Pov Anaya
Setelah sekian lama aku tak menginjakkan kakiku di sekolah, sekarang aku melajukan motorku menuju sekolah. Mungkin terlalu lama sudah tak menaiki roda duaku, hingga di jalan aku beberapa kali hampir saja mau menabrak apa saja yang ada didepanku. Tapi syukurlah aku masih selamat sampai di tujuanku.
Sekolah ini masih sama seperti yang dulu. Tak ada yang berubah. Dan hatiku pun sama seperti dulu. Sepi tak ada kawan yang membuatku tertawa lepas melupakan penat dihatiku. Semua karena aku sendiri yang membatasi pertemananku karena trauma masa lalu.
Ya. Dulu aku pernah bahagia memiliki sebuah pertemanan. Tapi aku kecewa sangat dalam saat aku tahu ternyata teman yang kuanggap sahabat dan segalanya bagiku ternyata menghianatiku. Mereka mau berteman hanya karena uangku. Mereka tak tulus. Semua hanya karena uang dan aku sangat muak akan hal itu.
Saat aku masuk sekolah lagi, semua terasa asing dan rasanya seperti aku adalah anak baru yang pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Aku berjalan melewati anak-anak yang memandang heran padaku. Sudah biasa dan aku tak menghiraukan itu.
"Hai, kamu Anaya kan?" tanya salah seorang siswi yang duduk di belakangku. Aku menoleh tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Kamu kemana aja? Sampai-sampai hampir lupa aku denganmu. Padahal waktu itu udah pengen deket jadi temen kamu. Eh, kamu nya malah lama gak keliatan di sekolah," sambungnya lagi.
" Ah, aku menjaga ayahku sedang sakit. Aku udah ijin kok sama kepsek," ucapku berbohong. Tak mungkin aku bilang kabur dari rumah karena bentrok sama ayah dirumah.
"Oh, kasian. Udah sembuh kan sekarang? Oh ya gue Fani. Inget gak ya sama gue? tanyanya dan aku hanya tersenyum canggung. Karena aku memang lupa.
" Gue dulu pernah anterin lo ke UKS pas kamu nyeri haid dulu itu," katanya lagi. Membuatku ingat dan hanya meng O ria sambil menganggukkan kepala.
"Sorry ya agak lupa. Tapi makasih dan maaf baru sempat makasih sekarang," ucapku halus. Karena waktu itu memang aku sedang nyeri haid yang tak tertahan jika pada hari pertama.
Nyeri haid itu sering dan selalu aku rasakan tiap bulan. Karenanya jika aku sudah mau datang bulan, aku meliburkan diri untuk sekolah. Agar tak terjadi lagi kejadian pingsan yang membuat malu satu sekolah.
Saat sekolah usai aku segera pulang melajukan roda dua ku. Sering kali aku menoleh kanan kiri ku karena lagi-lagi laju motor ku tak seperti biasanya.
" Ah menyebelkan sekali. Apa aku sudah lupa tentang caranya mengendarai motor ini?" Aku bergumam sendiri sambil menggeleng kepala.
Aku melaju agak pelan karena entah kenapa aku sering oleng sana-sini. Saat aku ingin mulai melaju agak cepat, tiba-tiba saja dari belakang ada sebuah motor yang berjalan cepat melewatiku, membuatku terkejut dan benar-benar membuatku terjatuh karenanya.
" Aww!!!" ringisku menahan sakit karena tertimpa motorku sendiri. Tentu saja aku sulit berdiri sendiri. Ini berat, sungguh! Dari sisi kananku ku dengar suara motor lain yang terhenti di samping motorku. Ternyata ada dua siswa yang hendak menolongku.
" Hay, lo gak papa kan?" tanyanya membuatku menoleh karena mendengar suara halusnya. Kulihat dari balik kaca helm lelaki di depanku ini. Tampan. Satu kata yang kusematkan untuk lelaki yang sudah menolongku ini. Kulihat dia juga terpaku melihatku saat aku membuka helm.
" Ah, gue gak papa kok. Makasih ya udah mau nolongin gue," jawabku padanya.
Setelah berbasa - basi mengucap terima kasih, menceritakan kronologi jatuhnya aku, yang berakhir perkenalan dengan dua cowok yang sudah menolongku itu. Ardhan dan temannya, Doni.
Karena kakiku sepertinya tak bisa diajak kompromi buat berjalan dan lagi keadaanku masih shock karena insiden jatuh tadi, mau tidak mau aku menerima penawarannya untuk mengantarku pulang. Baik sekali bukan lelaki ini?
Ternyata Ardhan satu sekolah denganku. Dia pun heran karena tak pernah melihatku katanya. Jelas gak pernah lah. Orang aku jarang masuk ke sekolah. Dan lagi hampir dua bulan kemarin aku ijin gak masuk sekolah, karena aku lagi marah pada Ayahku. Apa aku tidak di beri peringatan keluar sekolah? Kok masuk sekolah seenaknya sendiri? Gak mungkin lah. Sekolah ini kan punya orang tuaku.
Ayahku seorang pengusaha di kotaku. Dan sekolah ini salah satu aset perusahaan Ayah. Namun meski begitu, aku tak mau ada yang mengenalku dengan anak dari seorang pemilik sekolah ini. Aku menyembunyikan statusku yang sebenarnya dan aku menyuruh Ayah tidak menampakkan diri disekolah sebagai wali muridku. Dan aku juga berpesan pada Ayah agar para guru tidak mengenal aku sebagai anak Ayahku yang punya sekolah ini.
Sekalipun ada rapat wali murid sekalipun aku tak pernah menyapa ayah ketika bertemu.
Semua aku lakukan karena aku tak ingin ada diskriminasi di sekolah. Dan aku tak mau ada anak yang mau berteman denganku hanya karena latar belakangku. Seperti kejadian waktu dulu. Ahh, Aku benar-benar tak mau mengingatnya lagi.
Aku anak tunggal. Dan waktu itu aku bertengkar dengan Ayah karena aku tak setuju bila Ayah menikah lagi. Bisa-bisanya Ayah cepat sekali melupakan Mama yang baru setahun meninggalkan dunia ini. Dan sepeninggal Mama, Ayah jadi lebih banyak mendiamkan aku dan juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor nya yang membuat aku kesepian. Aku kabur dari rumah. Dan aku sekarang tinggal di rumah Bi Wati. Dan itulah rumah yang jadi tempat Ardhan mengantarkan aku pulang. Aku tak bermaksud membohonginya. Karena memang sekarang aku tinggal disana bersama Bi Wati.
Bi Wati sendiri sudah lama bekerja pada keluargaku. Semenjak Mama melahirkanku, Bi Wati sudah menjadi orang yang mengurus semua urusan rumah. Saat aku beranjak dewasa pun Bi Wati masih setia bekerja pada keluargaku.
Waktu itu Ayah sudah menjemputku dan membujuk agar aku pulang dengannya. Tapi, aku masih tak mau berdebat dengan Ayah. Kami berdua bukan Orang tua dan anak yang akur. Aah. Andaikan saja aku punya seorang kakak atau adik, aku pasti tak akan terlalu kesepian sepeninggalnya Mama.
*******
Pertemuan dengan Ardhan membuatku merasakan hal yang berbeda. Seperti aku mempunyai teman baru lagi yang membuat hari ku tertawa.
Setelah aku dan Ardhan bertukar nomer, malam itu kami memulai percakapan panjang lewat media perpesanan. Ardhan anak yang enak diajak ngobrol. Dan sepertinya aku merasa cocok dengannya. Ah, kenapa aku jadi seperti anak yang sedang jatuh cinta? What? Jatuh cinta? Hello? Kita baru kenal kali, kok mikir ke cinta si?
Sejak saat itu kami berteman sangat baik sekali. Dan kemanapun selalu bersama. Bagai dua sejoli yang tak terpisahkan. Dan sejak kenal Ardhan aku jadi tau ternyata Ardhan jadi cowok yang trending topik di sekolah. Siapa sih yang gak kenal Ardhan. Cowok cakep, baik hati dan so smart boy. Ardhan jadi idaman para cewek-cewek di sekolah. Aku jadi merasa beruntung sih karena aku satu-satunya cewek yang bisa deket dengan Ardhan. Membuat bangga pada diriku sendiri.
Banyak cewek-cewek yang kadang tak suka melihat kedekatanku dengan Ardhan. Tapi, aku tak menggubrisnya. Toh aku cuma berteman saja dengan Ardhan. Mengingat aku cuma berteman saja dengan Ardhan ada sedikit rasa ngilu di hatiku. Entah apa aku tak tahu. Tapi sepertinya hatiku berkata aku ingin hubunganku dengan Ardhan lebih dari itu.
Salahkah aku berharap lebih? Salahkah aku menyukainya?
Keinginanku terkabul saat Ardhan mengungkapkan perasaannya padaku. Hati dan perasaanku saat ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seperti saat aku masih kecil menginginkan es krim yang langsung dibelikan oleh Ayah. Atau seperti saat aku sangat menginginkan tas edisi terbaru dan dibelikan Ayah. Ah, tidak ini rasanya melebihi dari apapun juga.
"Yes Ardhan. I like you too. And i'll be your mine," jawabku. Karena aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
*****
Ardhan sekarang menjadi posesif padaku semenjak kejadian Fira melabrakku. Sangat sakit dan malu saat Fira menamparku. Rasanya seperti aku adalah pelakor. Padahal Fira tak ada hubungan apapun dengan Ardhan. Kalau aku jadi Fira aku tak akan melakukan hal seperti itu. Karena hal itu menandakan dirinya tak mampu jadi cewek yang diminati cowok. Memalukan sekali bukan.
" Nay, tunggu aku disini dulu yah. Jangan kekantin sendirian. Aku gak mau ya kamu kenapa-kenapa kayak kemarin," omelnya saat dia masih mengerjakan tugas di jam istirahat. Manis sekali kan sikapnya. Aku tersanjung jadinya.
"Dhan, entar pulang sekolah aku mau jalan bareng sama Fani dan yang lain yah?" pintaku pada Ardhan.
" Oke tapi aku ikutan yah?" jawab Ardhan. Aku hanya melotot tak percaya dengan ucapannya. Yang benar saja. Kadang Ardhan menyebalkan juga kalau seperti ini. Aku mendengus kesal. Meski begitu sikap Ardhan lebih banyak yang manis dari pada menyebalkan. Dia akan selalu menceritakan hal-hal kecil tentang apa saja yang telah dilaluinya. Aku iri, sepertinya Ardhan terlahir dalam keluarga yang utuh dan bahagia. Aku jadi merasa bersalah karena belum berani jujur tentang siapa aku yang sebenarnya.
Hal yang sangat memalukanku adalah, saat hari dimana aku tak tahu kapan datang bulanku. Rasanya ingin pergi ke kutub utara sehingga tak ditemukan siapapun juga. Apalagi Ardhan, dia yang memergoki ku saat berdarah.
Oh my god. What ashamed!!
Dan desas desus tentang darah haidku itu, mereka berkata bahwa aku apa? Keguguran? Aborsi? Astaga. Aku tak percaya dengan mulut-mulut yang seperti tak pernah sekolah.
Aku marah. Tapi Ardhan selalu menenangkan aku. Mengatakan bahwa tak usah pedulikan orang yang tidak tahu sebenarnya kita.
Aku harap Ardhan tidak berubah, meski tahu tentang aku yang sebenarnya. Semoga dia akan tetap jadi dirinya. Dan tidak membuat berbeda sikap terhadapku. Aku hanya takut akan kehilangannya.