"Kita duluan ya kak!"
Elina mengangguk ramah sembari mengucapkan hati-hati kepada dua orang pegawainya yang berpamitan pulang. Sudah lebih dari satu jam yang lalu cafe ini tutup dan menyisakan Elina serta kedua pegawai lelakinya yang piket malam ini untuk membersihkan cafe serta merapikan peralatan yang mereka pakai untuk membuat pesanan pengunjung sepanjang hari.
Setelah berhasil mengunci pintu depan, ia pun bergegas pergi ke dapur dan memeriksa bahan-bahan yang telah habis atau yang tersisa sedikit. Tak lupa, Elina memasang airpods di kedua telinganya untuk memutar musik dari ponselnya, serta membawa notebook dan alat tulis.
Ia membuka isi kulkas dan memeriksa buah-buahan yang tersisa di dalam sini serta bahan mentah lainnya seperti sayuran serta daging.
Selanjutnya, ia pun memeriksa bahan pembuat kue seperti baking soda, pewarna makanan, tepung dan lainnya dan mencatatnya di notebook yang ada di tangannya. Tak lupa, ia pun melihat isi kulkas pribadinya untuk melihat bahan apa yang tersedia disana.
Ia sengaja membuka kulkas pribadinya karena kini, setiap pagi ia tak hanya memasak sarapan untuk dirinya atau Jevan, tetapi juga Jeremy yang tiba-tiba saja meminta untuk mampir kesini hanya untuk sarapan bersamanya.
Memang terdengar aneh, namun Elina tidak pernah mempertanyakan maksud dari lelaki tertua keluarga Angkasa itu. Sebagai orang yang tahu sedikit banyak tentang keluarga Angkasa, Elina mencoba untuk mengerti dan tidak banyak bertanya. Ia tahu, Jeremy pasti memiliki alasan khusus untuk itu.
Disaat ia baru saja membuka tempat penutup yang berisi berbagai macam sayuran, ponsel yang ada di kantung celananya bergetar hebat. Elina pun mengesampingkan kegiatannya, lalu mengangkat panggilan itu.
"Halo?"
"El... Eli-na!"
Kedua keningnya berkerut heran. Suara itu terdengar seperti suara milik Jevan. Ia pun mengambil ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya.
Nama Jevan terpampang disana. Ia pun segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung celana dan memanggil Jevan yang sepertinya tidak dalam kondisi baik-baik saja.
"El... hehehe..." suara Jevan terdengar berbeda. Ia pun meletakkan notebook miliknya diatas meja dan menutup pintu kulkasnya. Belum sempat Elina berbicara kembali, salah satu suara berat lain terdengar dari seberang sana.
"Kak Elina? Ini saya Zaki Kak. Mas Jevan hangover parah, tolong jemput mas Jevan segera ya Kak!"
Mendengar suara lelaki yang menjelaskan kondisi Jevan, Elina pun berubah panik. Ia meminta bartender yang bernama Zaki untuk menjaga Jevan sampai ia datang. Tanpa menunggu, Elina segera mematikan sambungan telepon dan segera mengambil kunci mobil miliknya.
Dengan terburu ia menaiki mini cooper andalannya yang terparkir dibelakang gedung cafe lalu tancap gas menuju ke salah satu club malam yang berada di kawasan Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan, Elina begitu mengkhawatirkan kondisi Jevan. Beruntung kondisi jalanan begitu lengang mengingat jam telah menunjukkan pukul satu malam kurang beberapa menit. Sehingga Elina mampu melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata agar ia segera sampai di club yang dituju oleh Jevan.
Mini cooper berwarna merah metalik milik Elina akhirnya sampai di pelataran parkir salah satu club malam yang cukup terkenal di kawasan elit Jakarta Selatan. Club ini sudah menjadi saksi bisu betapa terpuruknya seorang Jevan karena seorang wanita.
Beberapa tahun yang lalu, club ini selalu menjadi tempat Jevan menghilangkan stress dan rasa sakit hatinya karena seorang wanita bernama Amanda.
Bahkan Elina sampai mengenal salah satu bartender disini yang bernama Zaki dan meminta pemuda itu untuk menjaga Jevan jika sahabatnya diam-diam berkunjung kemari tanpa sepengetahuannya.
Bau asap rokok serta aroma dari berbagai macam minuman alkohol begitu menyengat di dalam hidung Elina. Tempat ini terlihat cukup penuh di tengah malam seperti ini. Banyak sekali para pria dan wanita yang datang kemari hanya untuk mencari kepuasan semata demi melepas rasa penat yang membelenggu diri.
Tak jarang dirinya mendapat siulan menggoda dari beberapa lelaki yang ia lewati. Namun, Elina tetap berjalan tanpa mempedulikan mereka sembari mencari keberadaan Jevan di tempat yang disesaki oleh orang-orang.
Suara musik DJ pun semakin terdengar memekakkan telinga, lantai dansa penuh dengan para kaula muda yang menggerakkan tubuhnya dengan bebas mengikuti dentuman musik yang bertalu-talu.
Iris mata hitam milik Elina terus mencari sosok Jevan. Hingga salah satu tangan yang merentang tinggi keatas menarik perhatian Elina. Ia berjalan mendekati arah dari tangan tersebut yang ternyata tangan yang berasal dari Zaki.
Elina dapat melihat gerak bibir lelaki muda yang berusia sekitar 23 tahun itu berseru 'disini' ketika Elina semakin mendekat.
Dapat ia lihat tubuh Jevan telah terkulai lemas diatas meja dengan gelas yang berisi setengah dari cairan berwarna nyaris seperti teh. Dua botol Whisky yang telah kosong tergeletak begitu saja disisi kiri Jevan yang membuat Elina menggeleng heran.
Wanita dengan tinggi sekitar 160an ini menepuk pundak Jevan sembari membisikkan sesuatu tepat di telinga lelaki itu.
"Van, lo bisa denger gue?"
Sayangnya tak ada sahutan dari pria ini. Ia pun meminta Zaki untuk menolongnya membopong tubuh tinggi Jevan keluar dari tempat ini. Dengan sigap Zaki memenuhi permintaan itu dan memapah tubuh salah satu pelanggannya yang terkulai tak berdaya dibawah pengaruh alkohol.
Racauan tak jelas terdengar dari mulut lelaki ini. Dengan susah payah Elina serta Zaki berhasil membawa tubuh Jevan yang lebih tinggi dari mereka berdua agar masuk ke dalam mini cooper milik Elina.
Wanita yang hanya memakai t-shirt berwarna soft pink ini merogoh kantung celananya dan ia tersadar kalau lupa membawa dompet. Rencananya ia hendak memberi tip kepada Zaki usai menolongnya, namun bodohnya, karena begitu panik, ia lupa membawa uang sepeser pun.
"Nggak usah mbak. Langsung bawa pulang aja, saya ikhlas kok bantunya," ucap Zaki yang membuat Elina semakin tidak enak dengan pemuda ini.
"Makasih banget ya Ki, udah jaga temen Kakak. Maaf banget kalau kakak nggak bisa kasih tip seperti biasa. Kalau kamu mau, besok datang aja ke cafe sebagai gantinya."
Zaki hanya mengiyakan dan meminta Elina agar segera membawa Jevan untuk pulang.
Sepanjang perjalanan, Jevan masih terus meracau tidak jelas. Elina hendak membawa pria ini ke apartemen Jevan yang berada di kawasan Kuningan dan masih satu wilayah di sekitar sini.
Namun, Jevan sempat terbangun dan membuka kedua matanya sedikit dan menyadari saat ini ia sedang bersama dengan Elina. Ia pun berbicara di sela-sela kesadarannya yang masih tersisa.
"Bawa gue ke tempat lo aja El."
Elina hanya menghembuskan nafas panjang dan menuruti keinginan Jevan. Ia pun putar arah menuju ke cafe dan membawa Jevan menginap di tempatnya. Setelah mengatakan itu, Jevan kembali tak sadarkan diri.
Beberapa waktu telah berlalu. Pada akhirnya ia pun berhasil sampai di gedung cafe sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan membawa Jevan susah payah seorang diri ke lantai atas.
Jevan sempat muntah hingga mengeluarkan seluruh isi yang ada di dalam perutnya setelah keluar dari mini cooper milik wanita ini. Beruntung Elina sudah terbiasa menghadapi keadaan Jevan seperti ini. Sehingga ia tidak merasa jijik saat melihat Jevan muntah di hadapannya.
Setelah berhasil membopong Jevan naik keatas, ia pun menidurkan lelaki ini diatas kasurnya dan membuka kemeja Jevan yang terkena muntahannya sendiri lalu mengganti dengan pakaian yang lebih bersih.
Jevan memang menitipkan beberapa pakaiannya disini untuk keadaan yang genting.
1
Setelah berhasil menggantikan pakaian Jevan, Elina mengambil air putih serta obat hangover untuk di konsumsi oleh sahabatnya. Ia sengaja stok obat tersebut di dalam kotak obatnya untuk antisipasi.
Wanita berkulit coklat ini kembali menidurkan Jevan perlahan. Namun, secara tiba-tiba pria yang masih belum sepenuhnya tersadar ini menarik tangannya hingga Elina terjatuh diatas tubuh sahabatnya.
Ia sempat terpekik kaget dengan tingkah Jevan karena saat ini pria yang ada di bawahnya memeluk erat tubuhnya lalu menangis pilu dengan isakan kuat yang keluar dari mulut Jevan.
Elina mencoba menyampingkan tubuh mereka agar Jevan tidak keberatan untuk menopang tubuhnya. Ia membiarkan pria berkulit putih ini meluapkan kegundahan hatinya hingga sahabatnya berakhir mengenaskan seperti ini. Elina hanya mampu membelai rambut coklat gelap milik Jevan sembari menenangkan lelaki ini.
"Lo kenapa lagi Van? Kenapa lo sampe mabok kaya gini?" Bisik Elina dengan nada khawatir. Salah satu tangannya setia membelai kepala Jevan lembut.
"Gue nggak sengaja liat Manda di rumah sakit El," jawab Jevan disela-sela tangisannya.
Elina memejamkan kedua matanya mendengar jawaban Jevan. Sudah ia duga, alasan mengapa sahabatnya seperti ini pasti ada hubungannya dengan mantan kekasihnya.
"Dia sama suaminya baru keluar dari ruangan Samuel sambil senyum bahagia. Lo tau kan artinya itu El?"
Sesak rasanya melihat Jevan terus saja seperti ini. Entah bagaimana ia merutuki wanita itu karena memilih check up di rumah sakit dimana Jevan bekerja. Elina tahu maksudnya, Samuel adalah rekan sejawat sekaligus salah satu dokter obgyn di rumah sakit itu.
Disaat Jevan susah payah mencoba melupakan masa lalunya, Amanda tanpa rasa bersalah memperlihatkan dirinya yang sedang berbahagia dengan suaminya. Tanpa terasa air mata Elina ikut turun, ia juga merasakan sakit yang sama seperti yang dialami oleh Jevan.
Namun sebisa mungkin Elina berusaha menyembunyikan isak tangisnya karena saat ini Jevan membutuhkannya sebagai tempat cerita dan berkeluh kesah. Elina tidak boleh terlihat lemah saat ini.
Usai tangisan Jevan mereda, ia mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan erat Jevan. Menatap paras tampan sahabatnya yang tampak berantakan lalu mengusap jejak air mata yang tertinggal disana.
Mata Jevan terlihat bengkak, melihatnya seperti ini membuat hati Elina semakin berdenyut sakit.
"Van, mau sampai kapan lo kaya gini terus?"
Jevan terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Elina.
"Manda udah bahagia sama kehidupan barunya. Dia sudah menemukan orang yang bisa membuat dia tersenyum. Dengan lo seperti ini, nggak mungkin membuat Manda bisa balik ke pelukan lo lagi. Yang ada lo makin hari makin terpuruk sama masa lalu itu."
"Stop it Van. Your relationship with Manda is over! You should to find your own happines. Lo udah terlalu lama berkubang dalam penyesalan, udah saatnya lo bangkit lagi," seru Elina yang membuat Jevan menggeleng kuat.
"I'll try El. But it was hard for me. I love her too much. Semua udah gue lakuin, but I always failed!" Desis Jevan begitu frustasi.
"Lo harus buka hati lo lagi. Lo harus nemuin pasangan yang bisa bimbing lo keluar dari lingkaran setan ini," ungkap Elina memberikan saran.
"Gue udah coba El. Hati gue tetep nolak itu dan nggak bisa! Gue rasa, hati gue udah mati," Jevan bergumam lirih dengan nada frustasi.
Elina mencoba mengelus pipi Jevan dengan kedua mata berkaca-kaca. Secara tidak langsung Jevan telah memberitahu bahwa tidak ada tempat di hati pria ini untuk dirinya.
Dengan keberanian yang coba ia kumpul, Elina kembali berucap.
"Do you wanna try with me?"