Setelah mendengar ucapan maaf dari Jevan, Elina pun kembali melanjutkan aktifitasnya. Sang dara tak langsung menjawab, ia menyelesaikan semuanya lalu membawa tiga mangkuk yang berisi sup krim beserta roti canay buatanya dengan nampan.
Wanita ini menata mangkuk yang berisi sarapan mereka beserta sepiring roti canay yang ia buat diatas meja lalu duduk di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan Jevan.
"It's ok Van, gue ngerti kok. Tapi gue nggak suka kalau lo pergi sendirian tanpa ngasih tahu gue lebih dulu seperti tadi malam. Untung Zaki nemuin lo disana. Kalau sampai orang lain? Gue nggak tau bakal jadi apa lo pagi ini," omel Elina yang membuat Jevan tertawa hambar mendengar ocehan diiringi rasa khawatir dari sahabatnya.
Ia mengangguk cepat, membenarkan keluhan Elina atas ulahnya tadi malam. Wanita ini sudah persis seperti ibunya jika sedang mengomel seperti ini.
Karena omelan itu, ia pun kembali mengingat kejadian tiga tahun lalu dimana dirinya hampir saja dibuat babak belur oleh seorang pria berbadan besar di club malam itu karena melampiaskan rasa sedihnya kepada orang yang salah.
Ia menangis dan bersujud hingga mengucapkan berbagai macam kata cinta dan penyesalan kepada kekasih dari pria tersebut. Ia masih didera rasa merinding ngeri jika mengingat kejadian itu.
Tak mau berlarut-larut membicarakan masalah tadi malam, kini Jevan melirik kearah mangkuk miliknya dan merasa aneh saat menatap ada tiga mangkuk berjejer rapi di atas meja makan. Padahal mereka hanya sarapan berdua, namun Elina meletakkan mangkuk lainnya tepat didepan kursi yang ada disampingnya.
"By the way, kok mangkuknya ada tiga? Ada tamu yang mau sarapan bareng kita?" Tanya Jevan terheran.
"Yup. Sudah dua hari ini gue nggak sarapan sendiri. Ada orang lain yang nemenin gue sarapan setiap paginya," ucap Elina dengan nada ceria.
Jevan mengerutkan keningnya heran. Pasalnya ia tidak tahu tentang hal ini karena sudah tiga hari ini ia memilih menginap di rumah sakit dan menghabiskan waktu makannya disana.
"Who? Man or Woman?"
"Man!" Jawab Elina dengan wajah berseri. Namun berbanding terbalik dengan paras Jevan yang terlihat datar dan sedikit tidak suka dengan jawaban itu.
"Oh, your boyfriend, huh?"
Belum sempat Elina menjawab, suara berat dari sosok lain mengintrupsi perbincangan mereka. Jevan dan Elina langsung menoleh kearah sumber suara dimana sosok tersebut mulai masuk ke dalam mini pantry milik Elina.
"Morning guys!" Suara berat yang sangat Jevan hapal membuat kedua matanya membulat heran. Sosok pria dengan stelan jas lengkap kini duduk tepat di samping dirinya dan memberikan senyum terbaiknya yang tentunya membuat dirinya tertegun.
Tak lupa pria tersebut memberikan keranjang yang berisi beberapa buah kepada Elina. Sahabatnya itu merasa tersanjung mendapat buah tangan tiba-tiba seperti itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pria tersebut.
"Kak Jeremy? Ngapain lo disini?" Jevan terheran melihat kakaknya di pagi seperti ini datang ke cafe Elina lalu duduk disampingnya.
Sorot mata coklat madu milik Jeremy menatap sang adik dengan senyum tipis yang terlukis diatas wajahnya.
"Breakfast."
Jevan mendesis kasar mendengar jawaban singkat dari kakaknya. Ia pun menyipitkan matanya curiga kepada Jeremy lalu beralih kearah Elina yang menyuruh mereka untuk menyantap sarapan yang telah ia buat bersama-sama.
Jeremy mengucapkan terima kasih lalu mencoba krim sup yang berisi potongan sayuran serta potongan daging dengan binar mata cerah.
"Wow, so delicious!" Tutur Jeremy yang membuat Elina tersenyum senang sembari mengucapkan terima kasih atas pujian itu.
Tatapan mata Jevan masih belum lepas dari sang kakak yang tiba-tiba datang lalu sarapan disini. Hingga Elina menegur Jevan dan menyuruhnya untuk segera menyantap sarapannya.
Jevan memakan sup tersebut dengan sorot mata yang terus mengawasi Elina serta kakaknya. Ada rasa tidak senang melihat interaksi yang terjadi antara mereka berdua.
Sepanjang mereka sarapan bersama, Jevan terlihat banyak diam dan Elina banyak mengoceh serta ditanggapi oleh Jeremy dengan sikap tenangnya. Hingga beberapa waktu telah berlalu dan kedua Angkasa bersaudara yang telah menyelesaikan sarapannya, memilih pamit untuk pergi bekerja.
Disaat Jeremy hendak masuk ke dalam mobilnya, Jevan mulai menahan kakaknya dan meminta untuk berbicara sejenak. Jevan ingin memastikan sesuatu secara langsung kepada Jeremy, kakaknya.
"Ngapain lo sarapan disini?" Tanya Jevan dengan rasa penasaran yang sangat tinggi tanpa ada niatan untuk berbasa-basi kepada sang kakak yang sangat jarang ia temui.
Jeremy menaikkan salah satu alisnya mendengar pertanyaan sang adik.
"Seharusnya gue yang tanya seperti itu ke lo Van. Ngapain lo pagi-pagi di rumah Elina? Lo nginap disini?"
Jevan terdiam sejenak lalu bergumam serta membenarkan pertanyaan kakaknya sebagai balasannya. Sorot mata Jeremy mulai berubah dan menatap adiknya dengan tajam.
"Ngapain lo nginap disini? Lo ngajakin Elina tidur sama lo lagi?" Kelakar Jeremy yang membuat Jevan cukup tersinggung dengan tuduhan sang kakak.
"Gue nggak sejahat itu!" Elak Jevan dengan emosi yang mulai terpancing. Entah mengapa, ia merasa cukup tersinggung jika sang kakak membahas masalah itu.
"Well, baguslah kalau gitu," jawab Jeremy dengan sikap santainya. 1
"Lo sendiri, kenapa lo milih sarapan disini? Ada hubungan apa lo sama Elina?" Tanya Jevan yang masih belum menyerah mencari tahu.
Jeremy tertawa sinis mendengar nada posesif yang keluar dari mulut adiknya. Entah mengapa ia merasa cukup terganggu dengan tuduhan Jevan. Jeremy mengangkat kedua tangannya dan merapikan kemeja yang membalut tubuh adiknya dengan lembut.
"Not your bussiness Bro! I gotta go," balas Jeremy lalu membalikkan tubuhnya hendak masuk ke dalam mobilnya. Namun Jevan masih belum puas dengan jawaban sang kakak.
"Jangan sentuh Elina! I'm warning you!"
Mendengar hal itu, Jeremy tak jadi masuk ke dalam mobilnya lagi. Ia mengatur nafasnya dengan baik sembari menahan amarah yang sejak tadi mulai membelenggu dirinya manakala adiknya berkata menginap disini sejak semalam.
Ia membalikkan tubuhnya kembali sembari melipat kedua tangannya diatas dada lalu menatap baik-baik sosok adiknya yang masih berdiri di belakang tubuhnya.
"Gue mau tanya satu hal sama lo Van, who are you? Lo siapanya Elina? Lo siapa sampai berani melarang gue untuk datang kesini?"
Jeremy bertanya dengan nada suara yang terdengar tenang meskipun Jevan sejak tadi mulai menunjukkan aura permusuhan.
Jevan tergugu mendengar pertanyaan itu. Netra yang sejak tadi berani memandang sang kepala keluarga, kini mulai menekuk wajahnya karena tak mampu memberikan jawaban yang meyakinkan. Dia hanya sahabat yang selama ini menjaga Elina. Sangat lucu jika ia menjawab seperti itu.
"Jangan terlalu posesif dan berlebihan Van, lo cuma sahabatnya dia. Elina juga punya privasi yang nggak perlu lo atau semua orang harus tau. Dan lo juga jangan suka memberikan harapan palsu sama dia. She is still a woman Van," Jeremy menepuk pundak adiknya sembari menampilkan senyum terbaiknya untuk sang adik.
"Gue cabut dulu. Oh ya, jangan lupa dua hari lagi. Surya sudah siapin semuanya."
Setelahnya Jeremy benar-benar masuk ke dalam mobil mewahnya dan meninggalkan Jevan yang masih tertegun mendengar perkataan dari kakaknya.