Chereads / Takdir Cinta Ceo Dingin / Chapter 4 - Gara-gara Wanita Itu

Chapter 4 - Gara-gara Wanita Itu

Dokter wanita muda tampak tergesa berjalan memasuki lobi perusahaan Karamunting Group. Bahkan ia masih mengenakan jas putih yang melekat di badannya. Tanpa bertanya pun orang akan tahu identitasnya.

"Nona Selvy! Ikuti saya!" perintah Roni begitu wanita yang dipanggil Selvy tersebut keluar dari lift yang membawanya hingga ke lantai teratas gedung pencakar langit tersebut.

Selvy mengangguk sembari berjalan cepat mengimbangi langkah Roni yang berjalan tergesa didepannya.

Lelaki berperawakan tinggi jangkung tersebut mendorong pintu ruangan milik Gabio tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia juga terlihat sangat khawatir. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruangan tersebut. Ia hanya diperintahkan oleh Gabio untuk memanggil dokter yang selama ini selalu menangani penyakit yang diderita oleh Bello.

"Nona. Masuklah kedalam. Tuan Gabio sedang menunggu Anda!"

Selvy mengangguk sekali lagi, sembari melangkah memasuki ruangan yang dirasanya tidak asing lagi. Matanya bergerak menatap kearah Gabio yang sedang duduk di sofa dan sedang menatap makhluk kecil yang terlelap tidur disana.

"Ada apa, Gabio? Apakah ini berhubungan dengan Cybello?" Selvy bergerak memperhatikan Gabio yang terus-menerus menatap Cybello yang sedang tertidur pulas didepannya. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh kearahnya. Wajar saja ia seperti itu karena dirundung rasa khawatir yang berlebihan.

"Coba kamu lihat! Cybello gelisah dalam tidurnya. Dia terlihat tersenyum, bahkan mengerutkan dahinya beberapa kali. Apakah ada gejala lain dalam tubuhnya? Atau ada penyakit yang tidak terdeteksi?"

Selvi bergerak mendekat kearah Cybello. Benar saja, anak berusia 4 tahun tersebut terlihat senang dalam tidurnya. Sesekali ia terlihat tersenyum samar dan terkadang terlihat memayunkan bibirnya seperti sedang cemberut. Tangan Selvy bergerak meraba dahi Cybello untuk memeriksa suhu tubuh Cybello.

"Tidak hangat!" gumamnya pelan sembari menatap Gabio.

"Anak seusia Cybello memanglah wajar memimpikan sesuatu dalam tidurnya. Apalagi kalau aktivitas mereka terlalu berlebihan di siang hari. Maka rasa lelah tersebut mampu, bahkan sangat berdampak pada kualitas tidurnya. Dan sepertinya ia baru saja mengalami hal yang menyenangkan hingga membekas di ingatannya."

"Benarkah? Bukannya kamu tahu kalau Cybello tidak pernah berhalusinasi seperti ini sebelumnya. Kecuali setelah ia bertemu dengan...," Gabio langsung terdiam menatap Selvy yang menantikan ucapannya sembari mengerutkan sedikit dahinya. Wanita itu tampak menerka-nerka ucapan Gabio selanjutnya.

"Wanita itu membawa pengaruh buruk pada Cybello," gumamnya pelan sambil mengusap mulutnya pelan.

"Apa yang barusan kamu bilang? Wanita itu siapa?" desak Selvy penasaran. Ia tahu selama ini Gabio tidak pernah dekat sedikitpun dengan wanita lain kecuali wanita yang dulu. Mungkin saja lelaki didepannya tersebut sedikit trauma berhubungan dengan yang namanya wanita.

"Bukan apa-apa," sahut Gabio cepat. Ia berdiri dari posisi duduknya, bergerak kearah jendela yang tirainya sedang melambai-lambai. Menatap jalanan yang terlihat sangat kecil dan panjang dibawahnya.

"Sebaiknya kamu tidak menyembunyikan hal sekecil apapun yang berkenaan dengan Cybello padaku. Jadi, aku bisa mengetahui lebih pasti apa yang dialaminya dan pengaruhnya. Agar aku mampu untuk mendapatkan cara penanganannya."

Gabio mengangguk.

"Baiklah. Aku rasa Cybello kali ini tidak ada masalah sama sekali. Kalau begitu, aku permisi dulu," tambah Selvy lagi setelah melihat tidak ada reaksi sama sekali dari Gabio.

Gabio kembali mengangguk, ia mempersilahkan Selvy keluar dari ruangannya.

Begitu Selvy keluar, bayangan Sariel yang dulu pernah menumpahkan minuman di baju jas mahalnya kembali membayang dipelupuk matanya. Bahkan saat Sariel hampir terjungkal sewaktu berjalan di tepi jalan. Wanita itu benar-benar teledor. Bagaimana bisa Cybello bergaul dengan wanita yang bahkan menangani dirinya sendiri saja tidak mampu.

"Roni! Masuk!"

Pintu ruangan terdengar berderit, diiringi dengan bunyi yang artinya pintu kembali ditutup.

"Cari identitas wanita itu sedetail mungkin. Aku tidak ingin ada yang terlewat darinya. Dan berikan laporannya padaku dalam 30 menit kedepan."

"Baik, Tuan!"

Roni kembali berjalan kearah luar ruangan. Matanya bergerak sekilas melirik kearah Cybello yang masih tertidur pulas.

***

Sementara itu, Sariel sudah kembali ke Favilium yang ditempatinya dengan membawa banyak pohon jeruk yang dibelinya. Bahkan ia juga membeli beberapa bungkus bibit tanaman lainnya.

Entah karena apa, ia sangat suka menanam sesuatu. Ia merasa mendapatkan ketenangan dari semua itu. Bahkan ia juga merasa puas setelah melihat hasil dari jerih payahnya yang sudah membuahkan hasil. Benar apa yang orang katakan, kita yang menanam maka kita juga yang akan memetik hasilnya.

"Nona, bibit jeruk Pontianaknya apakah akan langsung Nona tanam ataukah di istirahatkan terlebih dahulu?"

Wina memegang beberapa stek jeruk Pontianak ditangannya. Wajahnya tidak terlihat karena terlindung daun jeruk yang lumayan tinggi dengan batang yang masih seperti kelingking.

Ia bersyukur, sepertinya Sariel sudah melupakan kejadian di pasar tadi.

"Simpan dulu ditempat teduh selama beberapa hari. Aku ingin menanam bibit yang aku beli beberapa waktu yang lalu terlebih dahulu."

Wina mengangguk sambil berjalan kearah bawah pohon mangga yang teduh dan rindang. Ia meletakkan stek jeruk tersebut disana. menyusunnya dengan rapi dan menyiramnya dengan sedikit air.

Sedangkan Sariel sudah bersiap dengan cepat. Ia mengganti pakaiannya dengan memakai celana panjang serta baju kaos lengan panjang dan tak lupa memakai topi bundar yang besar untuk melindunginya dari sinar matahari. Wanita itu lebih terlihat cantik dengan pakaian casual seperti itu ketimbang memakai gaun.

"Sekarang?" beo Wina memperhatikan Tuannya sejak tadi. Ia sama sekali tidak bergerak setelah menyiram jeruk sedari tadi.

"Tentu saja sekarang. Hari sudah mulai petang dan bagus menanam jeruk disore hari agar menghindari layu setelah ditanam disiang hari. Ia juga bisa penyesuaian selama semalaman."

"Baiklah. Mari berkebun," teriak Wina kegirangan. Ia meraih cangkul dan sekop membawanya mengikuti Sariel yang berjalan kearah kebunnya yang tidak jauh dari favilium tempat mereka tinggal. Tanah yang sengaja dibeli oleh Sariel dengan hasil tabungannya selama beberapa tahun sejak orang tuanya mengasingkan dirinya. Bahkan ia juga membeli beberapa hektar tanah ditempat lain tanpa sepengetahuan oleh ayahnya ataupun saudara tirinya.

Sesampainya di kebun, Sariel menatap jeruknya yang sudah berbuah dengan senyum merekah. Rasa sedih dan gundahnya sirna seketika. Bahkan ia dengan cepat melupakan masalahnya begitu saja.

Ia berjalan kearah tanah yang sudah siap tanam dan terlihat kosong yang berada disisi kebun jeruk yang sudah terlihat buahnya mulai berminyak.

Dengan cekatan Sariel mencangkul tanah dan menggali lubang sekiranya muat batang jeruk yang akan ditanam. Dan tak lupa ia menyiram tanahnya setelah bibit jeruk tersebut ditimbun dengan tanah. Sariel juga menutupi pohon jeruk tersebut menggunakan gedebong pisang yang di potong pendek dan mengapit batang jeruk. Gunanya adalah untuk melindungi jeruk dari layu saat matahari terik disiang hari.

Mereka bergerak dengan cepat dan menanamnya bersama hingga 20 bibit jeruk mampu mereka tanam dengan cepat. Sariel tersenyum puas melihat hasil pekerjaannya yang cepat selesai.

Hanya dengan kerja kerasnya yang tidak seberapa tersebut, ia mampu memberikan gajih untuk Wina dan juga mencakupi keperluannya sehari-hari setelah apa yang didapatnya dari ayahnya tidak mencukupi untuknya. Bahkan wanita yang berusia 25 tahun tersebut mampu memberikan uang lebih untuk membantu keluarga Wina yang kesusahan.

***