Chereads / Takdir Cinta Ceo Dingin / Chapter 17 - Rumah Sederhana Yang Hangat

Chapter 17 - Rumah Sederhana Yang Hangat

Sariel dan Wina berkemas dengan cepat. Mereka ingin lekas meninggalkan Favilium tersebut. Tak ingin Nino datang dan kembali menyerang Sariel. Cukup sudah penderitaan yang dialami Sariel karena keegoisan Arya. Jangan sampai Nino semakin menambah beban dirinya.

Jam 7 malam mereka sudah tiba dikediaman Wina. Tempat sementara untuk Sariel berteduh sebelum ia berpikir kedepannya untuk mencari hunian baru.

Banyak dari para pekerjanya yang menawarkan tempat bernaung untuknya. Tetapi Sariel lebih memilih pergi kekediaman Wina karena merasa lebih akrab dengan mereka. Walaupun rumahnya kecil dengan banyak penghuni. Sariel tetap merasa nyaman bersama mereka karena kehangatan mereka.

Selesai makan malam, ia segera menuju ke kamar yang biasa ditempati oleh Wina. Sedangkan kedua adik Wina tidur bersama dikamar yang lainnya. Terlihat jelas kalau Sariel masih mengingat kejadian hari ini yang menimpa dirinya. Orang tua yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya dengan teganya berucap bahwa dirinya anak selingkuhan ibunya dengan pria lainnya. Berulang kali ia menghela napasnya membuang sesak yang mengisi rongga dadanya.

Mana ada anak yang tak sakit hati saat mendapat penghinaan yang bertubi-tubi seperti itu. Bahkan penghinaan yang luar biasa didapatkan serta oleh ibunya yang sudah tiada. Tidak ada tempat untuk mencari pembenaran.

Memejamkan mata pun ia tak mampu tetapi menangis pun ia juga tidak bisa. Toh percuma saja memperlihatkan kelemahannya dihadapan semua orang, tetap saja semuanya tidak akan berubah dan kembali seperti semula.

Sariel terperanjat saat mendengar pintu tua yang berderit dibelakangnya. Wina masuk menghampiri dirinya dengan seulas senyum tipisnya. Ditangannya ada selimut yang tampak sedikit usang warnanya.

"Ini selimut untuk Nona. Pakailah. Malam ini cuaca akan sangat dingin karena sedang memulai musim kemarau di desa."

Wina menyerahkan selimut tersebut pada Sariel. Tetapi Sariel justru menolaknya. Ia benar-benar merasa kasihan melihat keadaan mereka.

"Tidak Wina. Pakailah untukmu. Aku sudah biasa menghadapi udara dingin," sahutnya masih dengan wajah murung.

"Nona. Jangan berkata seperti itu. Udara dingin disini dan ditempat kita semula tinggal berbeda. Disana ada penghangat ruangan, sedangkan disini saat malam maka angin akan terus berhembus membawa hawa dingin yang menusuk. Saya yakin Nona tidak akan bisa tidur sedikitpun."

Sariel berpikir sejenak, ia memang tak tahu keadaan di desa seperti apa saat kemarau telah tiba. Tetapi ia meraih selimut tersebut juga. Membuat bibir Wina mengukir senyum bahagia.

"Tidurlah disini, dikasur yang sama denganku. Besok bantu aku mencari rumah hunian yang baru."

Tangan Sariel bergerak menepuk kasur tipis yang mereka tempati. Ia merasa sangat miris melihat kehidupan keluarga Wina. Tetapi ia juga sangat iri dengan kehangatan keluarga tersebut.

Keesokan harinya, Wina dan Sariel pergi ke kota untuk mencari rumah hunian seperti yang diinginkan oleh Sariel. Tetapi selama setengah hari mereka juga belum menemukan rumah yang cocok dengan keinginan Sariel.

Setelah perjalanan cukup melelahkan, mereka memutuskan untuk singgah sebentar di warung makan. Rasa lapar membuat perut mereka berdua seperti ditusuk dan dililit-lilit oleh sesuatu.

Ketupat Kandangan adalah menu yang cocok untuk disantap disiang hari. Dengan kuahnya yang kental dan terasa sangat gurih karena adanya santan yang di masak didalamnya, ditambah dengan rasa ikan Gabus yang terasa empuk yang sudah dimasak dengan sambal campuran cabe merah besar kering ditambah bawang merah dan putih yang diblender halus. Menambah kenikmatan disela makan mereka.

"Nona. Bagaimana kalau setelah ini kita pulang saja? Sepertinya Nona juga kelihatan lelah."

Sariel melirik sebentar kearah Wina, kemudian melanjutkan kembali makannya. Ia benar-benar merasa lapar setelah seharian kemarin nafsu makannya menghilang.

"Tapi, kita masih belum menemukan rumah yang baru untukku," sahutnya setelah makanan di mulutnya tandas.

Wina tersenyum. "Tapi masih ada hari esok. Kita akan melihat-lihat perumahan yang lainnya. Bagaimana?" tawar Wina.

"Kelihatannya Nona juga sangat lelah."

Sariel mengangguk setuju. Mungkin Wina lah yang merasa lelah untuk sekarang. Ia menurunkan sedikit egonya.

"Baiklah. Aku akan menurut apa katamu," sahutnya mengalah.

Wina berdiri sebentar, meminta izin untuk pergi ke toilet. Ia merasa kebelet, bergegas meninggalkan Sariel yang kembali duduk seorang diri.

Namun setelahnya, justru ada seorang lelaki muda dengan kisaran umur 30 tahun mendekat kearah Sariel. Duduk tepat dihadapan Sariel.

"Maafkan saya karena sudah lancang duduk disini tanpa izin adik."

Sariel mengangkat kepalanya sebentar, menatap lelaki yang masih tersenyum menatap kearahnya. Ia tak mengenal sedikitpun lelaki tersebut. Matanya bergerak melirik ke sekitarnya. Keadaan warung terlihat sangat ramai. Mungkin mereka yang baru datang kekurangan tempat duduk.

"Silahkan saja," sahutnya acuh sembari meraih air putih yang masih tersisa separuh gelas. Sariel meneguknya dengan pelan. Tetapi matanya terpaku saat melihat lelaki didepannya tidak melepaskan pandangannya. Sariel merasa sangat tak nyaman dengan semua itu. Dan ia berharap Wina segera datang.

"Apakah Adik Sariel melupakan saya?" Ia tersenyum masih menatap Sariel dengan intens hingga menimbulkan kernyitan dalam didahi wanita yang tampak kebingungan tersebut.

Beberapa detik setelahnya, Sariel masih mencoba mengingat paras lelaki yang terbilang biasa saja ini. Tak ada kenangan apapun yang melekat didalam benaknya. Ia menggeleng pelan hingga menimbulkan tawa renyah dari seberang mejanya.

"Tentu saja adik lupa dengan saya. Saat itu kita sering bermain bersama diusia adik 4 tahun."

Sariel terdiam, ia memang tak mengingat apapun di usia tersebut. Mungkin lelaki ini lebih tua darinya hingga mengingatnya dengan jelas. Ia tak berani berkomentar sedikitpun, takut kalau semua ini hanyalah kenalan dalam bentuk penipuan.

"Saya dengar dari pembicaraan adik tadi kalau Adik sedang mencari hunian baru. Dan maaf karena saya juga sudah lancang menguping pembicaraan adik."

Lelaki itu tampak berpikir sejenak kemudian kembali menatap Sariel. Membuat Sariel diam memperhatikan dirinya.

"Begini dik, saya ada tawaran hunian elit untukmu dengan harga murah. Karena kamu adalah pelanggan baru maka saya akan memberikan diskon yang banyak. Bagaimana? Apakah Adik tertarik? Lagipula, kita juga masih keluarga."

Sariel diam sebentar. Pikirannya berkecamuk antara percaya dengan orang baru atau tidak. Ia memang terdesak mencari hunian baru tetapi ia ingin memilih hunian yang resmi. Untuk mendapatkan hunian sesuai dengan keinginannya sangat lah sulit. Kebanyakan dari hunian yang di datanginya hari ini, semuanya berada di dalam gang ataupun jalan kecil.

"Letak rumahnya juga sangat strategis, berada dipusat kota. Dekat dengan tempat perbelanjaan dan juga perkantoran kalau adik seorang pekerja."

Ucapan lelaki tersebut tampak meyakinkan hingga Sariel pun mencoba untuk sedikit mempercayainya. Apa salahnya, toh orang baik datang pada kita disaat kita mengalami kesusahan, bukan?

"Apakah kakak seorang marketing?" Sariel menatap ragu lelaki yang terlihat meyakinkan tersebut. Ia tak ingin tertipu dengan iming-iming harga murah.

"Bukan. Saya hanya orang biasa. Kebetulan teman saya ada yang berkeinginan menjual rumahnya. Ia meminta saya untuk menawarkannya setelah ia pindah keluar negri," jelasnya.

"Bagaimana kalau adik, saya berikan kartu nama saya saja. Adik bisa menghubungi saya jika sewaktu-waktu berubah pikiran. Saya tidak keberatan menunggu kabar dari adik," tambahnya lagi sambil menyodorkan sebuah kartu nama kehadapan Sariel.

Wanita muda tersebut meraihnya, ia menimang-nimang kartu tersebut sebelum menyimpannya. Menatap lelaki yang bernama Awi didepannya. Nanti akan meminta pendapat Wina terlebih dahulu.

Lelaki tersebut segera pergi dari hadapan Sariel setelah urusannya selesai. Seiring dengan munculnya Wina. Setelah membayar semuanya, mereka segera pulang kembali kekediaman keluarga Wina. Sore ini ada jadwal Sariel untuk mengecek kebun jeruk miliknya. Beberapa buruhnya sedang memetik buahnya untuk dijual dipasar esok hari.

***