Sariel menarik napas beberapa kali. Ia belum siap untuk bertemu dengan orang tuanya Bello yang terlihat sangat mencurigainya tempo hari lalu. Bahkan lelaki itu tak tanggung-tanggung langsung menuduhnya yang bukan-bukan.
"Tuan Dito... Saya hanya bisa mengantarkannya sampai depan kantor papanya saja. Selebihnya saya serahkan pada tuan Dito."
"Tapi, nona. Akan lebih baik kalau nona langsung bertemu dengan Tuan Muda terlebih dahulu. Mungkin saja, dengan itu nona bisa membantu Tuan Kecil sesuatu."
Sariel mengerutkan dahinya, ia melirik kearah Bello yang terlihat diam saja.
"Tapi, saya tidak bisa membantu apapun untuk Bello. Saya orang asing. Ditambah sikap papanya Bello tempo lalu."
Dito menggeleng. Ia menatap Sariel dengan takjub.
"Nona memang orang asing, tapi nona mampu menjalin kedekatan dengan Tuan Kecil dalam waktu singkat. Jadi, Nona bisa berpartisipasi dalam mengasuhnya. Bagaimana kalau saya yang akan mengajukannya pada Tuan Muda? Saya yakin Tuan Muda tidak akan menampik hal itu."
"Jangan!" sahut Sariel cepat. Ia tersentak setelah sadar dengan nada suaranya yang terdengar sedikit keras. Kepalanya menggeleng pelan. Melirik kearah Bello yang sibuk dengan dirinya sendiri.
"Saya tidak mau dalam masalah besar. Dan sekali lagi saya katakan, jangan terlalu cepat beranggapan seperti itu."
"Tapi, Nona..."
Sariel menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau terlibat masalah besar dengan orang tuanya Bello. Cukup ia dicurigai memanfaatkan situasi, jangan sampai ia dicurigai dengan anggapan mencari kesempatan karena Bello yang bersikap akrab dengannya.
Ia mengalihkan pandangannya, memperhatikan pakaiannya yang sedikit Kumal dan berdebu. Sariel bergerak menyapu pakaiannya dengan tangan kanannya. Tetapi gerakannya terhenti, saat sebuah tangan tampak bergerak didepannya, Dito menyodorkan tisu padanya.
"Pakai ini, Nona. Nanti tangan nona yang akan kotor."
Dito kembali berpaling kearah depan setelah Sariel mengambil tisu tersebut dari tangannya.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat disebuah rumah sakit. Sariel mengernyitkan dahinya menatap Dito penuh tanya.
Lelaki berbadan tegap tersebut hanya tersenyum tipis kearahnya dan bergerak cepat membuka pintu mobil yang ada disampingnya. Sariel memperhatikan Bello yang tiba-tiba memegang tangannya dengan kuat. Ia menggeleng beberapa kali dengan wajah pucat, bertepatan dengan pintu mobil di samping mereka terbuka.
"Semuanya akan saya jelaskan didalam. Sebaiknya Nona membawa Tuan Kecil masuk kedalam terlebih dahulu," pintanya dengan sebuah anggukan.
Tanpa membantah, Sariel bergerak memeluk Bello dan menenangkan lelaki kecil tersebut.
"Sayang, Bello akan menurut dengan kakak, kan? kalau ingin bersama kakak?"
Sariel merasa bersalah sudah menekan Bello dengan hal kecil tersebut. Tapi apa boleh buat, hanya itu satu-satunya cara agar lelaki kecil tersebut bisa tenang.
"Kita ikuti dulu Om Dito. Setelah selesai dari sana, kita akan menemui papa. Bagaimana?" bujuk Sariel sembari mengangkat Bello kepangkuannya. Sariel merogoh kantong baju yang dikenakannya, meraih sesuatu dan menyerahkannya pada Bello. Sebuah gantungan kunci buatan tangan dengan bahan kain planel, berbentuk buah jeruk berwarna kuning.
"Ini untuk Bello yang penurut."
Lelaki kecil tersebut meraihnya dan memperhatikannya dengan seksama. Matanya bergerak menatap Sariel dan tersenyum. Ia mengangguk serta membiarkan Sariel membawanya keluar dari dalam mobil untuk menemui Dito yang sudah menunggu mereka.
***
Langkah kaki Dito bersama beberapa orang pengawal dibelakangnya terdengar menggema disepanjang lorong rumah sakit. Disamping kanannya terlihat Sariel yang sedang menggendong Bello. Lelaki kecil tersebut hanya bersandar di bahunya saja.
Mereka bergerak memasuki sebuah ruangan yang pintunya sudah terbuka. Seorang asisten dokter menyambut mereka didepan pintu. Mempersilahkan Sariel untuk duduk tepat berhadapan dengan seorang dokter wanita muda.
Begitu Sariel duduk, Bello langsung menghadap dirinya. Lelaki kecil tersebut memeluknya dengan erat. Gerakan tangan Sariel yang membelai punggungnya membuat Bello sedikit lebih rileks.
"Sayang, ibu dokter hanya ingin memeriksa Bello. Apakah tangan Bello sudah dicuci atau belum? Atau ibu dokter ingin memeriksa mulut Bello, apakah gigi Bello sudah disikat apa belum," bujuk Sariel tetapi tidak berhasil karena Bello tetap menenggelamkan diri didadanya.
"Baiklah kalau Bello tidak menurut sama kakak. Berarti Bello tidak menyukai kakak," ucap Sariel bernada sedikit sedih.
Dan berhasil.
Bello langsung melepaskan pelukannya dan berbalik menghadap dokter wanita muda didepannya. Menyodorkan sedikit tangannya dengan takut-takut.
"Baiklah Bello. Ibu hanya akan menanyai Bello sedikit saja."
Selvy tersenyum, melirik sedikit kearah Sariel. Wanita yang pertama kalinya mampu mendekati Bello tanpa kesulitan. Entah bagaimana Sariel menaklukkan Bello yang teramat sulit untuk didekati. Bahkan ia selalu menjerit histeris saat beberapa orang yang tak dikenalnya mendekat. Bahkan dirinya sendiri juga selalu gagal untuk melakukan terapi pada Bello kecuali anak tersebut sedang tidur.
Dan benar saja, saat Selvy ingin memeriksa Bello dan menyentuh tangannya. Bello justru menarik tangannya dengan cepat dan berteriak histeris serta menjerit sekuatnya. Hingga membuat Sariel terkejut dan refleks menutup telinganya yang sakit dan berdengung.
"Sayang. Jangan takut, ada kakak disini. Kakak akan melindungi Bello dari apapun itu. Karena Bello adalah milik kakak selamanya," bisiknya pelan sambil merangkul Bello dengan lembut. Sariel memperlihatkan janji kelingking pada Bello. Anak tersebut mendongak menatap Sariel. Ia tidak mengerti dengan kode yang diberikan oleh Sariel.
Setelah agak tenang, Sariel langsung mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking milik Bello.
"Ini namanya janji kelingking. Bello adalah milik kakak Sariel dan Kakak Sariel adalah milik Bello seorang."
Lelaki kecil tersebut diam tak mengerti dengan arah pembicaraan Sariel. Tetapi ia hanya mengangguk saja.
"Apa-apaan kamu? Kamu ingin merusak anakku!?"
Sariel terkejut saat mendengar suara bass dibelakangnya yang bernada ketus dan dingin. Ia merasa pernah mendengar suara seksi tersebut. Sariel meneguk ludahnya dengan kasar, mencoba melirik kebelakang. Tetapi terlambat, lelaki dengan suara seksi tersebut sudah melongokkan kepalanya dari atas kearah depan wajah Sariel dengan posisi yang teramat dekat.
Sariel mencoba menjauhkan sedikit kepalanya tetapi justru berantukan dengan perut rata milik Gabio. Lelaki itu menatapnya tajam dan dingin. Membuat Sariel terlihat semakin gelisah. Apalagi lelaki itu melingkupinya melalui atas.
Gabio segera menjauh saat menyadari suara tepukan tangan khas anak kecil yang menggema. Ia melirik kearah Selvy yang terlihat santai menanggapinya. Dan juga Dito yang tampak menunduk takut. Beralih menatap Bello yang melakukannya dan terus menepuk tangannya karena antusias bahkan terlihat jelas ia menyunggingkan senyum lebarnya.
Sekali lagi, Gabio segera menjauhkan dirinya dari Sariel. Merebut Bello yang duduk di pangkuan Sariel. Matanya kembali bergerak menatap Sariel dengan penuh ancaman.
"Tuan, Nona Sariel hanya ingin__"
Gabio mengangkat tangannya cepat, membuat Dito langsung menghentikan ucapannya.
"Saya tidak mau melihat Bello yang begitu dekat dengan orang asing. Apalagi dia punya tujuan tertentu. Saya yakin dia ingin memanfaatkan situasi melalui kedekatan Bello dengan dirinya."
Mata Gabio bergerak memperhatikan penampilan Sariel yang kumal. Berdecih sekilas hingga membuat suasana semakin senyap dan hening.
"Saya yakin dia pasti membawa pengaruh buruk pada Bello. Lihat saja beberapa hari ini setelah Bello bertemu dengannya waktu itu, Bello semakin membangkang!"
Sariel beranjak dari tempat duduknya, berdiri tepat dihadapan Gabio. Ia tak terima dengan tuduhan yang diberikan oleh Gabio padanya.
"Tuan yang kaya dan terhormat! Tenang saja. Saya tidak punya tujuan apapun dengan anak tuan. Saya hanya ingin menolong pengawal anak tuan yang kesusahan."
Sariel melirik kearah Dito yang juga melirik sekilas kearahnya kemudian kembali menundukkan kepalanya. Ia tahu lelaki itu merasa bersalah padanya.
"Jadi, kedepannya sebaiknya Tuan kaya dan terhormat menjaga anak Tuan dengan baik. Agar dia tidak sampai tersesat ke tempat saya yang kotor dan ramai. Dan juga agar dia tidak mendapat pengaruh yang buruk dari saya!" tekan Sariel sembari jari telunjuknya menekan dada kiri Gabio.
Lelaki itu melirik kearah tangan Sariel yang sudah menjauh dari dadanya. Tangannya bergerak dengan cepat meraih sapu tangan yang ada disaku jas biru navinya. Menyeka bekas telunjuk Sariel dan membuang sapu tangan tersebut ke tong sampah yang ada didekat meja. Dan semua itu tak luput dari penglihatan Sariel. Wanita itu tersenyum sinis melihatnya. Matanya beralih kearah Bello yang berdiri tepat disisi kanan Gabio. Sariel sedikit membungkukkan badannya.
"Bello. Kakak pergi dulu ya. Bello baik-baik sekarang. Kan sudah ada papanya Bello. Dan juga, jangan membuat om penjaga kesusahan ya." Sariel berdiri tegak kembali. Matanya bergerak menatap Gabio. Tatapan yang menantang dan tak pernah takut. Matanya kembali bergerak menatap Bello, senyum lebarnya terpatri jelas dibibirnya.
"Babai sayang."
Tangan Sariel bergerak mengecup mulutnya dan meletakkan tangan bekas kecupan tersebut ke pipi Bello. Membuat Gabio bergidik ngeri melihatnya.
Gabio menatap dingin kearah Sariel yang juga menatap sinis padanya setelah mencapai pintu. Ia kembali meraih tisu yang tergeletak di atas meja. Kali ini tidak hanya selembar saja, tetapi beberapa lembar. Langsung bergerak menyeka pipi Bello yang baru saja di pegang oleh Sariel tadi.
Sontak perbuatan Gabio tersebut membuat Bello berteriak histeris. Membuat Gabio terkejut melihat sikapnya. Ia menatap kearah pintu, tetapi wanita itu sudah menghilang dari pandangannya. Mata Gabio beralih menatap Bello yang tampak cemberut dan kesal padanya. Wajahnya semakin menggemaskan dengan pipinya yang tembem dan bulat.
"Bello. Papa tidak suka Bello bersikap seperti itu."
Bello hanya diam saja, acuh terhadap ucapan Gabio.
"Bello mendengarkan papa, kan?"
Lelaki kecil tersebut masih diam. Ia berdiri jauh dari Gabio sambil mensedekapkan tangannya didada. Bibirnya tampak cemberut dan mayun. Matanya melirik kesal pada Gabio.
"Baiklah. Papa yang salah. Lain kali papa akan mengabulkan apapun permintaan Bello." Gabio langsung mengangkat tangannya pertanda menyerah.
Bello langsung terlonjak girang. Ia hampir saja berlari kearah Gabio kalau saja lelaki itu tidak mengatakan sesuatu.
"Tetapi, papa tidak suka Bello dekat-dekat dengan orang asing dan aneh seperti bibi yang tadi."
"Bahkan dia tidak waras," gumam Gabio pelan.
Bello langsung kembali cemberut. Bahkan berlari keluar ruangan. Dengan sigap Dito langsung mengejarnya. Merasa khawatir dengan keadaan Bello yang berlari tanpa tahu tujuan.
Sedangkan Gabio menarik napasnya pelan menatap kearah Selvy yang mengangguk padanya.
"Kita bicarakan nanti. Saya akan mengejar dan membujuk Bello terlebih dahulu," ucap Gabio meninggalkan ruangan dokter fsikiater begitu saja.
***