Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 7 - Si Quotes

Chapter 7 - Si Quotes

'Sial, dia nyebut gue 'Pak'. Emang tampang gue serupa dengan bapak-bapak? Cakep gini dikira tua,' Arsya bergumam kesal dalam hati.

"Heh," serunya cukup keras. Tapi Arsya tidak jadi meluncurkan protesnya pada Intan saat mata penuh linangan air mata itu menoleh padanya. "Hmmm, gue gak berniat jahat kok. Minuman ini aman, gue tadi beli lebih."

Arsya pun duduk di samping Intan, dia menyimpan minuman itu di sampingnya karena Intan tak kunjung menerima.

"Apa lo lagi galau? Diputusin? Diselingkuhin?" tanya Arsya memberondong pertanyaan dan mereguk kembali minumannya. Intan masih diam, Arsya adalah orang asing dan tidak ada kewajiban Intan untuk bercerita padanya. "Cerai?" tanya Arsya lagi sesudah dia mereguk minumannya dan masih mengalir di tenggorokan.

"Bukan," balas Intan langsung menepis beberapa sangkaannya. Kata 'Cerai' kembali mengingatkan luka lama yang seharusnya tidak boleh Intan ingat-ingat lagi betapa sakitnya.

"Terus?" tanya Arsya lagi, Intan kembali diam. Lirikan mata Arsya membuat Intan semakin canggung. Hingga dia pun mengambil tawaran minuman dari Arsya yang tadi didiamkan begitu saja di sampingnya.

"Apa ini masih berlaku untukku?" tanya Intan malu-malu.

Arsya menyungging senyum, sinis tapi tawa dalam hatinya tak tertahan.

"Tadi nolak. Sekarang jadi mau," sindir Arsya sebelum membolehkan. "Sok aja, gak bakal gue bawa lagi kok itu minuman."

"Makasih," balas Intan walaupun dengan sedikit rasa malu dia langsung mereguknya setelah menarik alat pelubangnya. Begitu segar dan membantu mendinginkan perasaan Intan yang sedang tidak karuan.

"Kalau putus cinta, jangan digalauin berlebih. Enggak ada gunanya, justru itu membantu mengingatkanmu kalau dunia ini hanya bersifat sementara saja. Semuanya akan dijawab oleh waktu, berlalu dengan waktu dan berakhir karena waktu. Jadi, buat apa nangis-nangis di pinggir jalan? Bukannya nyari simpatik Tuhan dalam sembahyang sujud meletakan kening di sajadahnya dan meminta ampunan seraya berdoa diberikan kesabaran, malah uring-uringan di sisi jalan nyari kesempatan begal," celetuk Arsya dengan santainya.

Intan pun seakan terhipnotis dengan kata-kata yang barusan terucap dari bibir lelaki asing yang sekarang namanya saja Intan tidak tahu.

Apalagi maksudnya berceramah dengan kata-kata yang ngena di hati Intan. Benar apa katanya, pikir Intan.

Tapi untuk situasi seperti ini Intan memang tidak bisa pulang.

Tapi Intan juga salah, seharusnya dia ke masjid sekarang bukannya menyendiri di Halte Bus.

Meskipun berbentuk ruangan transparan, tetap saja hari sudah malam bisa saja Intan sendiri telah membuka celah kejahatan untuk orang lain.

Intan pun tersenyum sambil menggoyangkan minuman kaleng yang masih sisa setengah lagi.

Melihat ekspresi Intan yang mulai membaik, walaupun mereka tidak berbincang banyak … Arsya merasa sudah berperan sebagai manusia.

Meskipun dalam hatinya dia tertawa. Dia bisa saja memberi quotes untuk orang lain sedangkan dirinya sendiri sedang kacau.

Kedatangannya pun ke sini juga untuk merenung selepas tadi dia sudah salat isya.

"Pulanglah sudah malam!" ucap Arsya lagi sembari berdiri.

Dia kemudian memakai tutup kepala sweater hitam yang sedang dia kenakan dan kemudian pergi tanpa pamit.

Intan juga tidak ingin mencegah langkahnya, matanya terus menguntit ke mana Arsya melangkah.

Arsya keluar dari Halte Bus, setelah keluar dia melempar bekas minuman kalengnya ke tong sampah dengan tepat. Terlihat asal, tapi mengenai sasaran.

Intan melamun, tanpa sadar senyumnya pun sampai mengembang dan belum turun.

"Aduh, aku kenapa sih? Senyum-senyum sendiri nanti orang-orang ngira aku gila," gumam Intan.

Dia kemudian melirik jalanan yang masih ramai dengan penghuni malam.

Pikirannya terbesit mengingat Irwan yang mungkin sekarang sudah pergi dari rumah Sarah.

Sudah cukup lama, pikirnya –Intan menangis di sana, dan mendengar wejangan dari orang asing yang cukup tampan menurut Intan.

Dia seperti seorang malaikat berwajah dingin yang dikirimkan Tuhan untuk menenangkan kegundahan hatinya.

Dingin yang menusuk begitu segar, meredakan panasnya dada Intan yang terasa terbakar karena penghinaan.

Intan kemudian berdiri, berjalan tiga langkah ke depan dan melirik sisa jejak Arsya yang tadi berbelok.

"Apa dia tinggal di dekat sini?" tanyanya pada keheningan malam yang tidak akan bisa menjawab pertanyaan Intan.

Napasnya naik sedikit, dan dihembuskannya perlahan. Kemudian, Intan membuka tas kecilnya dan mengambil handphonenya, berniat menghidupkannya setelah tadi dimatikan olehnya secara paksa.

Hanya beberapa hitungan detik handphone mulai menampakkan cahaya layar dan terlihatlah wallpaper – foto Intan dan anaknya Karin saat anaknya itu berusia empat tahun.

Hati Intan kembali tergores, baru saja dia bisa kembali dapat merasakan cinta dan mau menempatkan Irwan di kehidupannya … semuanya sudah terpatahkan sebelum pernikahan.

Nyatanya sakitnya hampir sama seperti perceraian, sama-sama berpisah. Tak terasa air mata Intan menetes membasahi pipinya dan menjalar ke bibir, dagu … dan menetes. Jatuh.

"Maafkan Mama, Karin …." Setelah diusapnya ari matanya, Intan kemudian menepis segala pemikirannya, rasa bersalahnya sebagai seorang ibu yang dia kira dirinya masih belum bisa membuat anaknya Karin hidup layak.

Minggu depan Karin masuk SD, sedang Intan harus kembali melamar ke tempat kerja yang baru, dan mencari kontrakan yang murah untuk hidup lebih mandiri tanpa bergantung pada Sarah lagi dan juga lebih tepatnya agar Irwan tidak bisa menemui dirinya.

Niat Intan sudah bulat, dia tidak ingin kembali berurusan dengan Irwan dan keluarganya.

Biarkanlah hatinya hancur berkeping-keping lagi, daripada harus bertaruh nyawa memerangi Laura yang tidak akan pernah menyetujui hubungannya dengan Irwan.

Diketikannya nama Sarah di pencarian telepon, dan kemudian diletakkannya handphonenya di telinga kanan.

Menarik napas panjang dan mencoba menetralkan emosi diri untuk bersiap berbiacara pada Sarah dengan nada yang dia atur agar terdengar biasa. Tidak ada apa-apa.

"Intan, kamu ke mana aja? Ini udah malam, tadi Irwan ke sini nyariin kamu. Emang makan malamnya gimana?" tanya Sarah nyerocos di ujung telepon sebelum sempat Intan bertanya tentang kedatangan Irwan.

"Jadi Irwan udah pulang, Mbak?" tanya Intan, Sarah terdiam. Hampir tiga menit Intan menunggu jawaban darinya. Tiba-tiba yang terdengar adalah suara Karin memanggilnya.

"Mama, Mama cepet pulang! Mama di mana?" lirih suara kecil Karin terdengar khawatir.

Air mata Intan kembali terjatuh, suara anak kecil itu membuat Intan tidak berdaya.

Dia begitu hancur, Karin adalah korban dari suaminya dan juga nasib yang tidak mujur dirawat oleh Intan yang tidak bisa memberi Karin hidup yang layak. Intan terus saja menyalahkan dirinya sendiri.

"Iya, Sayang … Mama lagi di jalan. Mama akan pulang," Intan membalas Karin dan menahan isak tangisnya agar tidak terdengar.

"Intan kamu hati-hati, cepet pulang ya," Sarah berucap.

Tuttttt … Tuuuttttt ….

Sambungan telepon tiba-tiba ditutup oleh Sarah. Intan bingung, karena tidak biasanya Sarah seperti itu.

'Apa Mbak Sarah … marah?' hati Intan bertanya-tanya. Dia langsung bersegera untuk pulang.

Tidak seharusnya juga Intan membuat Sarah menunggu dirinya pulang sampai larut malamdan membiarkan Sarah menjaga anaknya—Karin.

***