Chereads / Between You and Your Brother / Chapter 8 - Semesta Yang Tak Mendukung

Chapter 8 - Semesta Yang Tak Mendukung

"Do you wanna try with me?"

Usai mengatakan itu, Elina diam sejenak sembari mengatur nafasnya yang sejak tadi memburu.

Menunggu respon dari Jevan yang berada dalam pelukannya dengan detak jantung yang bertalu begitu keras. Ada rasa takut yang mulai menjalar dihatinya saat ini. Ia cukup takut jika balasan yang diberikan Jevan adalah sesuatu yang paling ia takuti selama ini.

Ia pun mulai berdoa dalam hati agar lelaki yang masih setia berada di dalam dekapannya tidak tersinggung atau marah kepadanya.

Satu menit...

Dua menit...

Hingga di menit lanjutannya Elina masih sabar menunggu, kening wanita ini mulai berkerut heran karena sejak tadi Jevan masih bungkam dan tak merespon dari ucapannya. Hanya hembusan nafas Jevan yang semakin lama semakin teratur, terasa di ceruk lehernya.

Beberapa detik kemudian ia pun mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulut lelaki ini.

Jevan tertidur.

Elina menghela nafas panjang disertai raut wajah kecewa saat ia melepas dekapannya dan menatap dua kelopak mata itu tertutup rapat. Wanita berhidung mancung ini tersenyum miris melihat semua ini.

Ketika ia sedang menunggu Jevan menjawab tawarannya dengan rasa gugup, ternyata pria yang berprofesi sebagai dokter ini justru telah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Sepertinya efek obat yang diminum oleh Jevan bekerja dengan baik tepat disaat Elina mengungkapkan sebagian perasaan yang telah lama bergejolak dalam hatinya.

Elina menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Sepertinya semesta memang tidak mengizinkan dirinya memiliki hubungan lebih dari sekedar sahabat dengan Jevan.

Pada akhirnya ia pun gagal memberitahu perasaan yang sejak lama ia pendam kepada pria yang telah menjadi sahabat karibnya selama 17 tahun ini. Ada rasa kecewa, namun juga kelegaan disaat yang bersamaan.

Kecewa karena usahanya mengumpulkan keberanian tidak ada hasil. Namun, ia juga sangat bersyukur karena keesokan hari Jevan masih menatapnya sebagai seorang sahabat yang dapat ia andalkan. Elina cukup hapal dengan kebiasaan Jevan saat sedang mabuk seperti ini.

Pelupuk matanya mulai menggenang kembali dan bersiap untuk keluar. Elina pun memilih untuk bangkit lalu memakaikan selimut diatas tubuh Jevan dan menatap paras tampan itu yang semakin larut ke alam bawah sadarnya.

"Night Van," bisik Elina perlahan lalu dengan kesadaran yang penuh, Elina mendekatkan wajahnya dan meninggalkan kecupan tipis diatas kening Jevan sembari bergumam miris dalam hati.

I love you, yang tidak mungkin dapat di dengar oleh siapapun kecuali dirinya dengan Tuhan.

Setelahnya Elina bergegas mematikan lampu dan turun ke lantai bawah. Ia ingin menyendiri dan meluapkan rasa sakit dan sesak yang ada di dalam dadanya.

---000---

Sinar mentari pagi berhasil menembus jendela kaca yang tertutup gorden putih. Ruangan ini terlihat begitu terang hingga sosok Jevan yang masih terlelap dalam mimpinya terusik karena bias matahari, tanpa permisi masuk ke dalam matanya yang masih tertutup rapat.

Perlahan kelopak matanya terbuka. Jevan berusaha untuk membiasakan sinar terang masuk ke dalam retina matanya. Lelaki ini mencoba untuk mengerjap berkali-kali saat melihat langit-langit ruangan ini yang sangat familiar baginya.

Segera mungkin Jevan terbangun dan berusaha duduk diatas kasur yang ia tempati. Secara tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri akibat efek samping dari alkohol yang ia minum semalam. Kedua tangannya sontak memijat pelipis yang terasa nyeri hingga perlahan rasa sakitnya pun berkurang.

Netranya kembali menatap sekeliling hingga ia menyadari bahwa semalam dirinya tertidur diatas ranjang empuk milik sahabatnya. Bahkan kemeja yang ia pakai semalam telah berganti menjadi kaos polos berwarna hitam miliknya yang sengaja disimpan disini.

Nafasnya menghela panjang dan wajahnya sedikit berkerut manakala perutnya mulai bergejolak tidak nyaman. Efek samping lainnya usai cairan yang mengandung alkohol masuk ke dalam sistem pencernaannya. Beruntung rasa sakitnya masih bisa ia tahan.

Jevan mencoba untuk mengingat kejadian semalam ketika ia memutuskan untuk pergi ke bar hingga alasan dibalik itu semua. Ia pun mengetatkan kedua rahangnya kuat. Jevan merutuki dirinya sendiri hingga berdecak meratapi kebodohannya.

Lagi dan lagi! Hanya karena wanita itu, ia kembali dibuat mengenaskan seperti ini. Semakin dipikirkan, hatinya kembali merasa pilu, Jevan pun mencoba untuk mengesampingkan dahulu alasannya dan mengingat kembali kejadian semalam dimana dalam keadaan setengah sadar, ia masih mampu melihat sosok Elina.

Untuk kesekian kalinya, Elina kembali menjadi dewi penyelamat bagi dirinya. Meskipun begitu, ia juga melanggar janji yang ia buat dengan Elina agar tidak pernah mengunjungi  tempat itu tanpa ada wanita itu yang menemani. Sepertinya ia harus meminta maaf kepada sahabatnya itu.

Iris matanya mulai mencari keberadaan ponsel miliknya. Menatap jam yang menunjukkan angka tujuh serta menemukan beberapa panggilan tak terjawab dan pesan chat dari Tama dan Dimas, serta dua rekan sejawat sekaligus temannya.

Beruntung sebelum ia pergi ke club, dirinya menghubungi dokter Rani untuk menggantikan tugas paginya sehingga ia pun bisa bebas beberapa jam ke depan karena dirinya tahu tubuhnya begitu lemah usai di hantam cairan haram itu dalam takaran yang sangat banyak.

Sebaiknya, saat ini ia segera mandi dan turun ke bawah untuk menemui sahabatnya.

Setelah beberapa menit berlalu, Jevan telah rapi dengan kemeja berwarna biru langit yang membungkus tubuh atletisnya. Ia menggulung sedikit bagian lengannya bergantian sembari turun ke bawah lalu menuju kearah dapur.

Dapat ia lihat sosok Elina tengah berkutat di depan kompor dan aroma dari makanan yang dibuat oleh wanita itu langsung menyerbu indra penciumnya. Segera saja ia mengintip kegiatan Elina dan menu apa yang akan menjadi sarapan mereka pagi ini.

"Morning El," seru Jevan sembari mengintip dibalik punggung wanita cantik ini, memastikan sendiri masakan apa yang mengganggu penciumannya.

Wanita yang menggulung rambut panjangnya keatas ini menoleh dan tersenyum tipis menatap Jevan lalu membalas sapaan pria ini.

"Morning Van. Udah bangun ya? Lo tunggu aja di meja makan. Bentar lagi sarapannya udah siap."

Jevan menurut, ia pun segera menduduki salah satu kursi di meja makan yang ada di dekat pantry khusus milik Elina sembari menunggu sarapan selesai dibuat.

"El," panggil Jevan disaat Elina sedang mengisi tiga mangkuk dengan masakannya yang telah matang. Wanita pemilik wajah berbentuk oval ini bergumam tanpa menoleh kearah Jevan.

"Sorry," lirih Jevan yang membuat Elina menghentikan aktifitas kedua tangannya saat mendengar ucapan lelaki itu.

Kedua matanya mengerjap kaget diiringi dengan degup jantung yang tiba-tiba saja berdetak sangat kencang. Ia berusaha untuk mengontrol dirinya seolah tidak tahu apa-apa.

"Sorry? Sorry for what?"

"About last night. I broke our promise El. I feel down and ... I need something to forget what I see yesterday. I... I feel sorry."

Elina mengembuskan nafasnya lega karena permintaan maaf Jevan bukanlah sesuatu yang ia takutkan sejak tadi malam. Namun, rasa kecewa itu kembali mendera relung hatinya karena Jevan tidak mengingat sama sekali tentang ucapannya semalam.