"Engggak, aku enggak mau lagi berurusan dengan kamu dan keluargamu. Kita putus!" Hati Intan sangat hancur telah mengeluarkan kata putus pada hubungannya dengan Irwan.
Irwan menatap Intan setengah tak percaya. Sarah pun tidak bisa ikut campur dan dia hanya diam.
Untung saja Karin sudah tertidur, jadi anak itu tidak akan melihat perdebatan ibunya dan Irwan yang sudah Karin anggap sebagai ayahnya sendiri.
Irwan berusaha memegang tangan Intan, tapi perempuan itu terus saja menepisnya.
Melihat Intan yang semakin berontak dan menangis, Irwan ingin sekali memeluk Intan dan membawanya pergi untuk kawin lari.
Tapi tetap saja dibujuk seperti apapun Intan sangat keras kepala.
Pikir Irwan, Intan lebih peduli pada perbedaan status mereka dan omongan orang lain serta pertentangan keluarga Irwan ketimbang cinta Irwan padanya.
"Aku enggak mau putus Intan, aku sayang kamu. Kita pergi ya, aku akan bawa kamu keluar negeri," Irwan membujuk.
Matanya penuh pengharapan pada seorang Intan. Keringat dan air mata sudah menyatu dengan kulit mereka. Emosi marah dan sedih juga sudah tercampur rata.
Irwan dengan kekuatannya sebagai seorang lelaki berhasil memegang erat pergelangan Intan dan memaksanya ikut. Sarah yang melihat Irwan begitu agresif pun jadi ikut turun tangan.
"Lepaskan Intan!" ucapnya. Intan pun langsung memeluk Sarah, dia berada di dekapan seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi tapi masih tampak jelita. Irwan juga tidak bisa membangkang, dia melepaskan cengkeraman tangannya setelah Sarah berusaha melepaskannya."Ini bukan solusi Irwan. Percaya pada Mbak, kamu mending pulang dulu dan besok bicarakan baik-baik. Intan masih syok atas kejadian tadi. Kasih Intan waktu untuk memikirkan ajakan kamu."
Irwan terdiam dan dia menatap Intan lamat-lamat. Ada perasaan iba melihat kekasihnya yang sedari tadi terus menangis dan sekarang memeluk erat Sarah yang sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri.
Irwan tahu, semuanya tidak mudah bagi Intan. Irwan sadar, bukannya membuat Intan lebih tenang tapi dia malah memaksakan egonya yang sangat mencintai Intan.
Irwan merenung. Dia pun menyerah mala mini. Dia mendekati Intan yang masih berada di pelukan Sarah.
"Ntan, maafkan aku. Aku jujur, aku enggak tahu kalau Mamaku ngerencanain ini untuk kamu aku bersumpah!"
"Cukup! Aku tidak ingin membahas itu lagi," balas Intan dengan suara tingggi bercampur isak tangis. Sarah mengelus-elus rambutanya. Sarah juga amat mengerti apa yang tengah dirasakan Intan.
Irwan mengehlea napas berat dengan kedua tangannya yang bertopang di pinggang. Memalingkan wajahnya ke jalanan sebelum kembali berucap karena mereka sekarang sedang di teras rumah.
"Aku besok ke sini lagi untuk membawa kamu pergi," ucap Irwan. Intan tidak menjawab. "Aku harap kamu masih bersedia menikah dengan aku. Aku cinta kamu." Irwan mengusap wajahnya dan pamit pulang.
Suara deru mobil Irwan mengecil, seiring mobil itu melaju pergi. Intan kembali menangis, menumpahkan kesakitan di dadanya yang seperti dilukai lebih dalam dari sebelumnya.
"Udah, Intan. Kita ke dalam, yuk!" ajak Sarah, Intan menurut.
Sarah mengajak Intan untuk duduk dulu di sofa dan dia menyeduhkan teh untuk Intan.
Kulit Intan begitu dingin, Sarah takut jika perempuan yang sudah dia anggap sebagai anak itu nantinya masuk angin.
Intan masih menangis, dia memang sangat mencintai Irwan tapi takdir tidak memihak mereka berdua.
"Minum dulu mumpung hangat." Sarah datang dengan teh hangat dan diberikannya pada Intan.
Teh manis hangat-hangat kuku itu pun langsung direguknya, memang Sarah pengertian sekali, dia mau melibatkan diri dengan kesengsaraan hidup Intan.
Intan sangat berat meninggalkan Sarah karena dia belum sempat balas budi.
"Terima kasih Mbak. Mbak baik banget ke aku."
"Ah udah ah, Mba bosen dengernya."
"Hehe," Intan tertawa melihat ekspresi Sarah yang kesal. Tapi Sarah juga lebih bahagia melihat Intan tertawa padanya.
"Jadi gimana?" tanya Sarah memulai.
"Apa, Mba?" Intan cukup mengerti, tapi dia tidak ingin buru-buru menjawab dan kembali mereguk teh hangat.
"Apa besok kamu akan –"
Sorot mata Intan melamun menatap lantai, dan langsung kembali menatap Sarah. Dia tidak ingin membuat Sarah menunggi.
Intan menggeleng, membuat Sarah terkejut.
"Tidak Mba. Intan akan cari kerjaan lain."
"Ke mana lagi? Kamu kan tahu cari kerja itu susah," Sarah tidak setuju.
"Tapi tidak ada pilihan lain Mbak." Mata Intan berbinar. "Intan juga akan cari kontrakan lagi," sambungnya.
"Mbak gak setuju. Kalau kamu pergi Mbak sama siapa?" Sarah terlihat cemas.
Bukan Intan ingin membiarkannya sendiri lagi, tapi Intan juga tidak ada pilihan lain.
Jalan hidupnya seakan buntu, satu-satunya jalan saat ini hanya perlu menghindar dari Irwan, pikir Sarah.
"Mba," ucap Intan sembari memegang kedua tangan Sarah. "Intan sangat berterima kasih sama Mbak," tuturnya membuat Sarah meneteskan air matanya. "Maaf kalau Intan belum bisa balas kebaikan Mbak Sarah pada Intan."
"Susttt, Mbak tulus bantu kamu. Kamu juga sering banttu Mbak. Sudah, jangan bahas itu lagi."
Intan tersenyum, sudah hafal lagi respon Sarah kalau dia berterima kasih.
"Tekad Intan udah bulat, Intan yakin kalau Intan bisa. Mbak enggak usah khawatir. Cepet-cepet juga terima pak Amiruddin yang mau ngehalalin," Intan menggodanya, Sarah dibuat tertawa karena membahas pelanggan setianya yang mengajak Sarah menikah.
"Emch, kamumah," decak Sarah. "Tapi apa kamu yakin bisa melepas Irwan, Intan?" tanyanya penuh keraguan pada perempuan yang esok berencana minggat dari rumahnya.
Intan tersenyum dengan helaan napas yang begitu berat. "In sya alloh bisa, Mbak. Daripada Intan menikah sama Irwan tapi tidak dianggap di keluarganya? Karena Intan juga Irwan sering melawan ibunya. Intan enggak mau, Mbak."
Sarah kemudian memeluk kembali Intan. Menyalurkan rasa empatinya.
"Sabar ya, Mbak doain kamu nanti dapet lagi yang lebih dari Irwan dan keluarganya yang bisa menerima kamu."
"Aamiin, Mbak. Terima kasih."
***
Di kantornya, seorang lelaki yang bisa dikatakan pewaris utama dari perusahaan ayahnya itu sekarang tengah mengamuk pada karyawannya karena salah dalam menginput pendataan barang yang diekspor dan telah merugikan perusahaan.
Lembaran berkas dilemparkannya ke wajah salah satu karyawannya yang bertugas dalam pengecekkan akhir.
Semua karyawan terkena imbas, tapi karena dia yang mematung paling dekat dengan si pemilik perusahaan, jadilah dia yang terkena lemparan berkasnya.
Untung saja, dia seorang lelaki karena kalau pegawai yang dilempar berkas ke wajahnya adalah seorang perempuan, pastinya dia sudah menangis karena kesakitan.
"Apa kalian buta, hah?" tanya Arsya, si Pemilik Perusahaan dengan bibirnya yang merapat, rahang yang menegang dan matanya yang belotot penuh amarah. "Enggak becus! Lulusan saja S, S, S, S, sedang konsentrasinya lebih rendah dari anak SMK yang magang kemarin," tambahnya lagi mempertanyakan ijazah para karyawannya yang rata-rata sudah sarjana.
Si Tangan kanannya pun tidak bisa bersuara untuk membela para karyawan.
Dia juga melaporkan lagi soal klien yang protes karena di salah satu barang yang diekspor adapotongan jarum yang lolos dari deteksi.
"Apa?" tanya Arsya semakin emosi. "Lo urusin lagi deh, Bram. Gue enggak mau tahu, dan kalian ...." Arsya memerintah pada Bram dan menunjuk pada karyawannya yang lain. "Gaji kalian saya potong untuk ganti rugi," tukasnya.
Para karyawan sudah paham betul sikap Arsya yang selalu mengancam mereka dengan pemotongan gaji. Semenjak ibu tirinya yang selalu ikut dalam urusan perusahaan.
Arsya memang menerapkan aturan itu sesuai perintah Nia, yang juga mengambil kontrol dalam setiap keputusan Arsya.
"Baik Pak," balas semuanya termasuk Bram.
Semuanya kemudian pergi, Arsya mengambil pas kecil di mejanya dan akan melayangkannya ke pintu.
Tapi, seseorang datang membuka pintu itu dan terkejut karena melihat Arsya yang seperti ingin menyerangnya.
"Eh … lo mau ngehabisin gue?" tanya Hana. Teman tomboynya Arsya yang sudah berganti wujud jadi lebih girly setelah mendapat penolakkan dari teman SMA-nya.