Kali ini, karena tujuan mereka bukan untuk main. Arsya dan Irwan hanya memesan minuman saja di ruang cafe umum.
Mereka sama-sama memesan kopi dan saling membuka senjata masing-masing, yaitu rokok dengan merk mahal yang oleh anak-anak muda seperti mereka sangat disukai.
Terasa berkelas jika seorang lelaki-laki memegang rokok itu di tangan mereka. Akan terlihat lebih cool.
Seperti sekarang, keduanya memegangnya dan menyulut api di ujungnya.
Irwan dan Arsya bukan penikmat rokok vape, mereka lebih suka rokok yang menurut mereka otentik.
Disentilnya abu rokok oleh Irwan ke asbak yang sudah disediakan dan dia pun memulai obrolan dengan pertanyaan terdahulu.
"Ada apa lo tiba-tiba lagi ngajak gue keluar?" Matanya meminta jawaban Arsya yang sama-sama tengah mengecap ujung batang rokok dan dihembuskannya asap dari mulutnya ke langit-langit ruangan cafe tersebut.
Arsya balik menatap Irwan yang pandangannya terpusat pada dirinya, tapi Arsya membalas Irwan sambil membuang wajah ke jendela kaca di samping mereka yang hampir sebagian jalur itu hanya kaca bening yang terbentang sampai kasir.
Jalanan bisa tampak jelas di sana.
"Lo enggak boleh merlakuin si Rachel segitunya Wan, bagaimanapun dia sepupu gue." Arsya terus menghirup rokoknya dengan nikmat dan begitu santai, berbeda dengan Irwan yang mulai tidak enak hati dengan perkataan Arsya barusan.
"Lo kan udah tahu kalau gue enggak punya rasa sama dia. Rachel memang cantik, tapi gue –"
"Tapi dia juga manusia, dia seorang perempuan yang rentan hatinya terluka," Arsya memotongnya dengan kutipan yang begitu pas.
Terdengar di telinga Irwan seperti puisi yang baru saja menjadi pembuka untuk melanjutkan lanjutan puisinya yang akan menuai prokontra karena berlawanan arah dengan niat Irwan sebelumnya.
"Oh lo jadi mau sekalian ngebahas Rachel?" Irwan terlihat tidak nyaman.
"Ya pokoknya lo jangan terus-terusan deh kayak gituh."
"Bukannya lo yang kasih gue saran harus menyetujui pertunangan gue sama Rachel?" Irwan mulai mempertanyakan.
"Iya. Tapi bukan berarti lo bersikap semena-mena sama dia dong."
"Gue enggak semena-mena, gue kan ninggalin si Rachel demi ngobrol sama lo," elak Irwan, padahal sejujurnya ucapan Arsya memang benar.
Irwan sengaja dan hanya kebetulan saja Arsya juga mengajaknya pergi.
"Iya, tapi maksud gue –"
"Udah ah, gue enggak mau bahas Rachel. Jadi kenapa lo pengen ngebahas Salsa?"
Arsya pun menghela napasnya, dan mereguk secangkir Coffe Latte yang dia pesan tadi.
Begitu menikmatinya dengan sengaja agar Irwan semakin penasaran, mata Irwan bergerak-gerak, menunggu Arsya untuk menjawab rasa penasarannya pada mantannya.
Irwan juga memegang Coffe Latte yang sama, dia juga mereguknya seteguk.
Arsya masih mengecap sisa kopi di bibirnya, dan kemudian kembali memasukan ujung rokok ke dalam mulut.
Tatapan jahil dan juga serius dia panahkan ke mata Irwan yang mulai melebar.
Dia sangat penasaran dengan informasi mutakhir yang ingin disampaikan Arsya.
"Oke, gue enggak bisa maksa lo," balasnya dan membenahkan posisi duduk lebih tegap dan lebih depan. "Tapi, gue enggak mau kalau lo ngerendahin Rachel tiap saat. Dia terlalu polos untuk dijodohin dengan lo. Lelaki yang tidak menyukainya, padahal Rachel kalau dijadikan istri pasti patuh banget … cewek idaman."
Irwan pun tertawa. "Dia bertahan karena dia suka sama gue, makanya dia juga patuh." Irwan sangat pede, karena itu juga memang fakta.
Rachel memang begitu mencintai Irwan, terlihat jelas dari sorot matanya setiap kali mereka bertemu.
"Rachel sangat cantik, manis, kulitnya mulus seperti boneka Barbie. Matanya bulat, bibirnya seksi, bajunya juga selalu berkelas. Bodoh sih lo, menurut gue." Arsya memuji-muji sepupunya, sangat aneh pikir Irwan.
"Ya, lo aja dong yang nikahin," sindir Irwan sembari menyungging senyuman sinis.
Mereka kalau sudah berdebat kadang seperti musuh dalam selimut, ekspresi mereka sulit ditebak apakah keduanya teman ataupun para Mafia yang sedang menyamar.
"Gila, dia sepupu gue. Risih gue nikahin dia walaupun hukumnya sah."
"Tunggu apalagi? Biar gue terbebas dari perjodohan ini."
"Ogah banget, gue belum mau nikah."
"Ya gue juga sama, mau nikah kalau sama si Intan," balas Irwan tersenyum, Arsya juga sama. Bahkan di pikiran Arsya, senyuman Irwan barusan adalah bentuk mesumnya karena Intan seorang janda. "Ah, kelamaan lo. Bukannya mau ceritain si Salsa?" Irwan tak sabaran.
"Lo itu sebenarnya pilih Intan atau Salsa sih? Heran gue," Arsya menggodanya.
"Jelas Intanlah, tapi kan gue masih penasaran kenapa si Salsa hilang seperti ditelan bumi padahal gue sama dia baik-baik aja. Ibu gue juga setuju-setuju aja tuh."
"Nah itu dia, sepertinya gue tahu alasan kenapa si Salsa ngehilang tanpa jejak." Arsya begitu bersemangat, badannya pun semakin mendekat ke meja dan wajahnya seperti ingin membisik pada Irwan, tapi hanya untuk lebih membuat Irwan penasaran saja.
Antusiasme seperti itu akan menambah rasa ketertarikan orang yang diajak mengobrol terhadap isi obrolan.
Arsya sangat tahu kalau temannya itu butuh sedikit gebrakan, apalagi membahas masa lalu, Arsya yakin kalau Irwan bukan orang yang mudah berpaling meski dia sangat mencintai Intan.
Tetap saja, cintanya pada Salsa masih berbekas.
"Apa? Cepat ke intinya dong, penasaran gue." Wajah Irwan mendekat.
Arsya pun menggebrak meja, membuat seisi ruangan menggema dan orang-orang memandang mereka sekilas.
Tapi keduanya begitu acuh karena sudah lama menjadi pengunjung, mereka merasa berhak untuk mengakui tempat itu sebagai milik mereka sendiri.
"Apa lo diundang ke pernikahan Salsa?" tanya Arsya memulai dengan pertanyaan yang berpusat pada inti keterangannya.
Seperti dugaannya, Irwan pun sangat kaget.
Terlihat juga bibirnya yang menelan salivanya.
Matanya pun berbinar-binar.
Mungkin dia tidak habis pikir kalau Salsa menikah tanpa mengundang dirinya.
Bagaimanapun, mereka berawal dari sebuah pertemanan, tidak sepantasnya Salsa memperlakukannya menjadi orang asing setelah beragam moment mereka lalui bersama.
Keduanya tidak bisa mencekal takdir, seperti takdir yang sama antara Irwan dan Intan yang belum melewati masa yang lama.
Masih hangat, perpisahan itu masih terasa sakit di dada Irwan.
"Gue simpulin, lo enggak diundang kan?" ledek Arsya kemudian karena Irwan belum menjawab pertanyaannya.
"Emang lo diundang?" tanya Irwan datar.
"Enggak."
"Huhhh, kirain." Baru saja Irwan menduga kalau Salsa hanya tidak mengundangnya seorang, ternyata Arsya pun. "Kapan dia menikah?" tanya Irwan lagi di saat Arsya masih menertawainya.
"Bukan kapan, tapi udah. Anaknya aja udah dua."
"Apa? Kenapa lo tahu?"
"Gue tadi ketemu dia di kampus, malah gue nubruk dia sampai terjatuh. Gue kira bukan si Salsa."
"Lo tubruk dia? Sengaja kali lo." Irwan menatap Arsya dengan penuh pikiran buruk selayaknya seorang lelaki yang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dalam kesempitan, semua lelaki sama pikir Irwan. "Tapi, ngapain dia ke kampus lo?" Irwan heran.
"Enggaklah, gue emang nubruk dia enggak sengaja. Gue lagi lari dengan kecepatan tinggi, eh dia nongol di belokan. Olenglah gue, ngerem mendadak dan BLUKGGG! Ambyar sudah." Arsya memvisualisasikan kejadian dengan gayanya yang khas.
"Ya, terus-terus apa lagi kelanjutannya? Kenapa dia di kampus? Siapa suami dia? Dan kenapa lo tahu kalau Salsa udah punya anak? Apa lo nubruk anaknya juga?" Irwan melotot sembari tidak kuasa membayangkannya.
Kalau Arsya menubruk kedua anaknya Salsa itu juga tidak habis pikir, Arsya sangat ceroboh menurutnya.
Di kampus lari-lari memangnya marathon, Irwan sedikit tertawa membayangkan jika itu terjadi langsung di hadapannya.
"Ya enggaklah," bantah Arsya. "Ternyata, si Salsa adalah istri dari dosen gue. Kayaknya dia nikah sama duda deh, gue takjub sih lihatnya. Soalya temen gue yang segagah ini kalah telak sama Duda," sindir Arsya sembari melihat Irwan seperti meremehkan. "Seperti Janda yang terdepan, Duda ternyata lebih professional ya …." Arsya kembali tertawa.