"Gara-gara si Erik sama si Bayu nih. Gue enggak boleh lepasin mereka." Arsya sangat kesal, dia pun keluar dari bilik kamar mandi.
Dilihatnya lelaki tadi sedang kencing, untuk menyampaikan rasa terima kasihnya Arsya pun menepuk pundak lelaki itu.
Setelah keluar dari toilet laki-laki, Arsya berlari-lari untuk mencari kelas pembelajarannya sekarang.
Sepanjang jalan dia sempat berpikir, padahal saat Arsya keluar … beberapa mahasiswa yang sedang kencing melihatnya duluan, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang memberitahu kalau celana Arsya terbalik.
Hanya satu lelaki yang baru masuk yang memberitahunya. Menepis pemikiran kalau mereka sengaja tidak memberitahu Arsya, dia pikir mungkin yang lainnya juga tidak sadar seperti dirinya.
Jadi, tidak ada alasannya untuk berpikir negatif pada para mahasiswa tingkat satu yang pada kencing tadi.
"Ah, sial! Malu gue. Biasanya gue enggak pernah telat."
Arsya semakin mempercepat langkahnya, berlari sekuat tenaga sembari memegang celana katunnya.
Para mahasiswa yang melihatnya dibuat heran, terdengar juga desas-desus mereka yang kini melihat Arsya terburu-buru seperti itu.
"Kenapa dia lari-lari, ya?"
"Buru-buru sekali."
"Kayak film AADC yang ngejar ke bandara, hihi."
Saat Arsya berlari sangat cepat, tiba-tiba di belokan, seorang perempuan muncul mendadak. Arsya tidak bisa mengerem kakinya, dan –
"Awas!" teriaknya cukup keras sehingga orang-orang pun melihatnya.
"Aaa!" si perempuan menjerit.
BLUKGGG!
Arsya menubruk perempuan itu hingga keduanya terjatuh.
Kalau Arsya tidak menahan badannya dengan kedua tangannya pasti dia sudah menindih tubuh perempuan itu.
Mata mereka saling berpandangan satu sama lain, begitu intens sampai keduanya pun tidak bisa berkedip.
Arsya kaget. "Salsa?" tanyanya.
Mereka kemudian segera bangun. Arsya menawari uluran tangan untuk membantu Salsa setelah dia berdiri duluan.
Tapi si perempuan menolaknya, Arsya pun memohon maaf seraya menyatukan kedua telapak tangannya itu dengan penuh rasa menyesal.
Salsa adalah perempuan yang berkerudung. Baju dan kerudungnya selalu panjang, minimal kerudung di bawah dada dan baju selalu melebihi mata kaki.
Sangat indah dipandang, makannya dulu Irwan menyukainya, cantik pula.
Sampai sekarang pun, kecantikannya tidak pernah memudar. Kalau dinyanyiin lagu Aisyah Istri Baginda Rasulullah sangatlah cocok.
"Sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu, Sal?" tanya Arsya, "oh iya, sekali lagi aku minta maaf. Buru-buru soalnya."
Perempuan itu masih menunduk, hanya sekilas memandang Arsya. Terlihat malu sekali, padahal dulu mereka akrab, hanya saja setelah Salsa menyudahi hubungan keseriusannya dengan Irwan, perempuan itu sudah tak terdengar lagi kabarnya.
"Iya, enggak apa kok." Salsa sangat berubah, dia terlihat canggung sekali.
"Kamu ngapain di kampus, Sal? Kamu kuliah juga di sini? Lanjut Magister?" Arsya terus menyerbu dengan pertanyaan, padahal sudah nampak jelas Salsa tidak terlihat suka dan segera ingin pergi.
"Enggak," balasnya singkat dan sangat kaku sambil menunjuk-nunjuk arah parkiran, "aku ada urusan, aku pergi duluan ya. Assalamu'alaikum," katanya sembari bergegas pergi ke arah parkiran.
Arsya bingung, dahinya pun mengernyit.
Seharusnya teman lama jika bertemu itu pasti antusias apalagi mereka sudah jarang bahkan tidak saling berkabar.
Arsya tidak paham mengapa Salsa seperti menghindar darinya padahal yang pernah berhubungan khusus itu dirinya dan Irwan, bukan dengan Arsya.
Jadi, tidak nyambung jika Salsa juga bersikap canggung padanya jika karena Arsya adalah teman dekat Irwan.
"Wa'alaikumsalam," balas Arsya dengan masih melihat langkah teman perempuannya itu pergi.
Tiba-tiba, seorang lelaki mendekati Salsa. Salsa pun menoleh pada Arsya, ke tempat di mana lelaki itu berdiri sekarang, beberapa meter di belakangnya.
"Itu, Pak Doni?" Arsya tercengang.
Dosennya yang akan mengajar sekarang justru menggandeng Salsa dan membawanya pergi.
"Itu istri Pak doni, lo belum tahu? Cantikkan?" ucap Bayu tiba-tiba.
Erik dan Bayu tadi melihat Arsya yang menubruk istri dosennya sendiri, niat menolong tapi mereka lebih memilih memerhatikan Arsya dari kejauhan sebelum mereka menghampirinya sekarang.
Arsya yang sadar kalau dua orang curut itu sudah ada di samping kanan dan kirinya, dia pun tanpa pikir panjang langsung menyerang mereka dengan celana katun yang masih dipegangnya untuk dijadikan senjata.
Menyiksa keduanya seperti memukul dengan gada, padahal hanya dengan celana yang dikepretkan saja ke badan mereka.
Arsya sungguh melupakan identitasnya sebagai seorang CEO jika di kampus, tidak ada ketegasan atau apalah apalah yang mesti dia tunjukkan.
Serasa menjadi anak strata satu yang masih rame berteman sana-sini. Begitulah jomlo, tidak ada beban untuk mendewasakan diri sendiri.
Selama seru dengan kepribadian diri yang nyeleneh, Arsya masih betah bertahan di sana.
Meskipun, untuk tetap mempertahankan reputasi karismatiknya masih dia pegang teguh karena itu sudah timbul dalam dirinya sendiri.
Terlalu banyak diam, membuat aura di dalam tubuhnya juga terpancar elegant apalagi ketika Arsya sudah puitis.
Semua perempuan selalu menopang dagu sambil memerhatikannya lamat-lamat, kelebihan dari seorang Enterpreuneur yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
Bisa menyaingi orang-orang di jurusan Bahasa itu merupakan suatu nilai lebih.
"Kalian, gara-gara kalian gue jadi malu. Telat masuk lagi." Arsya emosi, sangat emosi.
"Ampun-ampun, Kawan!" Bayu memekik meminta belas kasihan. Tapi Arsya tidak menggubrisnya.
Erik pun sama. "Iya Arsya, ampun-ampun, enggak kami publish kok santai."
Arsya lelah, dia pun menyudahi siksaannya.
"Habisnya sih lo kayak hantu toilet, ganti mulu celana di sana. Emang kenapa sih lo enggak pakai jas aja masuk kelas? Enggak apa kan biar semua juga tahu kalau lo tuh CEO yang lagi beresin S2 lo," kata Bayu memberi saran.
Arsya mendecak. "Terlalu wah, disangka nyaingin dosen nanti." Arsya juga menyimpan celana katunnya di bahu sambil masih dia pegang ujung celananya, dia kembali menatap Salsa dan Pak Doni yang sudah jauh dari pandangannya –yang katanya mereka adalah suami istri.
Arsya tidak menyangka kalau perempuan secantik Salsa menikah dengan lelaki yang dua kali lipat umurnya.
Pak Doni memang baik, kaya lagi, apakah itu asalannya? Atau mereka dijodohkan?
Arysa tidak tahu kejelasan mengenai kehidupan Salsa, yang dia dengar Salsa memutuskan Irwan secara sepihak.
Jika soal harta, Irwan pun sama kayanya. Apalagi kalau soal umur, ketampanan, tentunya Irwan lebih utama.
Pak Doni memang ganteng, tapi itu kalau dilihat saat dia muda, wajahnya sudah berumur sekarang dan sangat tumpang tindih jika diserasikan dengan wajah Salsa yang masih fresh dan terlihat Baby Face.
"Lo parah sih tadi, Sya. Masa lo tubruk istri dosen sih? Untung Pak Doni enggak lihat." Erik yang melihat kejadian tadi dengan mata kepalanya sendiri tanpa sensor sungguh sangat terkejut dan dibuat ingin, kalau saja tadi dia yang menubruk Salsa mungkin dia sudah mimpi basah terus selama seminggu.
Otak Erik memang agak miring, Arsya dan Bayu juga tahu itu.
"Kalian selalu update ya, info-info dosen," celetuk Arsya, "lagian dia teman gue kok, waktu sekolah," tambahnya dengan memasang wajah datar sembari mengambil hanphone-nya di saku celana katun. Arsya pun juga baru sadar.
"Eh iya, kenapa Pak Doni pergi ya? Kalian lagi, kok ada di sini? Emang enggak jadi masuk?" tanya Arsya bingung.
Gara-gara melihat Salsa jadi membuat dia lupa kalau tadi dia berlari-lari hanya untuk ikut mata kuliah Pak Doni.
"Dia enggak jadi masuk, makannya baca grup kelas. Jangan so sibuk!" sindir Bayu.
"Heh, tadikan gue sibuk di toilet gara-gara kalian mengacau." Arsya membantah tuduhan Bayu yang mengatainya so sibuk.
Sebenarnya memang benar kata Bayu, Arsya sangat jarang membuka chat Whatsapp yang bejibun.
Dia bukan orang yang suka meng-Scroll setumpuk chat yang sudah salig bertubrukan. Makannya, Arsya lebih memilih cara praktis dan selalu bertanya pada kedua temannya itu.
"Wah, jadi selamat dong gue ya?" Arsya tersenyum semringah.