Kepulan asap rokok memenuhi ruangan berukuran sepuluh kali lima meter. Tangannya sibuk memandangi foto-foto yang baru saja di berikan oleh anak buahnya. Dia kesal. Dan menggeram marah saat melihat sebuah foto yang menyulut emosinya. Lelaki berumur hampir kepala tiga itu melempar kasar foto-foto dihadapannya. Apalagi Foto itu memperlihatkan seorang wanita yang diinginkannya sedang bersama lelaki lain.
"Seharusnya dari dulu aku memaksanya untuk menikah denganku. Bukannya malah kasihan dan membiarkannya selama beberapa tahun ini hidup dengan bebas," ucapnya. Terdengar nada kesal dalam ucapannya. Lalu menghembuskan kasar asap rokoknya.
"Apa kita perlu membawanya kesini, Bos?" tanya anak buahnya.
Lelaki itu melirik tajam pada bawahannya.
"Lalu membuatnya menjadi sangat membenciku, begitu?! " ucapnya dingin. Anak buahnya hanya menunduk takut. Ia tahu, Bosnya akan menjadi monster saat marah.
"Tinggalkan aku sendiri. Aku butuh berpikir," ucapnya lagi dingin. Anak buahnya undur diri dan perlahan menghilang di balik pintu.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanya deru nafas yang penuh amarah dari lelaki itu.
Ia mengeluarkan ponselnya. Dan menghubungi seseorang.
"Dimana kalian?!" tanyanya dingin saat sambungan teleponnya tersambung. Membuat sang lawan bicara merinding takut karenanya.
"Jangan biarkan lepas dari penjagaan. Awasi terus. Atau kalian akan tau akibatnya!"
Pip...
Perintahnya lagi dengan nada mencekam. Dia melempar asal ponselnya ke atas sofa. Senyum licik nya muncul dibalik wajah tampannya.
********
"Anaya...!!??" teriakku kaget saat melihat Anaya didepanku yang sedang mengacak dapurku.
"Kamu sedang apa?" tanyaku masih bingung dengan keadaan ini. Kulihat Anaya memejamkan mata erat. Menyembunyikan wajahnya dari balik tangannya sendiri. Malu.
Kini aku tahu kenapa dia berada di dapur. Mungkin Anaya lapar. Melihat beberapa botol air mineral dari kulkas yang sudah sebagian habis olehnya. Mengingat aku jarang berada di rumah ini. Aku tak punya stok makanan di rumah. Aku menghela nafas, dan agak tersenyum geli karenanya.
"Maaf," ucapnya lirih. Tapi masih bisa kudengar jelas.
"Kenapa maaf?" tanyaku "Apa kamu lapar?" sambungku lagi. Dia mengangguk lemah. Aku sebenarnya ingin tertawa sekali saat ini Melihat Anaya yang seperti ketahuan sedang mencuri saja.
Aku menarik tangannya membawanya untuk duduk di meja makan. Dan mengambil kunci di atas lemari makan. Lalu membuka salah satu lemari disana, masih ada beberapa cup mie instan yang biasa aku santap saat berkunjung kerumah ini.
Aku melirik Anaya yang memperhatikanku. Saat masih merebus air aku duduk didepan Anaya. Gugup. Itu yang aku rasakan. Mungkin itu juga yang dirasakan Anaya sekarang. Rasanya sangat canggung duduk berdua dengan orang yang kita cintai tapi telah lama tak bertemu karena kisah cinta yang belum kelar.
"Kamu apa kabar, Nay?" tanyaku akhirnya memecah kesunyian. Dia menolehku. Hanya sebentar. Lalu berpura-pura menoleh ke arah panci yang sedang diatas kompor.
Lagian kenapa aku tanya kabar si? Udah jelas-jelas dia baik-baik saja. Seperti tidak ada bahan pembicaraan lain aja. Desahku.
"Maaf. Sebenarnya aku," ucapanku terhenti karena Anaya beranjak berdiri dan mendekat ke arah perapian. Aku mendesah. Mungkin bukan sekarang waktunya. Aku menyusul Anaya dan menggantikan tugasnya yang hendak memasak mie.
Aku membuat dua cup mie instan. Sebenarnya aku tak lapar. Tapi aku ingin menemani Anaya agar dia tak canggung makan sendiri. Bukankah, Tuhan sangat baik padaku, memberi waktu untuk aku dan Anaya.
Duduk berdua dengan Anaya ditengah malam dengan menyantap mie instan membuatku merasa seperti seorang suami yang sedang menemani istrinya yang lagi ngidam. Tak terasa tawaku meluncur kepermukaan. Anaya menolehku yang sedang tertawa kecil. Dia bingung. Aku merasa tak enak hati jadinya.
"Apa anda sedang menertawakanku?" tanya Anaya ketus. Aku melirik padanya. Aku tersenyum dan menggeleng.
"Kamu ingat? Dulu saat di sekolah, waktu jam istirahat. Aku selalu membuntutimu setelah ada anak baru yang menyatakan perasaannya padamu?" ucapku sambil menahan tawaku berusaha mengalihkan perhatian Anaya.
"Aaaa, iya aku ingat! Dulu kamu bucin banget sama aku. sampai mengekori aku kemanapun aku per...gi.." jawabnya dengan semangat yang penuh antusias. Lalu lirih diujung kalimatnya. Aku tahu Anaya akan sulit menerimaku kembali. Mengingat perpisahan kami dulu yang mungkin bisa dibilang miris.
"Andai dulu aku sudah seperti sekarang, Nay. Andai dulu Aku sudah punya segalanya. Andai dulu orang tuaku sudah berjaya seperti sekarang. Aku tak akan ragu untuk meminangmu, Nay. Maaf.
Maaf dulu aku hanya jadi seorang pecundang. Maaf dulu aku tak memberi kepastian padamu. Tapi jujur, sampai sekarang pun kamu yang selalu dihatiku, Nay. Tak ada yang lain. Only you," jelasku kepada Anaya berusaha memberi pengertian padanya. Akhirnya apa yang ingin aku ungkapan dari dulu aku ungkapkan juga. Entah itu akan membuatnya merasa lebih baik atau membuatnya merasa lebih buruk.
Aku memandangnya, kulihat dia menitikkan air mata. Ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Tapi aku urungkan karena pasti itu membuat Anaya merasa canggung. Aku bukan seorang pria yang romantis tapi aku ingin menjadi pria yang perhatian sehingga membuat wanitanya merasa di perhatikan.
" Sudahlah Ardhan, semuanya sudah berlalu semuanya sudah berakhir jangan kau ungkit lagi masa lalu yang pahit itu .Bertahun-tahun ini aku mencoba melupakanmu, mencoba melupakan perasaan sakitku. Aku tak mau lagi membuka luka lama . Biarlah, semua itu sudah berlalu. Biarlah kita jalani hidup kita masing- masing" ucap Anaya sembari terisak.
Mataku memanas ikut berkaca-kaca merasakan perasaan yang sama seperti perasaan Anaya. Memikirkannya saja membuatku menjadi lelaki yang menyedihkan. Memikirkan betapa malunya Anaya saat mengungkapkan keinginannya saat itu. Menyuruhku menikahinya disaat ayahnya hendak menjodohkannya, tapi, aku malah menolaknya.
Coba kau pikirkan, jika kau menjadi diriku saat itu? Saat kau masih muda belia dan lagi kau baru saja lulus SMA dihadapkan masalah bersama Kekasihmu untuk menikahinya. Sedangkan kau hanya anak orang biasa yang tak punya apa-apa. Apa yang akan kau lakukan ketika dirimu saja masih menjadi beban orang tuamu? Sanggupkah dirimu menjadi aku? Apa yang akan kau lakukan?
Sanggupkah kau mengatakan hal itu kepada orang tuamu dan meminta mereka untuk menikahkan kamu dengan orang yang kau cintai saat itu? Bisakah orang tuamu menerima itu? Bisakah orang tuamu mewujudkan hal itu?
Disaat seharusnya kau mulai mencari cara untuk membahagiakan kedua orang tuamu tapi kau malah akan membuat beban lagi untuk orang tuamu. Sungguh konyol bukan? Sungguh miris.
"Tak bisakah kita mulai semua dari awal?" Aku mencoba mengungkap apa yang sebenarnya aku ingin sekarang. Keinginan untuk mewujudkan apa yang Anaya mau dulu. Pun begitu aku juga menginginkannya. Bukankah sekarang kita sudah dewasa. Dan lagi aku sudah merasa cukup untuk bisa menjadikan Anaya istri.
"Aku sudah selesai makan, Dhan. Terima kasih untuk makanannya," ucap Anaya cepat dan segera berlalu dari hadapanku. Aku mendesah. Ini berat. Ini sulit. Hah.. Bisakah aku kembali mendapatkannya? Aku akan kembali mendapatkan Anaya. Aku ingin membalas rasa sakit Anaya dengan mengubahnya menjadi kebahagiaan. Ya, aku harus melakukannya!
Aku berpindah ke kamar di sebelah kamar Anaya. Tanpa menutup pintunya, aku masuk kedalam. Mengambil gitarku disana.
Saat gundah dan sedih seperti ini, pengalihanku hanyalah musik.
Jreng, jreng.
"Cukup Kamu ...
kamu lah orangnya...
Cuma bisa aku..
Yang rasa nyamanku..
Cukup aku ...
di sisa hidupmu...
Lebih baik cukup...
dari pada kurang atau lebih.."
Berharap Anaya mendengarkan aku. Aku bernyanyi dengan nyaman begitu saja.
Dan memang benar. Di kamar Anaya, samar-samar Anaya mendengar alunan senandung dari Ardhan. Memejamkan mata sembari tersenyum, lalu meraba dadanya seraya meneteskan air mata. Kenapa ini terasa sulit baginya. Dan juga bagi Ardhan.
*****
Sreeekk... Sreeekkk.. Sreeekk..
Wuusszzzz..
Dia kini berada di halaman belakang rumahnya. Menghadap perapian. Yang sedang menyobek dan membakar foto-foto yang tak ingin dilihatnya.
Menatap langit keabuan yang seakan sedang mengejek dirinya. Ia bergegas mengambil kunci mobilnya. Dan segera melesat bersama mobil kebesarannya. Ia ingin mengamati sendiri keadaan wanitanya. Wanitanya?. Ya.. Dia sudah lama menginginkan wanita itu untuk jadi pendamping hidupnya. Tapi sayangnya, wanita itu lebih memilih melarikan diri daripada dinikahkan dengan dirinya. Seorang Alvarendra.
Kurang apa dirinya. Dia kaya. Dia punya banyak uang, kemewahan, harta melimpah dan lagi tampan. Semua wanita mengidolakannya. Kenapa satu wanita itu malah lari darinya?
Dia menepikan mobilnya dari kejauhan di depan sebuah rumah yang tadi diberitahukan anak buahnya tentang keberadaan sang wanitanya. Ia mengawasi dan mengamati. Kacamata hitamnya bertengger gagah di hidungnya. Tak pernah baginya untuk melakukan sendiri hal yang biasa dilakukan anak buahnya. Demi wanitanya. Anaya. Dia rela menunggu beberapa tahun lamanya hanya demi seorang Anaya.
TBC