Bab 6. Happy Sunday
Sore itu suasana mall sangatlah ramai, banyak dari mereka yang berbelanja dengan membawa troli penuh dengan barang belanjaan yang bertumpuk-tumpuk.
Di dalam keramaian itu, Zefa terdiam di depan toko dan melihat barang yang sangat ia tunggu-tunggu sudah terjual di sana.
Joshua yang sudah berjalan mendahului Zefa pun tidak menyadari bahwa Zefa tertinggal di belakang. Setelah hendak masuk ke toko yang akan mereka tuju, Joshua baru menyadari bahwa Zefa tidak berada di sampingnya.
Joshua spontan celingukkan mencari presensi Zefa yang tidak di temukan. Ia pun memutuskan untuk berjalan kembali ke tempat yang sudah di lalui.
Hingga atensi Joshua mendapati sosok wanita yang di carinya itu tengah berdiri di depan, sebuah toko. Sontak, hal tersebut membuat kemarahan Joshua membuncah.
Ia menghampiri Zefa serta memusatkan netra pada apa yang tengah membuat fokus wanita tersebut, teralihkan.
Sebuah pajangan album kpop, lengkap dengan aksesoris yang diluncurkan resmi oleh agensinya itu, sukses membuat manik Zefa berbinar-binar.
"Kau mau?" tanya Joshua. Sontak, mendengar kembali suara Joshua pun, telah berhasil membuat Zefa tersadar. Ia menoleh ke arah pria yang tengah berdampingan dengannya.
Zefa kemudian lekas, menggeleng kepala cepat. "T-tidak aku hanya ingin melihatnya saja," sahut Zefa. Walau tetap saja, naluri Zefa tidak pernah bisa menahan sesuatu.
Ia merogoh saku rok abu-abu pendek tersebut walau sikut Joshua menyenggolnya. Sampai membuat Zefa Kemudian menggulirkan kembali pandangan kepada Joshua.
"Jika kamu mau, aku akan membelikannya," ucap Joshua.
"Tidak perlu, ayo kak katanya mau beli hadiah," jawab Zefa seraya berjalan mendahului Joshua.
Andai saja kalau tidak ada Joshua, mungkin Zefa setidaknya ingin meraba-raba album tersebut, walau tidak akan membelinya.
***
Satu jam pun berlalu, keduanya sudah menjelajah pusat perbelanjaan tersebut, kemudian baru menemukan toko yang Joshua cari. m
Mereka berdua pun melangkahkan kaki—masuk ke dalam toko.
Mulai menjelajahkan mata mencari barang cocok untuk Ibu Joshua. Walau Zefa benar-benar tidak tahu, tipikal seperti apa sosok Ibu Joshua.
Zefa pun mencari kembali presensi Joshua yang malah menghampiri sebuah etalase toko kecantikan, yang membuat Zefa sukses tertegun.
Apalagi Zefa hampir tertawa, sebab pria segarang Joshua ini tengah memilah sebuah lipcream.
Joshua mengambil dua buat cat bibir berwarna peach dan merah nude. "Sebaiknya warna apa yang harus aku beli?" tanyanya.
Ia mengacungkan kedua lipcream tersebut ke arah Zefa. Meminta pendapat nya sebagai satu-satunya wanita yang saling memahami selera seperti ini.
Zefa pun lantas menimbang warna apa yang cocok di pakai serta di sukai Ibu Joshua. Ia juga mencoba untuk mengingat bagaimana Maria sering berganti warna lipstik hingga membuatnya ingat satu hal.
"Eum, Kak. Jika kakak ingin mencari warna yang cocok, maka kakak harus mencobanya, karena jujur, aku juga tidak terlalu pandai masalah ini. Namun, aku sering melihat Maria mencobanya sebelum memutuskan untuk membeli," jelas Zefa.
Ia pun mulai kembali mengedarkan pandangan ke etalase tempat berjejernya berbagai warna untuk mempercantik sembir.
Walau Joshua yang tidak mengatakan apapun, hanya bisa menatap Zefa, sebab dari gerak gerik wanita satu ini. Seperti ia mempunyai maksud tertentu, semisal.
Mengerjai Joshua.
Instingnya tiba-tiba saja bekerja lebih cepat di situasi yang sekarang ini. Joshua yang tidak ingin menjadi korban itu pun meraih lengan Zefa yang tercekat.
Apalagi ketika Joshua lekas membuka lipcream tersebut, kemudian menarik dagu Zefa serta membubuhkan cat berwarna peach kepada sembir wanita yang terpaku diam. "Ka-kak?" ucap Zefa gugup.
Joshua malah berfokus menatap ke arah lipcream yang mewarnai bibir Zefa. "Hmm? Tadi katanya harus mencoba dulu, sebelum membeli," sahut Joshua.
Ia terkekeh ketika berhasil mewarnai bibir Zefa yang menghela napasnya sabar. Memperhatikan cream yang melenceng dari garis bibirnya hingga spontan Joshua mengusapnya lembut, hingga menghantarkan sebuah kesan apik, kepada Zefa yang mulai merasa aneh.
Ia spontan mendorong dada Joshua, sebab bisa gila rasanya jika membiarkan pria ini terus bertingkah aneh.
"A-aku, bisa merapikannua sendiri," ucap Zefa. Ia kemudian meraih tissue yang berada tepat di samping cermin. Joshua sontak menyeringgai, hingga berbisik ke arah Zefa yang tengah menatapnya.
"Jika kau ingin mengejai orang. Kau harus lihat orang seperti apa yang akan kau kerjai," ungkap Joshua.
Zefa benar-benar menekuk bibirnya ke bawah, memang ada niat terselubung sebab Zefa akan mewarnai bibir Joshua dengan merah muda mencolok.
Namun malah dirinya yang kena getah, sebab pria ini paham sekali membaca situasi dan gerak gerik. Apalagi Zefa semakin mendengkus saat Joshua sudah memutuskan mana yang akan ia beli.
Zefa pun akhirnya menyusul sembari mercak-mercak kepada Joshua yang terus terkekeh—menang. Membuat Zefa akhirnya malah di landa kemarau pada tenggorokan keringnya.
Apalagi ketika ia mendapati sebuah stand minuman terdekat yang membuat Zefa spontan berlari ke arah sana. Ia baru saja akan mengambil nomer antri, meski tidak sengaja bersinggungan dengan seseorang yang akan mengambil nomor sama.
"Eh maaf," ucap Zefa. Iamemperhatikan, pria di sampingnya itu tidak jelas sekali, sebab memakai tudung jaket hodie—besar hingga menutupi seluruh penglihatan nya.
Walau pria itu , spontan bereaksi, dengan mengangguk untuk menerima permintaan maaf tersebut. Ia kemudian lekas berlalu meninggalkan Zefa yang keheranan, tanpa mengatakan sepatah kata apapun.
Zefa yang tidak mau pusing dengan hal tersebut pun, lekas mengambil slot antri dan memesan sebuah milk shake rasa banana strawberry. Dengan topping whipe cream bertabur candy flash.
Zefa menunggu Joshua yang masih belum selesai dengan urusannya itu pun di pembatas lantai dua. Dengan menenteng satu minuman sama, sebab entah setan apalagi yang merasuki Zefa hingga membelikan minuman tersebut untuk Joshua.
"Kau tuli Zefa?! Bukannya sudahku bilang untuk tunggu diluar toko!" ucap Joshua geram. Suara menggema tersebut, sontak membuatnya berbalik apalagi ketika Joshua benar-benar marah sebab takut jika terpisah jauh dengan Zefa, yang membuatnya harus mencari ke seluruh plaza.
"Oh sudah selesai?" tanya Zefa. Ia pun mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraannya walau amarah Joshua, sama sekali tidak surut.
"Kau bisa lihat sendirikan? Ayo pulang!" cetusnya. Zefa pun, lantas berjalan mengikuti Joshua dari belakang. Ia menatap pria itu dengan tatapan sinis.
'Aku harap aku tidak akan bertemu dengamu lagi'
***
Setibanya di rumah Zefa. Ia keluar dari mobil dan menatap ke arah Joshua yang masih berada di dalam mobil. Sebisa mungkin, Zefa mencoba untuk tersenyum lalu berkata, "Apakah kakak mau mampir dulu?" tawarnya.
"Tidak!" sahut Joshua dingin. Ia kemudian langsung menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan Zefa yang lagi-lagi hanya bisa mendengkus sebal.
"Ya sudah! Pulang saja sana!" teriak Zefa.
Bisa darah tinggi, jika lama-lama terus bersama dengan Joshua. Zefa kemudian memilih untuk membuka pagar dan masuk ke dalam rumah.
Walau saat melewati ruang tengah, Zefa malah terpaku diam, lantaran melihat Ayah, Ibu dan Bimo tengah asik menonton televisi di ruang keluarga.
Clara yang menyadari keberadaan putrinya itu pun, lekas menoleh ke arah pintu dan menatap Zefa yang masih berdiri di sana. "Zefa, kamu sudah pulang Nak," sambutnya.
"I-iya Bu," sahut Zefa. Ia pun lekas melangkahkan tungkai kamarnya dengan gerakan kaku. Membuat Clara yang sedari tadi mematri atendi itu merasa heran dengan sikap putrinya.
"Apa sesuatu terjadi kepadanya? Mengapa bersikap sungkan begitu?" tanya Clara.
"Halah, palingan lagi datang bulan. Ibu juga suka begitu sampai ngamuk ke Bimo, padahal cuma gegara minum susu jatah Zefa," sahut Bimo santai.
"Semoga saja seperti itu," timpal Clara yang merasa mulai tidak enak hati. Begitupun dengan Zefa yang menjadi topik barusan, tengah menghela napas lega, sebab akhirnya... Ia bisa terbebas dari senior pengidap bipolar itu.
"Semoga esok, lebih baik bagiku."
To Be Continued...