Chereads / Cinta Yang Belum Kelar / Chapter 19 - Ardhan

Chapter 19 - Ardhan

Aku merutuki kebodohanku sendiri. Niat hati sedikit berbohong pada Anaya agar aku bisa dekat lagi dengannya. Tapi dengan bodohnya aku yang membocorkan rahasiaku sendiri.

Sudah kutahan dari kemarin saat Anaya bertemu lagi dengan Riko anak baru dulu di sekolah dan tadi dia diajak kenalan oleh salah satu karyawan di tokoku. Argghhh! Aku tak bisa menahan lagi rasa cemburuku. Rasanya cemburu itu seakan mau meledak seperti sudah di ubun-ubun. Dan aku tak bisa menahan diriku lagi hingga tak sadar aku menciumnya. Ah ya! That is first kiss for me. Pesona Anaya memang tak bisa di tahan untuk mata lelaki normal. She is So beatifull girl. Siapapun pasti ingin dekat dengannya.

"Anaya stop!! Please dengerin aku dulu!" Aku mengejar Anaya yang berlari ke arah luar pertokoan. Saat aku berbelok aku kehilangan Anaya. Ah, sial! Aku kehilangan jejaknya.

Aku berbalik dan segera berlari mengambil mobilku. Aku harap Anaya belum terlalu jauh dari sini. Aku mengemudi mobilku bagai sok jadi pembalap. Untunglah jalanan sudah sepi karena hari mulai larut malam. Justru itulah yang membuat aku khawatir pada Anaya.

"Anaya!!!!" Aku berteriak memanggil Anaya berulang kali. Kutoleh kiri kananku, mencari di sekelilingku. Ku lihat ada sebuah gang kecil di ujung jalan. Kemungkinan Anaya berlari kesana guna menghindariku. Berhubung tak ada jalan lain lagi. Kalau Anaya memilih jalan besar sudah pasti aku temukan.

Aku segera turun dan berlari kearah gang. Aku berlari kesana kemari mencari Anaya. hampir lima menit aku lelah berlari. Bahkan nafasku sudah seperti lari marathon. Aku berhenti sejenak mengatur nafasku.

Samar-samar ku dengar teriakan seseorang dan aku menajamkan telingaku.

"Toloooonggg!!!!"

Benar! Ada yang berteriak minta tolong. Itu seperti suara Anaya.

"Anaya!!!" teriakku sambil berlari mencari sumber suara. Semakin dekat semakin jelas lagi aku mendengar Anaya berteriak tolong sambil menangis.

"Anaya!!!!" teriakku lagi. Kuharap Anaya mendengarku.

"Ardhan toloooong!!!!" Aku tahu dimana suara itu. Aku berlari menghampiri Anaya.

Dari jauh aku lihat Anaya sedang di kelilingi tiga orang laki-laki. Dua orang sedang memegang tangan Anaya. Dan satu orang lagi di depan Anaya yang hendak.... Arrgghh. Aku berlari menghampiri mereka. Lalu aku melayangkan tendanganku pada pria yang berada didepan Anaya. Aku tahu mereka hendak melecehkan Anaya. Dan aku tidak terima itu.

Aku membangunkan pria yang tersungkur tadi. Lalu dengan bogemku dia kembali terhempas di tanah. Dua orang laki-laki yang tadi memegang Anaya kini beralih memegang kedua tanganku. Mengunci pergerakanku. Saat pria satunya berdiri lagi hendak memukuliku, Aku menendang perutnya sambil aku bergantung pada kedua orang yang memegangku. Ekskul bela diri yang dulu aku ikuti ternyata berguna juga sekarang. Bahkan sekarang rasanya aku lebih kuat dari sebelum-sebelumnya.

Aku menarik kedua tanganku dengan kuat sehingga dua orang yang memegangku bertubrukan. Mereka mengaduh kesakitan.

Lalu aku melayangkan tinju kepada mereka bergantian. Kemudian, kaki kiriku ikut bergerak untuk menahan lawan dari samping. Dan Setelah itu aku melayang berputar menendangkan kakiku pada ketiga lelaki didepanku. Sekali tendang dua tiga orang terhempas.

Bugh. bugh.. bugh....

"Aaa....." teriak mereka mengaduh kesakitan. Setelahnya mereka lari tertatih-tatih. Aku mengedarkan pandanganku mencari Anaya. Di sebuah tempat di pojokan yang remang-remang ku lihat Anaya sedang menelungkupkan kepala. Aku berlari menghampirinya.

"Nay?!" panggilku sambil memegang bahunya.

"Aaaaa!! Tidak, tolong! Lepasin aku! Pergi, pergi!!" teriak Anaya sambil menunduk dan menggelengkan kepala.

"Hey, hey! Ini Aku Nay! Ini aku!" tegasku menangkup kedua pipinya untuk memandang kearahku. Ku lihat samar wajah Anaya yang bercampur keringat dengan air matanya. Meski penerangan disini remang-remang tapi aku masih bisa melihat wajah manisnya yang kurindukan. Keadaannya sungguh berantakan sekali. Aku tahu dia pasti ketakutan.

"Ardhan..,??" Ucapnya lirih dan air matanya semakin berderai didepanku.

Greeebbb!

Anaya menubruk tubuhku. Memelukku. Mungkin Anaya merasa lega karena ternyata aku menolongnya. Tanganku masih menggantung tak percaya. Dan aku pun tersenyum lega. Lalu kubalas pelukannya lebih erat lagi. Saat kuraba pundaknya, ternyata gaunnya sudah robek. Aku semakin mengetatkan rahangku karena ternyata penjahat itu sudah sejauh itu pada Anaya. Untunglah aku belum terlambat.

"Sudah tidak papa. Kamu bersamaku. tenanglah," ucapku sambil mengelus punggungnya. Dia terisak. Tapi aku sangat bersyukur Anaya tidak apa-apa. Aku buka kemejaku dan menyampirkan di bahu Anaya. Lalu kembali mendekapnya.

"Biar aku antar pulang ya? Dan tidak ada penolakan," ucapku tegas. Kurasakan dia mengangguk pelan dipelukanku. Pelukan ini yang aku rindukan sejak lima tahun lalu. Aku rindu, Nay. Sangat. Lirihku.

*******

Mengingat keadaan Anaya yang tidak memungkinkan, aku berinisiatif untuk membawa ke rumahku. Rumah keduaku tepatnya. Karena tidak mungkin aku membawa ke rumah dimana disana ada Bapak dan Ibu.

"Dhan, ini bukan jalan menuju kos ku?" tanya Anaya bingung. Aku menatapnya sekilas dan kembali fokus menyetir.

"Gak mungkin aku bawa kamu pulang dengan keadaan begitu. Kita kerumah ku dulu. Besok pagi aku antar kamu pulang," ucapku santai sambil tetap mengemudi.

"Kamu gila ya, Dhan! Justru akan terasa aneh kalau aku pulang kerumahmu. Apa kata Bapak sama ibu kamu nanti, Dhan?! ucap Anaya sedikit teriak.

"Hey hey! Siapa bilang aku bawa kamu pulang ke rumah orang tuaku? Ke rumahku, Nay. Waktu itu kamu pernah kerumahku kan? Apa kamu liat disana ada Bapak sama Ibu?" ucapku menenangkannya setelah menepikan mobil terlebih dulu. Tidak mungkin aku berdebat sambil mengemudi. Bisa celaka nanti.

"Tapi, aku masih marah sama kamu, Dhan," ketus Anaya. Aku menahan senyum.

"Oke. Kamu boleh marah sama aku. Sekarang biar aku tolong kamu dulu. Pulang ke rumahku dulu. Setelah kejadian tadi aku jadi kepikiran kalau kamu sendirian di kos, Nay. Besok setelah aku antar kamu pulang, kamu boleh marah sepuasmu. Atau gak usah pedulikan aku lagi, oke?" ucapku panjang lebar, mencoba memberi pengertian Anaya. Dan mungkin sebenarnya aku tidak mau berpisah dengan Anaya dulu.

Kulihat Anaya hanya mendengus pasrah. Aku kembali mengemudikan mobilku.

Diam-diam dari kejauhan ada sebuah mobil yang mengikuti mereka. Tanpa Ardhan dan Anaya sadari.

*******

Malam sudah sangat larut. Tapi aku belum memejamkan mata. Anaya aku suruh tidur di kamarku. Sedangkan aku meluruskan badanku di sofa depan TV di ruang tengah. Lampu di ruang tengah aku padamkan. Karena aku tidak bisa tidur jika ruangan terlalu terang.

Aku tidur dengan berbantalkan kedua tanganku sendiri. Merenung dan mengingat semua hal yang terjadi tujuh tahun belakangan ini. Kejadian dulu saat aku berpisah dengan Anaya, hingga sekarang aku dipertemukan lagi olehnya. Seperti permainan takdir yang datang dalam hidupku. Tujuh tahun sudah aku hidup dengan kegundahan dan merasa menjadi pecundang, karena tak bisa menerima apa keinginan Anaya saat itu.

Aahh, rasanya saat itu aku kesal pada diriku sendiri, karena aku masih anak putih abu-abu. Andaikan dulu aku adalah pria dewasa yang sudah mapan dan punya segalanya. Aku tak akan menolak hal yang sebenarnya aku pun ingin bersama Anaya. Menikahinya. Mempunyai anak bersamanya. Dan membangun rumah tangga yang bahagia bersama Anaya.

Aku merasa tak punya muka lagi saat berhadapan lagi dengan Anaya. Hingga saat bertemu dengannya pun, aku terpaksa berbohong dengan dalih bahwa aku hilang ingatan. Konyol sekali bukan. Aku tersenyum geli.

Saat aku merenung sendiri aku seperti mendengar sesuatu yang mengganggu pendengaranku. Aku curiga jadinya. Aku bangkit dan segera duduk. Menelisik suara bergelontangan di dapur. Masa ada maling di rumah ini? Selama aku disini, rumah ini aman-aman saja dan tak pernah ku dengar ada maling.

Aku mulai waspada dan berjalan ke arah pintu dapur. Mengambil sapu di belakang pintu. Aku berjalan mengendap untuk melihat keadaan. Aku sudah bersiap dengan sapu di tanganku. Aku masuk ke dapur dan langsung menyalakan lampu untuk menerangi pandanganku. Tanganku mengayun bersiap melayangkan sapu ku.

"Hiyaaaa!!!!...."

"Aaaaaaaaaaaaaaa..."

Aku urung mengayunkan sapu yang kukira maling itu, saat suara melengking memenuhi pendengaranku. Mataku terbelalak kaget saat yang kulihat didepanku bukanlah maling melainkan,,,

"Anaya.??!!" teriakku kaget.