Chereads / Takdir Cinta Ceo Dingin / Chapter 7 - Rencana Rohana

Chapter 7 - Rencana Rohana

Sariel kembali didatangi oleh seorang pelayan mansion utama saat malam harinya. Meminta Sariel untuk menemui ayahnya yang sudah menunggu dirinya sejak tadi.

Dengan langkah malas, akhirnya Sariel bergerak juga untuk menemui orang-orang di rumah utama. Ia tahu mereka memanggilnya karena ada sesuatu yang berkenaan dengan dirinya.

"Masuk Nona. Tuan dan nyonya sudah menunggu diruang keluarga."

Sariel merasa semakin tidak nyaman mendengarnya. Tak biasanya Sariel disuruh keruang keluarga oleh orang tuanya. Seumur-umur mereka berkumpul hanya pada saat Sariel sedang sakit kala itu dan hanya terjadi perkumpulan diruang makan. Itupun dengan suasana yang sangat tidak nyaman.

"Duduk!" perintah Rohana begitu langkah Sariel terhenti didepan mereka. Wanita paruh baya tersebut menatap dirinya dengan acuh.

"Ada hal penting yang ingin kami sampaikan padamu," ucap Rohana begitu Sariel meletakkan dirinya di sofa yang berhadapan dengan mereka. Matanya bergerak menatap Arya yang tampak fokus dengan handphone ditangannya. Lelaki tua itu sejak tadi seperti tak sudi untuk menatapnya.

"Tentang apa?" sahutnya mengalihkan tatapan kearah Rohana.

"Tentu saja tentang dirimu!"

Sariel diam mendengar ucapan tegas Rohana.

"Kami ingin mempercepat pernikahanmu dengan Evan."

Sekuat tenaga Sariel menahan perasaannya yang tak karuan. Hampir saja ia melupakan lelaki pengkhianat tersebut kalau saja Rohana tidak mengingatkan hubungan mereka.

"Tapi, bagaimana ya, ma?" Mata Sariel bergerak melirik kearah Arya yang masih terlihat acuh.

"Sepertinya saya ingin memutuskan hubungan pertunangan tersebut. Saya tidak ingin menikah dengan Evan," sahutnya santai kembali melirik kearah ayahnya. Ia ingin melihat respon lelaki tua tersebut.

Dan benar saja, lelaki itu terlihat menghentikan kegiatannya. Langsung menatap Sariel dengan wajah garang dan mata melotot.

"Apa-apaan kamu? Tidak malu dengan keluarga mereka karena sikapmu yang seperti ini!" Rohana berteriak keras.

"Kamu ingin membuat keluarga kita malu!" tambahnya lagi.

"Apa karena lelaki tempo hari lalu!" pekiknya.

Sariel menggeleng. Ia benar-benar tak tahu lelaki yang mana yang dimaksud oleh Rohana kemarin. Saat Sariel berjalan ke mansion utama untuk menemuinya kemarin, lelaki yang dimaksud tersebut sudah tidak ada disana.

"Jangan bohong kamu. Kamu sering jalan bareng keluar kan dengan lelaki kemarin. Bahkan kamu punya hubungan khususkan?" tuduh Rohana. Wajahnya semakin menjadi-jadi kesal.

"Apa benar yang mamamu katakan!?"

Sariel mendelik mendengar suara dengan nada rendah yang keluar dari mulut ayahnya. Ia menggeleng kuat, wajahnya tampak pias melihat tatapan tajam tersebut. Mata yang dipenuhi oleh kabut amarah. Benar-benar menakutkan.

"Ma. Bukan itu alasan saya untuk membatalkan pertunangan dengan Evan. Bahkan lelaki yang mama maksud kemarin pun saya tidak tahu," bela Sariel.

"Jangan bohong kamu!" hardik Rohana. Membuat Sariel diam menghela napas pendek. Rasanya dadanya terasa ditekan karena pasokan udara yang hampir habis.

"Benar apa yang mamamu katakan. Jangan kamu membuat keluarga kita malu dihadapan keluarga Sarmawan. Keluarga mereka lebih berada dibanding keluarga kita. Apa kamu tidak memikirkan efek buruk kedepannya mengenai kerjasama yang terjalin antara keluarga kita dan keluarga Sarmawan?" sahut Arya.

"Jadi saya minta agar kamu memutuskan hubungan dengan lelaki asing kemarin! Kalau tidak, kamu akan tahu apa yang akan menimpamu kedepannya!"

Sariel menghele napas pelan. Ia tahu kalau dirinya selalu dihubungkan dengan keuntungan politik. Kalau bukan, sudah ia pastikan kalau dirinya bakalan ditendang dari rumah ini.

"Tapi... Saya tetap pada keputusan saya. Saya tidak ingin menikah dengan Evan. Saya tidak mau masa depan saya berantakan. Apalagi hingga menyia-nyiakan kebahagiaan saya."

Rohana terbeliak mendengarnya. Bahkan wanita itu terlonjak kaget saat Arya menggebrak meja dihadapan mereka. Menatap wajah Sariel dengan nyalang.

"Kamu anak tak tahu di untung! Sudah syukur kami mau merawatmu hingga sebesar ini. Kalau tidak, entah bagaimana saat kamu baru lahir dulu. Mungkin saja hanya tinggal nama!"

Telunjuk Arya menuking tepat dihadapan wajah Sariel. Membuat Sariel sangat kecewa dengan perlakuan ayahnya tersebut.

"Sudah seharusnya kamu berterima kasih pada kami dengan cara seperti ini."

Wanita muda tersebut menunduk, mengepal tangannya kuat. Sebegitu bencinya kah Arya padanya. Entah kesalahan apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu hingga ia begitu dibenci. Apakah karena dia sudah merenggut nyawa wanita yang dicintainya saat melahirkannya dulu. Atau karena hal yang lain.

"Ingat ucapan saya ini baik-baik. Kalau kamu sampai membatalkan pernikahanmu dengan Evan Sarmawan. Maka kamu segera angkat kaki dari rumah ini!"

Sariel terhenyak mendengarnya, rasanya ada petir yang menyambar disiang bolong. Mereka benar-benar tak perduli dengannya dan perasaannya. Tidak ada sedikitpun menanyakan penyebab dirinya memutuskan hal tersebut.

"Keluar!" perintah Arya tegas tanpa ingin menatap wajahnya.

Sariel segera berdiri dari posisi duduknya. Melangkah keluar mansion utama dengan gontai. Ia berjalan menuju kearah favilium. Melewati begitu saja Wina yang sedang bersenandung sambil mengelap meja ruang tamu.

"Nona. Ada apa?" Wina berjalan mengikuti langkah Sariel yang terlihat sangat gontai ditambah dengan wajahnya sangat mendung.

Brakk

Wina hanya mampu mengurut dadanya begitu pintu dibanding oleh Sariel tepat didepan matanya. Ia yakin Sariel sedang kacau sekarang. Wina bergegas kearah dapur membuatkan secangkir teh dengan perasan limau kuit didalamnya. Perlahan ia masuk kedalam kamar yang tidak dikunci tersebut. Menatap majikannya yang termangu di dekat jendela dengan mata merah dan sembab.

"Win... Bagaimana kalau aku keluar dari rumah ini?"

Wina terkejut mendengarnya, segera meletakkan teh yang ada ditangannya. Bergerak menghampiri Sariel yang sama sekali tak bergerak dari posisinya.

"Saya akan ikut Nona. Kemanapun Nona pergi, saya tetap akan ikut."

Barulah Sariel berpaling menghadap Wina. Wanita yang berstatus lebih tua dari Sariel tersebut bergerak kearahnya dan memeluk wanita yang terlihat rapuh tersebut. Mungkin dengan pelukan hangat yang diberikan oleh Wina akan mampu membuat beban Sariel berkurang.

"Nona jangan berpikir seperti itu. Saya tahu Tuan Besar sangat sayang sama Nona."

Sariel menggeleng pelan. "Tapi aku tidak merasakan rasa sayang papa. Aku hanya merasa kalau papa menyimpan rasa benci yang mendalam padaku," lirihnya.

"Jangan berkata seperti itu, Nona. Percayalah pada Tuan. Apapun yang Tuan lakukan untuk Nona adalah yang terbaik untuk Nona."

Sariel melepaskan pelukan diantara mereka. Ia tak menyahut ucapan Wina.

Wina bergerak meraih teh jeruk limau kemudian menyerahkannya pada Sariel.

"Minumlah dulu teh ini, Nona. Agar pikiran Nona bisa tenang."

Dengan cepat Sariel meraih gelas tersebut kemudian menghirupnya pelan. Pandangannya tampak menerawang menembus jendela kaca. Ada setitik air disana. Matanya bergerak memperhatikan langit yang mulai menurunkan rintik-rintik hujan.

Wina masih berada tidak jauh darinya. Sesekali wanita tersebut memperhatikannya dengan seksama. Ia memang tahu betul bagaimana perjuangan Sariel bertahan di keluarga yang mengucilkan dirinya.

***