Pintu cafe bergerak terbuka, seorang pria matang yang berusia 35 tahun masuk ke dalam dengan stelan jas mahal yang membalut tubuh proposionalnya. Derap sepatu pantopelnya yang berpadu dengan lantai, membuat beberapa pasang mata karyawan cafe sempat terpana menatap sosok lelaki berparas tampan yang melangkah pasti ke depan counter.
Aroma leather dari pria ini tercium kuat, menyebar keseluruh penjuru ruangan seakan memberi penanda betapa khasnya wangi maskulinitas dari lelaki yang kini berada di depan meja kasir.
Kedua netranya yang berwarna coklat madu saat membaca menu yang tersedia di cafe ini, membuat salah satu karyawan yang hendak melayaninya terpaku diam sembari menatap kagum sosok pria matang ini.
"Saya pesan espresso, dan sandwichnya satu."
Suara bariton yang terdengar dari mulut sang pria semakin membuat karyawan ini mematung terpana. Seakan ia belum pernah melihat pria setampan dan berkharisma seperti pria di hadapannya saat ini.
"Mba? Halo?" pria berjas ini memanggil karyawan cafe yang saat ini menatapnya tanpa berkedip. Bahkan salah satu telapak tangan besarnya melambai tepat di depan wajah karyawan cafe itu agar secepatnya tersadar.
"Sania!"
Karyawan cafe yang sejak tadi terpaku menatap pelanggan yang terlewat berkharisma itu akhirnya terhenyak saat sang pemilik cafe berseru memanggil namanya sembari menepuk pundaknya.
"Eh, kak Elina," sahut Sania tergagap malu sekaligus canggung karena ia kedapatan mengagumi salah satu pelanggannya.
Elina berdecik dan menunduk sembari meminta maaf kepada pengunjung cafenya atas kelalaian salah satu karyawannya.
"It's ok El!" Sahut lelaki itu yang ternyata mengenal Elina.
Wanita itu mendongak saat suara berat itu menyerukan namanya. Elina pun mendongak dan mendapati paras lelaki yang sangat familiar dimatanya.
"Kak Jeremy?"
Jeremian Angkasa, sosok pria yang sejak tadi dikagumi oleh bawahannya, Sania tersenyum tipis melihat keterkejutan Elina karena kedatangannya disini.
Elina seolah tidak menyangka melihat kehadiran saudara tertua Angkasa berada di cafenya. Ia pun meminta Sania untuk melanjutkan pekerjaannya yang lain sedangkan dirinya sendiri yang akan melayani Jeremy.
"Tumben kak mampir kesini?" seru Elina sembari menangkap jarum jam dinding yang masih memperlihatkan angka sepuluh pagi.
"Habis meeting di sekitar sini. Jadi sekalian mampir."
Elina memgangguk pelan sembari memberikan senyum ramahnya kepada sosok kepala keluarga dari Angkasa bersaudara ini.
"Oh ya, mau pesan apa kak?"
"Espresso sama sandwich. Bisa tolong buatkan? Untuk dimakan disini saja."
"Tentu. Kak Jeremy silahkan duduk dulu. Biar pesanannya nanti aku yang antar," ucap Elina teramat santun dan kepala Jeremy mengangguk pelan.
Sebelum pergi, Jeremy hendak mengeluarkan kartunya untuk membayar, namun Elina menyuruh nanti dan lagi-lagi dituruti oleh pria matang ini. Ia pun berjalan kearah kursi yang cukup dekat dengan jendela kaca dan mendudukkan tubuhnya disana sembari menunggu pesanannya datang.
Beberapa menit kemudian, Elina datang membawa nampan yang berisi pesanan Jeremy dan meletakkannya diatas meja dengan bonus roti panggang yang masih terlihat menggoda karena asapnya yang masih terlihat mengepul tipis ke udara.
"Ini kak pesanannya. Mau ditemani atau ingin sendiri?"
"Kalau kau tidak keberatan, aku ingin kau menemaniku disini," sahut Jeremy santai yang membuat Elina tersenyum dan mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang berada tepat di hadapan pria ini.
Elina memperhatikan pria yang memiliki paras hampir sama dengan Jevan sedang menikmati makanannya. Banyak orang diluaran sana sangat takut akan sosok lelaki ini. Terlihat dari penampilannya, Jeremy memang tampak lebih tegas, dingin dan berwibawa dari kedua saudaranya.
Mungkin karena ia adalah kakak tertua dan sudah terlatih menjadi kepala keluarga sejak dini hingga akhirnya semua karakter itu terbawa sampai sekarang.
Namun, semua hal itu tidak dirasakan oleh Elina. Wanita ini justru menganggap sosok Jeremy terlihat sangat hangat. Jeremy selalu bersikap baik kepadanya, terkadang kakak tertua Angkasa ini sesekali mengirimkan pesan kepadanya untuk bertanya tentang kondisi kedua adiknya.
Maklum saja, sebagai seorang pebisnis besar yang sukses, Jeremy dituntut untuk sering pergi melakukan bisnis trip yang membuatnya tidak bisa stay di satu kota atau satu negara dalam kurun waktu yang lama.
Jika ia kembali ke Jakarta, sebagian besar waktunya selalu ia habiskan untuk perusahaan meskipun terkadang ia harus menyempatkan diri dan mengatur jadwal untuk bertemu dengan kedua adik kesayangannya.
Bagi Elina, Jeremy merupakan sosok lelaki yang begitu sayang dengan keluarga. Dibalik kesibukannya, Jeremy tidak pernah absen memperhatikan bagaimana keadaan kedua adiknya dan mencoba memantau mereka dari kejauhan. Tak heran jika Elina selalu menaruh rasa hormat serta bangga kepada sosok lelaki ini.
"El," seru Jeremy setelah menelan separuh dari sandwich miliknya. Elina terhenyak dari lamunanya dan bergumam dipanggil seperti itu.
"Bisakah aku meminta tolong?"
"Minta tolong apa kak?" Tanya Elina ingin tahu.
"Kamu sudah tahu kan kalau minggu depan aku dan Jevan akan menemani Jeffrey untuk melamar pacarnya?" Elina mengangguk cepat.
"Kebetulan dari pihak tetua, cuma om Hendra yang punya jadwal kosong. Tante Kanaya nggak bisa ikut karena harus terbang ke Paris untuk fashion week disana. Karena tidak ada pihak perempuan yang datang bersama kami, kamu mau gantiin tante Kanaya?"
Elina menautkan alisnya mendengar permintaan Jeremy. Ia tertegun sejenak lalu memasang wajah bingung. Pasalnya, dihari itu kedua keluarga akan dipertemukan. Sedangkan dirinya bukan siapa-siapa bagi keluarga Angkasa. Ia hanya orang asing yang kebetulan sangat kenal dekat dengan ketiga saudara itu.
"Hm, gini kak. Sebenarnya aku nggak keberatan. Cuma, rasanya aneh kalau aku harus ikut kesana. Ya, seperti yang kakak tahu, aku bukan salah satu anggota keluarga kalian. Apalagi acaranya cukup private. Jadi rasanya sungkan buat ikut nemenin kalian semua untuk ke rumah Lisa," ucap Elina yang menolak secara halus permintaan Jeremy.
"Kamu juga sudah kami anggap keluarga El. Dari kecil Jeff sangat deket sama kamu dan selama ini dia selalu menganggap kamu sebagai kakak perempuannya. Sayangnya, di hari itu para tetua perempuan nggak ada yang bisa."
"Keluarga dari pihak mami juga nggak bisa karena harus terbang bolak-balik dari England kesini. Mereka bisa datang diwaktu acara pernikahan aja karena harus ngurus sesuatu juga disana," tutur Jeremy memberikan alasan mengapa Elina yang dipilih menemani mereka nanti.
"Duh, gimana ya kak? Aku ..."
"Bisa ya?" Secara tiba-tiba Jeremy memperlihatkan raut memohonnya yang membuat Elina kembali terdiam sembari menatap paras Jeremy yang terlihat sekali memiliki wajah blasteran khas Eropa.
Keunikan dari ketiga saudara Angkasa saat memohon adalah, kedua bibirnya mengerucut tipis dan entah bagaimana mereka benar-benar memiliki kebiasaan yang sama dan terlihat sama persis.
"Ya udah, boleh deh kalau itu nggak mengganggu yang lain," ucap Elina pada akhirnya. Jeremy menyunggingkan senyum lebar hingga kedua lesung pipinya tercetak jelas. Ini pun salah satu keunikan lain yang dimiliki oleh Angkasa bersaudara.
"Btw El, kalau aku minta sesuatu yang lain, kamu bakal terima juga?" Kelakar Jeremy kembali dan sangat tiba-tiba.
"Apa itu kak?" Elina kembali bertanya dengan raut penasaran.
"Kalau setiap pagi aku mampir ke cafe kamu untuk sarapan, is it ok?"
Lagi dan lagi raut wajah memohon kembali terlihat diatas wajah Jeremy. Tak seorang pun dapat melihat sisi lain dari sosok berwibawa seperti Jeremy kalau bukan Elina beserta kedua adiknya.
"Tentu aja boleh, dengan senang hati!" Ucap Elina riang dan membuat Jeremy mengulum senyum penuh kemenangan.