Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 13 - Mandar Mengizinkan Tinggal

Chapter 13 - Mandar Mengizinkan Tinggal

"Enggak. Enggak ada yang direpotkan. Istriku pasti seneng kalau suaminya bantu orang lain. Kebetulan dia juga kerja di sini Tan, dia di bagian jahit."

"Oh gituh, jadi cinta lokasi dong dulu, ya?" Intan menggoda temannya itu dan rekan-rekan satpam lain yang mendengar ikut tertawa dan bahkan menimpali.

"Bener tuh Neng. Si Mandar sampai ngejar-ngejar minta nomor telepon si Asri," celetuk salah satu dari mereka. mandar terlihat malu-malu, dia menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.

"Hehe. Kan namanya juga perjuangan cinta," elak Mandar. "Oh ya, kamu mau minum gak Tan?" tawar Mandar setelah dia melihat Karin seperti yang kehausan. Bibirnya begitu kering.

Intan juga melihat anaknya, Karin terlihat layu … tak bersemangat.

Anak kecil itu harus berjuang dengan ibunya di usianya yang masih kecil. Intan sangat tahu kalau hidup Karin tidaklah mudah.

"Boleh, Man."

Mandar pun turun dari meja dan berjalan ke dispenser untuk mengambilkan air.

"Kamu mau minum kopi, Tan?" tanya lelaki itu sembari menadah air yang keluar dari dispenser dengan cangkir.

"Enggak usah, air putih aja, Man," tolak Intan.

Menghirup aroma kopi yang sudah diseduh rekan-rekan Mandar pun sudah membuat hati Intan menangis. Aroma yang sudah biasa ia hirup saat bekerja di perusahaan Irwan.

Sebuah kopi punya Filosopi tersendiri baginya. Tentang cinta yang berawal dari pelayanan dengan senyum dan berakhir karena tidak adanya persetujuan yang mengatasnamakan kesederajatan.

Dua gelas air putih pun diberikannya pada Intan dan sesudah itu Mandar meminta izin pada kepala bagian satpam untuk mengantar Intan ke rumahnya.

Rumah yang minimalis dan tidak jauh dari tempat mereka mengobrol sekarang.

Setelah mendapat persetujuan, Mandar pun mengambil motornya yang terparkir bersama sejumlah motor-motor para karyawan lain.

Mandar dan Intan pun berlalu meninggalkan para satpam yang bertugas. Dengan ramah Intan juga pamit pada mereka.

"Iya, hati-hati di jalan," balas mereka.

"Hati-hati sama si Mandar."

"Semoga kita bisa berjumpa lagi Neng Geulis."

Beragam kata balasan lucu terdengar. Para satpam memang terkesan suka menggoda dengan celotehan mereka yang unik.

Wajar karena mereka bertugas bersama teman mereka yang lain dan itu seperti kubu yang kuat untuk bekerja sama seperti merayu para karyawan atau yang lainnya.

Di jok motor, Intan dan Mandar mengobrol. Membahas masa kecil mereka, perjalanan hidup yang tentunya berbeda dan saling tanya kabar masing-masing yang sempat hilang komunikasi.

Karin tertidur, dia sangat lelah setelah berjalan cukup jauh. Intan juga mengelus-elus rambut anaknya itu yang sekarang lusuh bercampur keringat.

Begitu mungil wajah Karin, itu juga mengingatkan Intan pada anak si kecil itu yang sudah tega pergi tanpa memberikan hak anaknya tiap bulan.

Arga, sang mantan suami seolah lupa kalau dirinya sudah punya seorang anak yang dia tinggalkan sejak usia Karin dua tahun.

Tidak ada bentuk perhatian walaupun hanya sebatas kabar. Arga menghilang total.

Tapi Intan tidak pernah menyalahkan Tuhannya, dia selalu berdoa untuk selalu disabarkan dalam setiap ujian yang diberikan Tuhannya yang sangat dia percayai.

Mandar membawanya masuk ke gang, tidak begitu lebar dan juga tidak begitu sempit. Rumah Mandar ternyata di pinggir pabrik garment tempat dia bekerja.

Jadi, tepat di depan rumah minimalisnya itu adalah jalan gang yang dihimpit oleh benteng pabrik yang di atas bentengnya berbelit kawat duri dan juga beleing-beling yang tertancap.

Sebagai pencegahan agar tidak ada orang yang menyelundup.

Karin pun terbangun sesudah mereka sampai. Mandar sesegera membuka kunci rumahnya, dia tahu kalau Intan dan Karin butuh istirahat.

"Ayo masuk, NTan," ajak Mandar. Dia membuka pintu rumahnya, dilihatnya seisi rumah begitu rapid an barang-barangnya pun kumplit. Kursi, televise, kulkas. Intan pikir kehidupan Mandar sudah cukup standar dengan orang-orang menengah. "Maaf ya, rumahku seadanya," Mandar merendah.

"Ini sih udah cukup Man, coba aku, masih ngontrak sana-sini," Intan membandingkan dengan dirinya sendiri. Mandar tersipu malu.

"Ya, ini juga karena kami sama-sama kerja Tan. Jadi, untuk makan sama nabung sudah lebih dari cukup." Mandar terlihat sibuk ke sana ke mari sedang Intan duduk manis di kursi sebagai seorang tamu.

Mandar juga membuka kulkasnya, memberikan suguhan pada Intan selaku tamu yang baru datang.

"Enggak usah repot-repot Man," ucap Intan merasa tidak enak.

"Ayo, anakmu suruh ngemil yang banyak." Mandar membuka setiap toples yang berisi cemilan yang dibeli istrinya. "Namanya siapa?" tanya Mandar sembari melihat Karin yang begitu menggemaskan.

Intan mencolek Karin. "Itu, ditanya sama Om Mandar."

Karin tersenyum malu sambil menggeliat, dan bersandar pada ibunya.

"Karin, Om," balasnya kecil. Mandar tertawa, dia tahu kalau anak-anak seumuran Karin memang pemalu tapi Intan sebagai ibunya yang sudah hafal betul anaknya, dia tahu kalau Karin—anaknya hanya malu-malu saat di awal.

Kalau sudah kenal, identitasnya beda lagi.

"Ambil aja ya, kalau mau yang lain ada di kulkas," ucap Mandar, Intan dan Karin menganggguk menanggapi ucapan Mandar barusan. Mandar pun berlalu, masuk kamar. Terlihat ada dua kamar di sana.

Mandar cukup lama berdiam di dalam. Intan tidak tahu temannya sedang apa. Dia masih melihat-lihat seisi rumah Mandar yang sederhana tapi terlihat nilai jualnya.

Istri Mandar pasti adalah orang yang peduli terhadap kebersihan dan kecantikan rumah. Sampai Mandar pun keluar.

"Tan, ini kamarmu ya. Kamu bisa istirahat di sini. Sama itu barang bawaanmu juga masukin aja di sini ya."

"Man, kamu baik banget aku jadi malu ngerepotin gini. Baru aja kita ketemu lagi, udah banyak dibantu." Wajah Intan jelas menampakkan rasa syukurnya, dia sangat berterima kasih sekali.

"Iya, sama-sama. Dulu sampai sekarang aku juga enggak bisa lupain jasa-jasamu, Tan." Mandar tersenyum, dia mengingat masa kecilnya yang juga selalu dibantu oleh Intan.

Rumah mereka memang berjauhan, tapi saat di sekolah Intan sangat baik, dia selalu memberi Mandar makanan yang dia punya.

Ayah Intan selalu mendapat bonus makanan di tempat dia bekerja dan Intan selalu membagikannya. Keluarga Mandar juga tidak jauh dengan keluarga Intan. Sama-sama bukan orang kaya.

Mandar dulu juga adalah anak yang pemalu, dia juga sering dibully saat SD karena ayahnya dipenjara atas kasus pembunuhan bayaran.

Ayah Mandar menjadi orang suruhan yang membunuh orang lain dan nantinya mendapat bayaran dari orang yang menyuruhnya.

Setelah bebas dari penjara pun, ayahnya kembali membunuh dan kemudian dipenjarakan lagi –dia juga masih di penjara sampai sekarang.

Ibunya Mandar sudah meninggal sesudah dia lulus SMA. Intan sangat senang melihat kehidupan temannya itu yang sudah serba berkecukupan dibandingkan dirinya yang terus-terusan jadi pengangguran.

"Ayahmu gimana, Man?" tanya Intan. Dia bermaksud peduli menanyakan kabar, tapi ternyata Mandar tidak senang membahas ayahnya sendiri.

Wajah Mandar seketika berubah drastis, begitu datar dan dingin.

"Aku enggak ingin membahasnya."

"Oh, ya maaf."

"Aku pergi dulu ya, lanjut kerja," ucap Mandar sembari memegang gagang pintu ingin bersegera kembali pergi bekerja.

"Iya, terima kasih, Man."