Sariel berjalan cukup jauh dari tempat semula. Ia juga belum menemukan titik terang keberadaan Bello. Anak itu terlalu sulit untuk dicari sebab tidak mampu bicara tetapi ia cukup keras saat menjerit.
Notifikasi pesan dari handphonenya tampak berbunyi. Ia segera meraihnya dan membukanya. Mungkin saja ada kabar dari Dito yang sudah menemukan Bello. Tetapi matanya tampak membesar setelah melihat beberapa foto yang sengaja dikirim oleh seseorang padanya. Foto dengan berbagai gaya.
"Dia sangat narsis!" desis Sariel sambil menggulir foto-foto tersebut.
"Aku akan menghapusnya, fotonya hanya akan membuat handphoneku rusak," gerutunya sambil menghapus seluruh foto tersebut, kemudian menutup handphonenya kembali dengan wajah sebal. "Dia pikir dia tampan apa?" gumamnya bertambah kesal.
Pikirannya tampak buyar setelah mendengar pekikan keras dari jarak yang cukup dekat. Sariel segera berlari kearah asal suara. Jeritan yang melengking dan memekakkan telinga. Ia tahu betul suara itu adalah suara milik Bello saat ia dalam keadaan panik.
Baru saja Sariel sampai ditempat Bello berada, langkahnya kalah cepat dari langkah Gabio. Lelaki itu sudah lebih dulu meraih Bello yang berada ditengah keramaian jalan raya. Entah ia tersesat atau ia memang ingin menyeberang jalan hingga terperangkap diantara mobil dan motor yang berlalu lalang sangat ramai.
Sariel merasa kasihan melihatnya, tetapi ia tak mampu untuk mendekat pada Bello. Ia takut Gabio akan marah dengan reaksinya yang terus menolak tawaran kerja untuknya. Ditambah dengan kenarsisan lelaki itu seolah pamer dengan ketampanan dan keatletisan tubuhnya. Atau mungkin itu hanya bentuk pesan penipuan dengan menggunakan namanya.
Sariel bergegas menemui Dito. Lelaki itu hanya mampu menatapnya dengan perasaan lega.
"Nona Sariel. Maafkan kami karena sudah meminta hal ini pada Nona. Dan juga sangat merepotkan Nona." Dito merasa tak nyaman, Sariel tersenyum lebar.
"Jangan sungkan seperti itu Tuan Dito. Saya merasa tidak keberatan saat diminta hal ini. Tetapi maafkan saya, karena saya akan pulang sekarang. Bello juga sudah ditemukan oleh ayahnya sendiri."
Dito mengangguk. "Terima kasih banyak Nona Sariel karena kamu mau membantu mencari Tuan Bello."
Sariel mengangguk.
"Baiklah," sahut Dito sambil melambaikan tangannya pada taksi yang lewat.
"Hati-hati dijalan Nona. Dan sampai jumpa lagi."
Dito memperhatikan langkah Sariel hingga wanita itu menghilang dibalik mobil taksi. Saat ia ingin melihat kearah Gabio dan Bello. Dito terperanjat luar biasa, Gabio sudah berada didepannya dengan jarak yang hanya selangkah saja.
"Siapa wanita itu?" tanyanya dengan dingin. Menatap wajah Dito sedetail mungkin.
Dito meneguk ludahnya kasar. Ia masih mengingat ketidaksukaan tuannya pada Sariel.
"Jawab, Dito! Siapa wanita tadi!?" Suara Gabio terdengar membentak, melirik kearah Dito yang justru menunduk. Ia memang tak melihat jelas wanita itu dan keburu menghilang bersama taksi yang dinaikinya.
"Nona Sariel," sahut Dito tegas sambil mengangkat kepalanya. Gabio mendesah mendengarnya.
"Ikuti aku!" Perintahnya yang diangguki oleh Dito. Lelaki itu berjalan mengikuti dibelakangnya.
Perasaan Dito campur aduk, tak biasanya ia melihat Gabio dengan tatapan lelah seperti sekarang. Ditambah lelaki itu sudah menghela napas beberapa kali.
"Jelaskan padaku, apa saja yang kamu ketahui mengenai wanita itu?" Gabio menatap Datar Dito . Ia sebenarnya merasa gengsi untuk mencari tahu mengenai Sariel. Tapi apa boleh buat, demi hubungannya dan Bello menjadi lebih baik, apapun akan ia lakukan.
"Saya tidak banyak tahu mengenai Nona Sariel. Wanita itu hanyalah wanita biasa dan seorang Nona dari keluarga kaya. Tetapi, walaupun dia kaya, dia tetap bekerja keras melakukan pekerjaan apa saja. Bahkan ia kerap menjual buah dari hasil kebunnya sendiri."
Gabio mengernyit mendengarnya, ingatannya jatuh pada penampilan Sariel hari itu. Dimana keadaan dirinya terlihat kumal dan kotor.
Dito tersenyum lebar saat mengingat pertemuan mereka dipasar tempo lalu. Gabio yang melihat reaksi Dito tersebut tampak berdecak tidak suka. Bagaimana mungkin ia kalah menarik dari pada anak buahnya yang hanya berstatus sebagai pengawal anaknya saja.
***
Sementara itu Sariel sudah sampai di Favilium yang ditempatinya. Evan sedang menunggunya tepat didepan pintu faviliun. Tatapan Sariel terlihat tidak biasa. Ada rasa tak suka saat melihat Evan yang menatapnya dengan cemburu.
"Ada apa?" ucapnya acuh sambil menatap Evan lelah.
"Aku ingin bertemu denganmu. Kejadian tadi masih belum kamu jelaskan padaku!"
Sariel berdecak mendengarnya. Ia berbalik membelakangi Evan. Sariel mengajak tunangannya masuk kedalam faviliun yang ditempati olehnya. Tetapi langkah wanita itu tampak urung saat ia sudah mencapai pintu. Ia justru berjalan kesisi Favilium menuju kearah taman samping yang tampak asri dan rindang.
Mereka duduk saling berhadapan disebuh taman dengan meja sebagai pembatasnya. Ada beberapa kudapan di atas meja dan dua cangkir teh sebagai sajian utamanya. Wina sudah mempersiapkan semuanya dari awal.
Handphone milik Sariel kembali berdering. Nomor tak dikenal. Evan ikut melirik kearah handphone tersebut dan melirik Sariel sebentar. Lelaki itu tak mampu menyembunyikan kecurigaannya. Ada rasa tak suka saat melihat Sariel begitu dekat dengan lelaki lain dibandingkan dirinya.
"Halo."
"Halo. Saya Gabio. CEO perusahaan Karamunting Group meminta Anda untuk datang ke kantor saya besok."
Sariel menjauhkan handphone miliknya menatapnya sekilas kemudian kembali menempelkannya di telinga kirinya. Matanya bergerak menatap Evan yang berusaha menguping pembicaraan mereka.
"Kalau Anda adalah CEO maka saya adalah dewan Direksi!"
"Apa?" Sahut Gabio terkejut.
"Iya. Saya adalah Dewan Direksi! Telpon penipuan ini sudah biasa saya alami. Dan ingat! Kamu tidak bisa menipu saya! Kalau tidak, maka kamu akan saya laporkan ke polisi!"
Sariel mematikan handphonenya dengan cepat sambil mendengus menatap Evan yang terlihat senang. Perasaannya campur aduk, antara marah dan kesal.
"Ada apa kamu kemari?" Ia mengubah nada bicaranya menjadi datar.
"Tentu saja aku ingin bertemu denganmu. Ada banyak hal yang harus kita selesaikan, termasuk tertundanya memilih gaun pengantin pagi tadi."
"Bagaimana mungkin kita memilih gaun pengantin bersama sementara diluar sana kamu sedang merangkul perempuan lain."
Evan diam menatap Sariel. "Apakah kamu cemburu?"
"Cemburu?" Sariel berdecih sambil membuang muka. Bukan rasa cemburu yang ia miliki tetapi rasa benci karena dihianati oleh tunangannya sendiri.
"Minumlah dulu untuk menetralkan perasaanmu."
Sariel melirik kearah Evan. Lelaki itu menyerahkan cangkir teh padanya. Sariel segera menyambutnya. Ia meneguknya dengan perlahan. Sariel sadar sekarang, perhatian Evan padanya hanyalah sekadar perhatian sebagai tunangannya.
"Bagaimana perasaanmu, Sariel?" Evan menatap Sariel dengan perasaan bersalah. Tetapi Sariel justru memperlihatkan keengganannya untuk melihat Evan.
"Tentu saja aku kacau. Berkat seseorang kemarin aku sudah seperti seorang pengemis yang kelaparan. Tapi hari ini jauh lebih buruk." Sariel memiringkan kepalanya menatap Evan dengan tatapan sebal.
"Bicaramu keterlaluan. Bisa-bisanya putri seorang terhormat seperti kamu berkata jelek seperti itu!"
Sariel membola mendengarnya, jelas-jelas Evan lah yang salah tapi kesalahan itu justru dilimpahkannya pada gadis tersebut.
"Lalu bagaimana dengan sikapmu hari ini di butik? Apakah itu juga tidak keterlaluan!?" Apa tindakan kalian pantas dilakukan anak orang kaya dan terhormat?" Sariel menyeruput gelas teh miliknya dengan santai tanpa menghiraukan kekesalan yang diperlihatkan Evan padanya.
"Sariel... Alasan kedatanganku hari ini, adalah untuk minta maaf padamu. Aku akan melupakan seluruh kesalahanmu hari ini." Wajah Evan tampak memelas kembali, menatap Sariel yang justru menatap acuh padanya, mensedekapkan tangannya sambil berdecih.
"Oh jadi ini yang ingin kamu bicarakan denganku?" Sariel tampak tenang.
"Salah satunya," sahut Evan memperhatikan Sariel.
"Tentu saja. Pasti sekarang kamu pura-pura menyesal," bisiknya didalam hati.
"Minta maaf soal apa?" Sariel pura-pura tidak tahu.
"Aku sungguh merasa bersalah padamu karena tergoda oleh Sania. Mungkin ini terdengar seperti alasan, tetapi aku sungguh ingin bertunangan denganmu. Menurutku hanya kamu wanita yang pantas untukku."
"katakan intinya saja!" sahut Sariel tegas masih menundukkan kepalanya sambil menghirup secangkir teh miliknya. Tidak ingin melihat wajah lelaki didepannya dengan ekspresi palsu milik Evan.
"Huh! Aku tidak akan memaafkan mu sampai kamu meminta maaf padaku sampai jungkir balik," bisiknya didalam hati kembali meletakkan cangkir teh miliknya.
"Aku sepertinya jatuh hati pada Sania!"
Sariel terkejut mendengarnya, ucapan Evan tak sesuai dengan keinginannya.
"Jadi... Apa mau mu?"
***