata rapi, dan hanya berpenghuni satu lemari kayu yang masih baru. Simple.

"Ayo tidur, Sayang," kata Intan sembari membantu Karin untuk naik ke kasur yang cukup tinggi.

Intan pun membenahi posisi tidur Karin dengan benar, diusapnya kening Karin sembari tersenyum dan Intan berbaring di sampingnya setelah tas besar miliknya dia simpan di sudut kamar.

Tak lama Karin tertidur lelap, dia pasti sangat cape dibawa Intan berkelana tadi.

Intan pun mengecup kening Karin seraya berdoa, mengharap pada Sang Pencipta Alam agar mau memberikan kesabaran lebih padanya dan juga berharap kalau suatu hari nanti dia bisa hidup lebih baik lagi.

Minimal punya rumah sendiri.

***

Tak lama setelah Arsya pulang, sekretarisnya sekaligus teman gacornya Arsya—Hana datang terbirit-birit masuk ke ruangan Arsya.

Wajahnya yang tegang dengan senyuman yang mengembang mampu ditebak oleh Arsya.

Lelaki itu seraya meminta ampun pada Alloh takutnya dia punya dosa yang amat begitu besar hingga Sang Pencipta tega memberinya sosok teman yang nyeleneh seperti Hana.

Penampilannya yang sudah Girly pun, tidak bisa merubah sikapnya yang jenaka walaupun sedikit ketomboyannya perlahan memang menghilang.

Tapi, untuk urusan berkelahi … Hana tentunya masih lebih jago dari Arsya. Perempuan itu sejak dulu selalu menjadi Bodyguard-Nya, seakan-akan posisi mereka tertukar.

Tapi, kali ini jelas berbeda. Arsya juga tidak segan untuk mengangkat tangannya, jika memang dibutuhkan.

Seiring berjalannya waktu, Arsya juga belajar dewasa bukan Arsya yang dulu hanya bisa bersembunyi di ketiak ibunya saja.

Ibu tirinya—Nia sudah banyak mengajarkanannya tentang kewenangan sebagai CEO dan juga keberanian seorang lelaki, ya … Nia sudah mengajarkannya meskipun dasarnya dia hanya ingin menarik simpatik Arsya agar lebih dekat dengan dirinya.

"Aaaaa …," jerit Hana dengan ekspresi yang begitu senangnya. Arsya menutup kedua telinga karena jeritan Hana begitu memekik dan juga sangat nyaring di ruangan itu. "Arsya, mimpi apa gue semalam coba. Ya Alloh, ya Rabbi, ya Illahi," cerocos Hana sembari mengipas-ngipas dirinya sendiri. Saking syok dan histeris dirinya.

Arsya kemudian memegang kepalanya seperti pusing, tapi bukan sakit kepala. Arsya terlalu gila untuk menghadapi temannya itu yang masih mengidolakan Irwan.

Padahal dia sudah tahu kalau Irwan hanya menganggap Hana tidak lebih dari seorang teman saja.

"Arsya! Lo dengerin gue enggak, sih?" Hana gereget melihat reaksi Arsya yang acuh. Namun, baru saja Arsya ingin membuka mulutnya, Hana mencegahnya. "Jangan keluarin kata-kata yang enggak ingin gue denger ya. Apalagi quotes-quotes lo yang semuanya hampir sama. Enggak random, lagi-lagi pasti 'biarkanlah waktu yang menjawabanya, dengan waktu, karena waktu bla bla bla'." Hana meragakan kata-kata yang sering diucapkan Arsya dengan gaya seorang puitis sambil menengadahkan tangannya. Arsya pun tertawa.

"Eh, sorry ya, gue enggak selebay itu," bantahnya, "terus lo mau gue ngomong apa? Hah?" Arsya tidak paham dengan pemikiran sahabatnya itu yang datang dengan banyak penawaran, padahal terserah Arsya ingin berkomentar apa saja juga.

"Setidaknya muka lo seneng kek, support gue, doain gue, apalah gituh yang membuat gue berasa punya sahabat yang care ke gue, lo kayaknya pengen deh kalau sahabatnya sendiri ngejomlo sampa mati."

Arsya tertawa meledak-ledak, Hana yang melihatnya justru heran setengah takut dengan sikap Arsya yang tiba-tiba menyeringai seperti itu.

"Lo, kenapa? Lo panas ya, Arsya?" Hana kebingungan dan menyibak rambut ikalnya ke belakang.

"Lo nyerahlah Han, tadi si Arsya cerita soal ceweknya ke gue." Arsya menatap Hana dengan serius, perempuan itu seketika jadi terdiam. Tapi karena tidak mau membuat hati Hana murung, Arsya kembali melanjutkan ucapannya, "lo tadi papasan sama si Irwan enggak?" tanya Arsya mengalihkan pembicaraan.

Hana pun jadi tersenyum mengembang mengingat kembali pertemuan singkatnya dengan Irwan.

"Iya, dia senyum ke gue. Basa-basi sebentar dan bodohnya gue …," ucap Hana dengan mengepal kedua tangan tanda gereget.

"Apa?" Arsya bertanya, dia benar-benar ingin mendengar lanjutan kejadiannya.

Hana mengehentakkan kakinya, Arsya terhenyak karena itu. Dalam batinnya bergumam, 'si Hana semakin enggak eling aja, efek jomlo. Tapi perasaan gue enjoy-enjoy aja deh."

"Gue pura-pura so sibuk dan pamit gitu aja, haaaaa," Hana merengek. Dia melilit rambutnya dengan telunjuk dan mengigit ujung rambut hitam nan legamnya itu.

Arsya menyungging senyum, dia pun berdiri dan merapikan jasnya kemudian melangkah keluar di saat Hana masih uring-uringan.

"Eh, mau ke mana? Gue kan masih curhat, Arsya!" Hana kesal, wajahnya ditekuk sembari badannya pun membalik mengikuti langkah Arsya yang berjalan menuju pintu. Ketika sudah di ambang pintu keluar, Arsya menoleh dan mengerlingkan mata.

"Gue mau keluar, mau ke kampus biar S2 gue cepet kelar. Jagain kantor yang benar ya," Arsya berpesan dan menghilang begitu saja.

"Arsya!" Hana semakin kesal dan terus menghentakan kakinya.

Tiba-tiba lelaki itu balik lagi, hanya wajahnya yang nongol di balik pintu. "Satu lagi. Kalau si Bram nanyain gue, bilang aja gue berlibur ke Hongkong. Bye, tukang galau," ledeknya. Arsya juga melambaikan tangan dengan senyum jahil pada Hana yang bibirnya masih bengkok karena tidak percaya dengan sikap Arsya yang mengacuhkan curhatannya yang belum genap selesai.

Hana membelalakkan matanya, sudah bosan dia mendengar ucapan Arsya yang seperti itu.

"Hongkong! Hengkang kali ah yang benermah," celetuk Hana, dia pun juga ikut keluar dari ruang kerja Bosnya itu dan menutup pintu karena keluar paling akhir.

Arsya yang tadinya emosi karena perusahaannya sudah cukup rugi banyak, sekarang begitu enjoy melangkahkan kakinya keluar gedung, berharap bawahannya—Bram bisa mengatur semua permasalahan yang sudah terjadi.

Gara-gara Hana yang menghibur dan juga cerita Irwan yang selalu terkesan merana perihal cinta membuatnya semakin bersyukur kalau Arsya sampai saat ini masih belum melibatkan dirinya dengan hal-hal semacam itu.