Dentingan tuts piano mengalun indah diseluruh penjuru ruangan. Dengan diiringi suara merdu Jeffrey yang menyanyikan lagu Akad milik Payung teduh, membuat semua orang tersihir dalam suasana romansa yang tercipta.
Lirik demi lirik yang terucap dari mulut Jeffrey seolah mewakili perasaanya kepada seorang gadis yang berdiri tak jauh dari tempatnya memainkan piano.
Elina, sang pemilik cafe tersenyum manis melihat sosok lelaki yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu berani dan sangat siap melamar seorang gadis yang sangat dicintainya. Secara tidak langsung, Elina pun tahu, bagaimana lika-liku hubungan pasangan muda ini hingga berhasil sampai ke tahap ini.
Bangga? Ya! Elina merasa begitu bangga melihatnya. Jeffrey yang telah ia kenal sejak lelaki itu kecil, mampu bangkit dari masa terpuruknya bersama seorang gadis baik-baik yang sangat memahami serta menyayanginya.
Setelah lagu yang ia nyanyikan selesai, Jeffrey turun dari panggung mini yang tersedia di cafe Elina sembari membawa sebuket bunga mawar merah dan berlutut di depan sosok wanita yang paling ia sayangi. Menyatakan keinginannya dengan kalimat-kalimat manis diiringi seruan nafas yang memburu karena gugup.
"Gue nggak pernah tahu kalau adek gue bisa seromantis ini," seru Jevan menatap haru kearah sang adik bungsu yang berusaha membuat kekasihnya tersipu malu dengan perlakuannya.
Elina terhenyak mendengar seruan Jevan tepat di depan telinganya. Ia melirik ke samping dan mendapati senyum merekah menghiasi wajah Jevan tatkala menyaksikan adik kesayangannya mulai untuk berkomitmen dengan satu wanita.
"Bukannya lo juga gitu Van?" Balas Elina yang mendapat lirikan tak mengerti dari Jevan.
"Apanya?" Elina hanya tersenyum mendengar seruan Jevan yang tak mengerti maksud ucapannya. Hendak menanyakan lebih seruan Elina, namun Jevan kalah cepat dengan riuh tepuk tangan ketika Lisa menerima lamaran manis dari kekasihnya. Jevan pun memilih ikut bertepuk tangan dan kembali melihat aksi adiknya yang memasangkan sebuah kalung di leher kekasihnya.
"Apanya yang gue juga gitu?" Tanya Jevan disela-sela riuhnya semua orang yang memberikan ucapan selamat kepada pasangan muda itu.
Elina tak menjawab dan ia pun bergegas kabur dari tempatnya lalu menuju dapur dan mempersiapkan hal lainnya bersama para karyawan cafe. Sengaja menghindar pria yang berprofesi sebagai dokter anak itu.
Acara selanjutnya pun dimulai, meja cafe telah di sulap sedemikian rupa membentuk meja panjang yang mampu menampung semua tamu yang hadir di tempat ini. Hanya sekitar 9 orang yang hadir disini dan mereka semua adalah sahabat baik pasangan muda ini ditambah Jevan dan Tama.
Di meja ini, mereka merayakan ulang tahun Lisa dengan acara meniup lilin dan memotong kue. Lisa sempat bergidik tak ingin memotong kue tersebut karena gadis itu sangat menyukai kartun doraemon.
Ia begitu menyukai tatanan kue buatan Elina dan merasa sayang untuk memberikan noda sedikit saja pada kue tersebut.
Semuanya tertawa mendengar seruan Lisa hingga Jeffrey memaksa kekasihnya dengan iming-iming dan akhirnya Lisa pun memotong kue tersebut dan menyuapkan potongan pertamanya kepada Jeffrey sebagai pengganti kakaknya yang tidak hadir malam ini karena ada keperluan diluar kota.
"Calon adek ipar lo gemesin banget Van. Sayang banget dia ketemu Jeffrey duluan dibanding gue," kelakar Tama disela-sela acara.
"Memangnya mau lo apain kalau ketemu lo duluan?" Imbuh Jevan ingin tahu.
"Ya gue nikahin lah! Kalau mantan istri gue semanis dan sebaik calon adek lo, nggak mungkin gue ngadepin drama pernikahan kaya dua tahun lalu!" Ungkap Tama seakan flahsback ke masa lalunya yang membuat Jevan mengenduskan nafasnya heran mendengar desisan sahabat sejawatnya ini.
Setelahnya, Elina dan para karyawan cafe datang membawa troli yang berisi makanan yang telah dipersiapkan secara khusus untuk malam ini. Wanita cantik pemilik kulit coklat eksotis ini menghidangkan beef katsu kepada masing-masing tamu yang hadir.
Satu persatu dari mereka mendapatkan jatah makan malam tersebut. Tak lupa juga beberapa makanan lain seperti taco hingga chicken fujita tersedia sebagai menu pelengkap.
Usai menghidangkan semua makanan, Elina menyuruh karyawannya ikut bergabung dan menikmati semua hidangan ini. Wanita ini duduk di kursi yang tersisa tepat di ujung meja.
Secara sigap Jevan menukar piringnya dengan piring milik Elina yang belum disentuh sama sekali. Wanita ini sempat kebingungan melihat Jevan bertukar piring seperti tadi.
Namun, ia tersadar manakala beef katsu yang ada di piring Jevan telah di potong kecil-kecil guna memudahkan dirinya untuk makan.
"Thanks," ucap Elina mendesis pelan lalu mengambil garpu dan menyantap beef katsu hasil potongan yang Jevan lakukan untuknya.
Tama berdecih dan mencibir saat melihat perhatian kecil itu. Bahkan pria yang berprofesi sebagai dokter spesialis umum itu kembali melihat balasan perhatian yang dilakukan oleh Elina kepada Jevan. Sayangnya, tidak ada yang memperhatikan hal itu karena semua terlihat sibuk dengan main couple malam ini.
"Sahabatan kaya gitu? Berlindung dibalik status sahabat sih iya," tutur Tama tepat di depan telinga Jevan dengan nada menyindir yang sangat jelas.
---000---
Pintu cafe berhasil terkunci rapat, semua orang pulang setelah semua acara telah usai. Jam yang terpasang diatas dinding cafe menunjukkan angka 1 pada jarum pendeknya dimana malam telah larut.
Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, Elina naik ke lantai atas yang menjadi tempat istirahatnya. Selama membuka cafe, Elina jarang sekali pulang ke rumah orang tuanya karena jarak yang cukup jauh.
Untuk memudahkan dirinya dalam mengelola cafe, ia pun membangun tempat tinggal sederhana di lantai dua dan menjadikan tempat itu sebagai hunian yang layak di tempati oleh wanita single seperti dirinya.
Tak jarang, Jevan pun sering menginap dan menumpang tidur di lantai dua jika ada kebutuhan yang mendesak seperti jadwal operasi yang harus dilakukan saat larut malam, atau dini hari.
Bahkan Elina sengaja membeli kasur lipat khusus untuk Jevan agar pria itu merasa nyaman mengistirahatkan diri karena ruang di lantai dua tidak cukup untuk menaruh dua ranjang sekaligus.
Salah satu tangan Elina membuka knop pintu ruang lantai dua yang terlihat sepi. Kedua alisnya nyaris menyatu melihat ruangan ini kosong tak berpenghuni. Karena yang ia tahu, Jevan telah beristirahat lebih dulu sebelum pesta berakhir.
"Van, lo dimana?" Elina berseru dan menjelajahi kamar ini dan melihat pintu balkon terbuka lebar.
Buru-buru Elina menuju pintu tersebut dan menatap punggung Jevan yang hanya mengenakan kaos putih tipis dan boxer berwarna navy. Wanita berusia 31 tahun ini ikut keluar dan berdiri di samping sahabatnya yang meneguk kaleng bir.
Tidak biasanya Jevan meminum minuman beralkohol seperti bir kaleng meskipun kadar alkoholnya tidak seperti minuman keras lainnya.
"Belum tidur lo?" Tanya Elina yang membuat Jevan menoleh dan menyeringai tipis usai meneguk minumannya.
"Kebangun," sahut Jevan lalu meneguk lagi bir kalengnya hingga tandas.
"Lo kenapa Van? Ada masalah? Nggak biasanya lo ngambil persediaan kaleng bir gue."
Jevan meremuk kaleng tersebut dengan kekuatan tangannya lalu melemparnya kedalam tong sampah yang ada di sisi kiri balkon. Ia pun kembali menatap kearah Elina, sahabat terbaiknya sejak masa putih abu-abu lalu tersenyum tipis sembari menggeleng lemah.
Namun, bukan Elina namanya jika ia tidak paham dengan gelagat Jevan seperti ini. Selama 17 tahun mereka bersahabat, Elina sudah khatam semua sifat dan kebiasaan dari seorang Jevano Angkasa.
"What happen? What's wrong with you? Gue perhatiin beberapa hari ini lo keliatan sedikit berbeda," tutur Elina yang masih berusaha agar Jevan mau berbagi cerita dengannya.
Jevan meringis lebar lalu menatap kearah langit malam yang tampak lebih gelap karena sinar rembulan tertutup oleh awan yang cukup tebal.
Pria ini masih enggan untuk membuka suaranya. Terlalu malu mungkin untuk mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal dirinya beberapa hari ini.
"Jeffrey? Apa dia yang mengganggu pikiran lo akhir-akhir ini?" Seru Elina lagi yang membuat Jevan mau tak mau langsung menoleh kearah wanita itu.
Elina berdesis samar sembari memperhatikan paras Jevan yang tampak terkejut menanggapi seruannya. Elina pun akhirnya tahu apa yang sedang memenuhi pikiran Jevan.
"Kenapa lo mikirin Jeffrey? Lo takut dilangkahi sama dia apa gimana?"
Pria ini tertawa samar mendengar penuturan Elina. Sudah sekian orang yang berkata seperti itu. Jevan selalu menyangkal, namun ia juga tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini ia merasa begitu berbeda.
"Gue nggak takut dilangkahi, gue cuma merasa nggak percaya aja sama keberanian Jeffrey. It makes me speechless dan nampar gue banget! Apalagi waktu gue tanya tentang Denish kalau aja anak itu pengen tinggal sama mereka pasca menikah, jawaban Jeffrey buat gue nggak bisa berkutik. Gue..."
Jevan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia menundukkan kepalanya sembari menghela nafas panjang.
Elina membuang wajahnya mendengar hal itu. Lagi dan lagi semua itu kembali pada sosok Amanda, wanita masa lalu Jevan. Sosok wanita yang selama ini menghantui Jevan dengan penyesalan. Ada sekelebat rasa nyeri usai mendengar hal itu keluar dari mulut Jevan sendiri. Elina menyesal telah memaksa Jevan untuk mengeluarkan perasaan yang mengganggunya akhir-akhir ini.
"Kalau aja gue nggak berubah jadi pecundang, mungkin sekarang gue yang berada di posisi Jeffrey."
Wanita ini dapat merasakan aura kesedihan dan keterpurukan Jevan datang lagi. Ia pun kembali menatap kearah pria yang lebih tua dua tahun darinya ini sembari memposisikan tubuhnya tepat didepan tubuh Jevan.
"Do you wanna hug? You need to resting your heart Van," lirih Elina sembari merentangkan kedua tangannya yang disambut oleh Jevan.
Pria bertubuh tinggi ini menghambur ke dalam pelukan Elina dan mendaratkan wajahnya di ceruk leher wanita yang selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah. Dekapan Elina selalu menjadi tempat ternyaman baginya.
Elina menepuk punggung kekar milik Jevan dan membiarkan tubuhnya menjadi sandaran bagi Jevan untuk kesekian kalinya.