"Hem, hem," Arsya berdeham sebelum dirinya memberikan wejangan. Arsya acuh, dia sekarang tengah hanyut dengan memori kebersamaannya bersama Intan. Sebelum itu, Arsya bertanya, "lo ikut-ikutan zaman ya?"
"Maksud lo?" Irwan bingung.
"Maksud gue, kan lagi marak tuh anak muda nikah sama janda. Bahkan slogannya 'Janda Terdepan, Perawan Ketinggalan' sama juga 'Janda lebih menggoda karena mahir, sedang Perawan perlu banyak belajar, latihan!'." Arsya begitu pede menjabarkan info terkait, tapi temannya Irwan justru emosi.
"Lo ngajak gue berantem? Iya?" Tantangnya dengan wajah menyosor. "Gue cinta sama Intan bukan karena dia jago ngerayu gue," ucapnya sembali melotot, Arsya bergidik melihatnya. "Tapi, dia beda," sambung Irwan sembari mengalihkan pandangan.
Arsya diam, dia tahu kalau orang yang sedang jatuh cinta pasti otaknya sedang di bawah kendali ego.
Dia perlu kesabaran untuk memahami pemikiran temannya dan perlu cara khusus untuk menarik Irwan dari lingkar perasaannya dan kembali jadi manusia yang netral.
"Oke, oke gue paham," ucap Arsya dengan tangannya yang dinaik turunkan untuk mengatur emosi temannya itu. "Gini," sambungnya sembari berbenah untuk mendapat posisi duduk yang lebih nyaman. Irwan memegang kepalanya seperti orang stresss dan Arsya mulai bersuara lagi, "gue memang belum ngerasain yang namanya pacaran. Tapi gue ingin lo sedikit sadar, Bro!"
"Apa? Menurut lo gue sekarang lagi mabuk, gituh? Gue enggak suka minum, lo tahu itu kan?" Irwan mengelak.
"Iya, enggak suka minum alkohol. Tapi bersedia mabuk cinta, itu lebih parah sih."
"Gue tulus, karena itu gue terobesi ingin miliki Intan."
"Lo tulus? Kalau lo tulus lo pasti biarin Intan bahagia dengan keputusannya. Apa lo bisa jamin kalau Intan menikah sama lo dia bahagia?"
Irwan termenung, menelan ucapan Arsya. "Bisa jamin enggak?" tanya Arsya ulang, tapi Irwan tidak menjawab. Dia terlihat berpikir. "Sulit kalau enggak ada restu. Bisa jadi si Intan terus disindir sama ibu lo. Hidup dia pasti menderita. Gue tahu tante Laura kalau nyerocos."
Irwan mendongak. "Bantu gue!" pintanya tulus.
"Ini gue sedang bantu lo." Arsya melejit geram.
"Gue enggak perlu pepatah, tapi bujuk sepupu lo Rachel dan orang tuanya agar batalin perjodohan gue sama dia." Irwan menatap penuh pengharapan pada Arsya.
Arsya langsung menolaknya. "Lo gila? Gue punya kuasa apa? Rachel juga cinta sama lo, gue enggak mau ikut campur."
Irwan diam. Dia juga tahu kalau Arsya tidak mungkin bisa membantunya, apalagi sekedar dengan kata-kata bujukan.
"Gue seperti barang jualan, Bro! Alat burter, tepatnya," ucapnya penuh resah.
Arsya kembali menepuk punggung Irwan. Lelaki itu mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Biarkan semua selesai dengan waktu," ucap Arsya terasa saklek di telinga Irwan.
"Maksud lo?" Irwan tidak paham. Dia takut salah tafsir karena ucapan terdengar Arsya barusan seperti menyuruhnya untuk tidak berbuat apa-apa.
"Lo lagi emosi, redain dulu. Percaya ke gue, turutin aja dulu ibu lo … tante Laura dan PDKT-an dulu sama Rachel."
"Gue enggak bisa," balas Irwan cepat.
"Dicoba dulu! Kalau udah setahun berjalan lo enggak ketemu sama Intan berarti kalian tidak berjodoh. Siapa tahu mungkin dia datang lagi ya, kan? Ulur aja waktu pernikahan lo sama Rachel, di sela waktu itu lo cari-cari keberadaan Intan di mana."
Irwan seperti menemukan solusi, bibirnya menyungging senyum dengan begitu dia bisa membuat ibunya senang dan dia juga bisa mengenal lebih dalam sosok Rachel dan setelah mereka dekat, Irwan bisa membujuk Rachel untuk menolak perjodohan mereka, pikir Irwan rencana Arsya bisa dipertimbangkan.
Namun, di lubuk hati temannya--Arsya tidak suka dengan sarannya sendiri yang dia ucap barusan. Karena secara tidak langsung dia juga melukai perasaan sepupunya—Rachel.
Tapi Arsya pikir, itulah jalan yang tepat bagi mereka.
***
Intan menuntun anaknya Karin. Berjalan di sepanjang jalanan mencari kontrakan baru sambil membawa tas besar yang berisi barang bawaannnya.
Intan sangat sedih melihat anaknya, Karin berjalan di tengah terik matahari yang mulai meninggi.
Sembari berjalan, Intan melamun. Dia kembali mengingat peristiwa penghinaan kemarin, begitu pahit kehidupan yang dia rasakan sampai pulang ke rumah orang tuanya saja Intan belum berani lagi.
Dia takut jika keduanya menanyai kabar Irwan, Intan tidak kuasa melihat ekspresi keduanya yang sangat senang ketika enam bulan yang lalu Intan memperkenalkan Irwan kepada mereka.
Rasanya tidak ingin Intan membebani mereka yang hidup cukup jauh dari pemukiman kota.
Tidak terlalu pelosok, tapi daerah pedesaan yang masih belum terjamah polusi.
Ayahnya sempat bekerja di ibukota, di sebuah gudang makanan.
Tapi akibat kecelakaan kerja yang membuat dia lumpuh akhirnya ayahnya pulang lagi dan sekarang hanya mengandalkan penghasilan dari Intan dan adiknya yang bekerja sebagai ojek online sembari kuliah.
"Ma, kita mau ke mana?" tanya Karin dengan suara imutnya yang khas. Intan melirik anaknya, perasaan rendah terhadap dirinya sendiri terus saja berhamburan.
Karena telah membawa Karin terlibat dengan kehidupannya yang rumit seakan seperti terus menghakimi dirinya sendiri.
Ibu yang enggak becus, ibu yang enggak bisa bahagiain anaknya , ibu yang, ibu yang … dan segala rentetan penyalahan diri.
"Kita pindah kontrakan ya, Sayang. Biar sekolah kamu lebih deket," jawab Intan lembut dengan pengalihan alasan yang memang tepat karena tempat sekolah Karin akan lebih dekat.
Karin cemberut, tangan kecilnya mengusap poninya yang sekarang setengah basah karena keringat.
Intan tahu kalau Karin pasti cape berjalan tapi Intan juga tidak bisa menggendong Karin karena tas yang dia bawa juga cukup besar.
"Sebentar lagi kita nyampe, ya. Kamu kuat berjalan kan, Karin?" tanya Intan memastikan kalau anaknya Karin masih bisa diajak kerja sama.
Karin mengangguk dengan mulutnya yang mengatup sangat rapat. Intan tahu kalau Karin hanya tidak ingin mengeluh.
Intan selalu menasehatinya untuk tidak berkeluh kesah dan Karin selalu menurut. Kalau Karin berkeluh kesah, tandanya dia tidak bersyukur dan kalah dengan dirinya sendiri, nasihat Intan selalu tertanam di benak Karin meski dia masih kecil.
Intan juga bersyukur mempunyai Karin yang jarang membuatnya jengkel, Karin seolah paham kalau ibunya sedang berjuang demi dirinya.
Karin tahu kalau ayahnya masih hidup, tapi Karin belum paham benar, yang dia tahu kalau ayah penggantinya hanyalah Irwan.
Lelaki yang semalam datang-datang mencari ibunya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Intan dan Karin kemudian berjalan masuk ke jalanan yang di setiap sisinya berupa benteng pabrik garment, tepatnya PT. Adiguna Garment Industries.
Bukan ingin melamar kerja, tapi Intan berniat mencari kontrakan dekat pabrik itu.
Tempat yang sudah dikenal banyak perantau sebagai pemukiman padat kontrakan dan orang-orang pendatang yang bekerja di pabrik-pabrik dekat di sana.