Chereads / Cinta Yang Belum Kelar / Chapter 21 - Masalah

Chapter 21 - Masalah

Andai aku bisa mengulang waktu, Andai aku bisa memutar waktu, ingin sekali rasanya aku berlari memeluk Anaya. Menyalurkan kekuatan dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan mengatakan padanya bahwa tak ada yang lain selain dirinya di hatiku.

Hidupku memang lebih baik dan lebih meningkat sejak lima tahun yang lalu. Sejak dimana usaha dagang Bapak semakin ramai di jual online. Sejak saat itu keuangan keluarga kami lebih baik. Dan lagi, usaha Bapak dan Ibu berkembang sampai sekarang. Mempunyai cabang toko dimana-mana dan sebagian aku mengelolanya.

Andai dulu hidupku sudah seperti sekarang, aku tak akan ragu menerima Anaya. Sungguh.

Aku bukan lelaki yang akan langsung menerima Anaya tanpa berpikir panjang kedepannya. Semua butuh dipikir baik buruknya. Bukan hanya untukku tapi juga Anaya.

"Dhan.. Menurut kamu gimana tentang Anaya?" tanya Ibu. Saat ini kami sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV setelah makan malam.

"Gimana, gimana maksud Ibu?" jawabku acuh. Seolah tak kaget dengan pertanyaan itu. Padahal hatiku selalu dag dig dug saat mendengar nama Anaya.

"Ibu tuh suka banget sama Anaya. Dia gadis yang baik, Dhan. Dia kerjanya juga tekun. Ramah lagi," ucap Ibu sambil tetap menonton TV. Aku tersenyum mendengar pujian Ibu untuk Anaya.

"Ardhan tahu kok, Bu. Emmm, Bu sebenarnya, ..."

"Kamu suka kan sama Anaya?" tebak Ibu saat aku belum melanjutkan ucapanku.

"Belum juga ngomong, Bu," ucapku.

"Ibu yakin Ardhan pasti juga suka kan sama Anaya?" tatap Ibu padaku. Aku mengangguk samar.

"Sebenarnya, dulu Anaya itu pacar Ardhan di sekolah, Bu," ucapku lirih sambil menunduk.

"Beneran? Kok Ibu gak tahu?" tanya Ibu heran.

"Ya, masa pacaran mau diumbar-umbar, Bu?" jawabku sambil mengerucutkan bibir.

"Ooo. Jadi selama ini kamu pacaran diam-diam? Kamu gak yang aneh-aneh sama Anaya kan, Dhan?!!" ucap Ibu memberondongku dengan tuduhannya.

"Astaghfirulloh Ibu. Ardhan gak seperti itu, Bu," sangkalku pada Ibu.

"Lalu kenapa kemarin waktu ketemu kayak bukan pacar?"

"Ibu, aku pengin minta tolong sama Ibu boleh enggak?" pintaku pada Ibu.

"Tolong apa Dhan?" Ibu menatapku intens. Sedari dulu aku hanya nyaman bercerita dan curhat sama Ibu. Entahlah kalau sama Bapak rasanya canggung.

"Bantu Ardhan deket lagi sama Anaya Bu. Ardhan merasa bersalah, Bu."

"Kamu bilang kamu gak ngapa-ngapain Anaya kan, Dhan? Lalu kamu bersalah apa?" tanya Ibu lagi heran.

"Bukan gitu, Bu. Sebenarnya, ..."

Lalu aku menceritakan semua yang terjadi padaku dengan Anaya di tujuh tahun lalu. Ibu hanya menghela napas panjang. Sedikit merasa kesal padaku karena tak percaya dengan kisah cintaku.

"Kenapa kamu gak bilang Bapak Ibu, Nak? Kasihan Anaya. Pantas dia bilang pergi dari rumah. Mungkin itulah masalahnya. Asraghfirulloh Ardhan," Ibu mengiba pada Anaya.

"Ardhan tak punya pilihan, Bu. Waktu itu Ardhan baru saja lulus sekolah. Ardhan gak mungkin bilang sama Bapak dan Ibu buat nikahin Ardhan dan Anaya kan, Bu?" jelasku panjang lebar.

"Kamu benar, Dhan. Kita tidak akan tahu apa yang akan Bapak Ibumu lakukan jikala waktu itu kamu bilang. Haahh, Ibu gak bisa bayangkan bagaimana hidup Anaya selama ini, Nak," ucap Ibu mengela napas panjang.

Semoga dengan aku menceritakan hal itu kepada Ibu, ia mau membantuku mendekati Anaya kembali. Aku rasa umurku sudah cukup untuk meminta bantuan orang tuaku dengan keinginan menikahi Anaya. Aku sangat berharap semua berjalan lancar dan sesuai keinginanku dan aku sangat berharap semoga Anaya mau membukakan pintu maaf padaku. Semoga Anaya mau kembali menerimaku dan kembali bersamaku.

******

Aku memulai aktifitasku pagi ini. Karena aku ada meeting dengan pemilik kebun sayuran. Aku berencana akan membuka sebuah Toko dengan menjual bahan makanan seperti sayuran segar. Aku ingin konsultasi dulu dan melakukan negosiasi sebelum lokasi yang akan aku tempati sudah beres. Setelahnya nanti aku akan mampir ke Cafe yang baru sebulan berdiri. Lalu mampir ke Toko kue Ibu yang kemarin baru launching. Hari ini Ibu mengantar Bapak kontrol. Akhir-akhir ini kesehatan Bapak kurang baik. Jadi aku menggantikan Ibu untuk mengontrol Toko.

"Selamat pagi, Pak Ahmad. Maaf apakah saya terlambat?" sapaku pada pria yang sudah agak senja usianya.

"Oh tidak, Nak Ardhan. Saya juga baru sampai," jawab Pak Ahmad. Lalu kami membicarakan tentang perkebunan Pak Ahmad yang akan jadi pemasok di Toko ku.

"Maaf, Nak Ardhan. Sebenarnya ada yang mau saya katakan," ucap Pak Ahmad tiba-tiba yang membuatku menolehnya.

"Beberapa hari lalu, Kebun saya sebenarnya sudah di beli oleh pengusaha kaya. Sebenarnya saya tidak mau, tapi berhubung mereka membeli dengan harga yang sangat tinggi, mau tidak mau saya menjualnya, Nak," tutur Pak Ahmad. Membuat hatiku mencelos karenanya. Ya Allah. Kenapa ada kejadian begini? Batinku.

"Tapi, Pak, kita sudah membicarakan ini jauh-jauh hari kan, Pak? Lalu kenapa dijual?" tanyaku heran. Aku hampir merasa putus asa dengan keadaan ini.

"Untuk itu saya minta maaf sekali, Nak Ardhan. Kalau ada denda saya siap membayarnya," ucapnya cepat.

Tidak, bukan denda yang aku maksud. Bahkan kami belum ada perjanjian hitam diatas putih.

"Bukan begitu, Pak. Sayang sekali padahal ini peluang bagus, Pak. Saya sedikit kecewa saja," ucapku kecewa.

"Maaf, Nak Ardhan. Bapak khilaf. Tapi, Nak Ardhan bisa menghubungi pemilik barunya saja. Bapak sudah tua, Nak, gak bisa mengurus perkebunan lagi," sambung Pak Ahmad lagi.

Ya benar. Pak Ahmad sudah terlalu tua untuk bekerja. Hanya saja aku sedikit kecewa dengan hal ini. Aku pikir semua akan berjalan lancar. Kalau sudah begini, aku mesti mencari pemasok lain lagi.

Aku kembali melajukan mobilku. Mungkin belum rejekiku. Jangan jadikan aku orang yang putus asa, Ya Allah. Batinku dalam hati. Aku menghela napas panjang sebelum memasuki Cafe.

Papan 'Family Cafe n resto' terpampang di depan cafe ku. Aku lihat dari luar belum terlalu ramai karena mungkin ini masih pagi. Para pekerja kantor masih sibuk bekerja. Biasanya siang hari mulai ramai.

Aku melangkahkan kakiku kedalam Cafe. Tapi ternyata Cafe ku sudah direservasi seseorang. Mungkin itu sebabnya Cafe masih sepi. Tapi yang jadi masalah adalah karyawanku mengatakan yang mereservasi tempat ini belum kunjung datang. Lalu semua makanan yang dipesan sudah siap. Karena sebelumnya mereka menghubungi bahwa dalam waktu satu jam mereka akan mengadakan meeting di Cafe ini. Sedangkan uang muka yang mereka kirim masih tiga puluh persen saja. Akan sayang jika kita menyajikan hidangan saat hidangan itu sudah dingin. Sepertinya yang mereservasi ini adalah sebuah kantor. Melihat banyaknya pesanan yang dibuat.

"Tolong hubungi lagi orang yang melakukan reservasi ini," perintahku dengan nada khawatir.

"Sudah, Bang. Tapi dari tadi nomernya tidak aktif," kata salah satu karyawanku.

"Jangan-jangan ini penipuan, Bang?" kata salah satu karyawan lain.

"Jangan asal bicara. Siapa yang menerima reservasi orang ini tadi?" tanyaku berusaha tenang.

"Tika, Bang," jawab salah satu dari mereka dan aku melihat karyawan yang bernama Tika menunduk.

"Tika, tolong temui saya di ruangan saya," kataku dingin. Membuat semua karyawan jadi cemas.

"Bisa jelaskan pada saya kronologinya?" tanyaku. Mungkin ruangan ini terlalu sepi hingga suaraku terdengar mengintimidasinya.

" Itu, Bang. Reservasinya kemarin sore. Sudah ditransfer juga DP nya. Kemarin bilang acaranya jam sebelas menjelang makan siang. Tapi tadi pagi saat kami bersih-bersih Orang itu menelepon pak, Dia minta Kami menyiapkan sekarang karena katanya meeting mereka dimajukan," jelas Tika padaku.

"Reservasi untuk berapa orang?" tanyaku lagi.

"Katanya dua puluh orang, Bang," jawab Tika semakin menundukkan kepala. Aku mendengus sedikit kesal.

"Dari kantor mana? Atas nama siapa?" tanyaku lagi.

" Maaf, Bang. Karena untuk hal itu saya lupa menanyakannya," jawab Tika yang kini mulai terisak tangis.

"Astaghfirulloh!" Aku meraup muka kasar.

"Dimana Faris?!" tanyaku agak meninggikan suara.

Bagaimana bisa menerima pesanan dengan tidak tahu siapa nama pemesannya? Aku menanyakan Faris selaku kepala Toko alias penanggung jawab Cafe. Harusnya Anak itu yang menghandle Cafe. Kenapa malah anak baru? Pikirku.

"Maaf, Bang, Mas Faris kemarin kecelakaan saat hendak pulang sehingga hari ini tidak masuk," jawab Tika yang masih terisak tangis.

"Coba mana nomer yang mereservasi Cafe ini?" pintaku pada Tika. Mungkin aku bisa menghubunginya sendiri. Atau mungkin memang ada keterlambatan atau apa. Aku berusaha semampuku mengatasi masalah ini.