"Bukan itu yang saya harapkan. Tetapi sesuatu yang lain."
"Apa?" Sariel semakin menatap heran Gabio. Ia sama sekali tak mengerti apa yang diinginkan lelaki tersebut.
"Bukan apa-apa. Silahkan lanjutkan langkah Anda."
Sariel kembali mencebik tak suka. Lelaki ini terlalu berbelit-belit, membuatnya merasa semakin dipermainkan. Tanpa banyak berpikir, Sariel meninggalkan lelaki itu dengan cepat. Ia tak ingin mendengar bujukan yang kesekian kalinya lagi. Lelaki itu terlalu dingin auranya hingga membuat bulu kuduk Sariel meremang. Ditambah tatapannya yang tajam dan menusuk, membuat Sariel seolah mati rasa dan kehilangan kata-kata. Mana mau ia seatap dengan lelaki tersebut kalau pembawaannya tidak ada hangat sekalipun.
"Nona Sariel," sapa Dito masih dengan raut wajah merasa bersalah. Sariel mengangguk diiringi seulas senyum sambil berlalu dari hadapan lelaki bertubuh kekar tersebut.
Langkahnya semakin ia percepat, takut kalau Gabio kembali mengejarnya. Tetapi Sariel justru menabrak seseorang tanpa sengaja. Matanya bersinggungan dengan orang tersebut.
"Andre!"
"Sariel!" ucap keduanya berbarengan.
"Sedang apa kamu disini? Apakah ada janji dengan seseorang?"
Sariel menatap curiga, beberapa kali pandangannya melirik kebelakang Andre. Ia tahu betul lelaki itu sangat disukai oleh Leni. Bahkan Adik tirinya tersebut tidak segan untuk mengancam dirinya kalau terlihat sedang bersama Andre.
"Ya, kebetulan aku baru selesai mengadakan pertemuan. Lalu, kamu sendiri sedang apa disini?" Lelaki itu juga sama menatap Sariel dengan curiga. Matanya bergerak menatap Gabio yang berdiri cukup jauh dari mereka. Tatapan lelaki itu tampak menusuk dan tajam.
"Sama. Aku juga baru saja selesai bertemu seseorang," Sariel tersenyum dengan nada bicara yang terdengar ringan dan riang.
"Siapa?" Andre masih menatap Sariel dengan curiga. Tatapan tak suka ia layangkan pada Gabio yang masih menatap mereka berdua. Dengan cepat Andre menarik Sariel dan menggandeng wanita itu untuk menjauh dari sana.
"Memangnya penting hingga kamu bertanya sedetail itu," sahut Sariel dengan sedikit gurauan mengikuti langkah lelaki tersebut. Ia terkekeh sebentar sambil menatap langkahnya yang pelan dan santai.
"Hanya ingin tahu saja. Tapi, kamu sekarang tinggal dimana? Kemarin aku mencari dirimu kediamanmu yang dulu, katanya kamu sudah diusir oleh ayahmu dari sana."
Wajah Sariel tampak kaku, langkahnya terhenti saat mereka sudah tiba dilobi.
"Siapa yang menceritakan hal itu padamu?"
"Jadi itu benar?" Andre tak menjawab pertanyaan Sariel. Justru ia memastikannya. Lelaki itu menyugar rambutnya dengan frustasi, beberapa kali ia menatap Sariel yang terlihat tak perduli.
"Dimana kamu tinggal sekarang?" tanyanya kembali, Sariel hanya diam sambil membuang muka. Tangan lelaki itu bergerak memegang kedua bahunya. Tatapannya tampak serius, membuat Sariel mengangkat kepalanya membalas tatapan Andre.
"Kamu bisa tinggal di tempatku saja. Ada kamar yang kosong untukmu, bagaimana?" tawar lelaki itu dengan serius.
Tawa Sariel pecah, ia tak suka melihat tatapan kasian Andre untuknya. Ia menggeleng pelan sambil menurunkan kedua tangan Andre dari bahunya.
"Tidak perlu seperti itu Dre. Aku sudah menemukan rumah untukku tinggali. Jadi, kamu tidak perlu khawatir mengenai itu," sahut Sariel meyakinkan.
"Tapi...."
Sariel menggeleng, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
"Nanti setelah aku pindahan maka kamu yang akan aku undang untuk pertama kalinya," ucapnya meyakinkan.
Andre terdiam menatap Sariel yang tersenyum riang tanpa beban. Ia tahu kesakitan seperti apa yang dialami oleh wanita didepannya tersebut. Tanda sadar tangannya bergerak mengacak kepala Sariel pelan hingga membuat Sariel terkejut beberapa detik lamanya.
"Kalau begitu, aku yang akan mengantarmu pulang. Tidak ada penolakan!" tegas Andre saat melihat Sariel yang ingin membuka mulutnya.
Seulas senyum terbit dibibir wanita itu. Ia mengikuti langkah Andre menuju kearah mobil milik Andre yang sudah terparkir didepan lobi. Tanpa tahu ada tatapan yang menusuk dibelakangnya.
Sariel duduk tenang didalam mobil yang baru tertutup tersebut. Matanya bergerak keluar saat mendengar keributan. Suara yang tak asing di pendengarannya tampak berteriak dengan nada marah.
Matanya membola saat menatap Leni yang berteriak-teriak tak jelas dan ditahan oleh beberapa orang satpam di kanan kirinya. Entah masalah apalagi yang dibuat oleh wanita itu hingga menarik perhatian beberapa orang yang berlalu lalang disana.
Begitupun dengan Andre yang berdiri tepat dihadapan Leni, tampak frustasi saat menghadapi omelan wanita itu yang bagaikan kereta api panjangnya. Sesekali wajahnya tampak mengeras karena marah dan menahannya.
Sariel mencoba keluar untuk memastikan apa yang baru saja terjadi. Dan ia menyesal sudah mengambil keputusan disaat semua mata tertuju padanya.
"Dia! dia wanita yang sudah merebut suami saya. Dia pelakor!" Leni berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearah dirinya. Membuat Sariel syok mendengarnya.
"Saya sedang hamil sekarang, wanita itu justru mengganggu hubungan kami!" Lagi, Leni kembali berteriak untuk kesekian kalinya. Sariel semakin bungkam menatap Andre yang semakin frustasi dibuatnya.
Suasana tampak kacau, beberapa pengunjung mulai menatap Sariel dengan tatapan mengejek dan mencemooh. Seketika membuat nyali Sariel tampak menciut. Ia takut massa akan mengamuk dirinya. Tangannya terlihat gemetaran ingin sekali ia menampar mulut lancang Leni. Tapi tak mungkin ia lakukan disini. Tentu saja ia akan semakin dicemooh dan dicela karena sudah menampar wanita hamil, begitu yang mereka pikir.
"Stop!" Andre berteriak keras hingga kicauan tampak senyap seketika. Lelaki itu bergerak mendekat kearah Leni yang terkejut sekaligus dengan wajah pias. Ada sebulir airmata jatuh dipipinya, seolah menyatakan kalau dirinya benar-benar wanita yang tersakiti.
"Leni! Hentikan sandiwaramu ini!" mata Andre tampak berkilat marah. Ia melirik sebentar kearah Sariel yang masih terlihat gemetaran.
"Sejak kapan aku menikah denganmu!? Dan sejak kapan aku menghamilimu!?"
Leni menunduk sambil mempermainkan tangannya. Ia bergerak dengan pelan sambil meraih tangan Andre yang bergerak bebas. Tetapi secepat kilat lelaki itu menepisnya.
"Apa maksudmu menyatakan kalau anak yang ada didalam kandunganmu itu adalah anakku?"
Napas Andre tampak memburu. Beberapa kali ia menahan diri untuk tidak menyakiti Leni yang sudah mencoreng nama baiknya.
"Kamu salah besar, Leni dengan pernyatanmu itu!" Andre berdesis dengan wajah merah padam menahan marah.
"Karena aku sama sekali tak pernah menyentuhmu!"
Nada rendah suara Andre membuat bulu kuduk meremang mendengarnya. Jemarinya tergenggam erat dan tampak memutih. Jelas Andre sedang menahan diri untuk tidak berlaku kasar pada wanita yang sedang memfitnah dirinya.
Wanita itu benar-benar terisak, beberapa kali pandangannya mengarah pada Sariel. Tatapan itu jelas bukan tatapan sedih yang sebenarnya tetapi ia sedang mempermainkan Sariel sekarang. Ada tatapan angkuh didalamnya.
"Sayang! Kamu tega bicara seperti itu. Padahal ini memang benar anak kamu. Apakah kamu lupa kalau kita pernah memadu kasih beberapa bulan yang lalu," sahut Leni terdengar lemah. Jelas disini ia seperti wanita yang benar-benar tersakiti.
"Dan aku tahu kalau itu adalah kesalahan yang kita lakukan tanpa sengaja. Tapi, tolong jangan kamu anggap aku semurah itu."
Leni menyeka air matanya yang tampak membanjir.
"Haruskah kamu mengkhianati pernikahan kita walaupun kamu tidak mencintaiku. Tapi setidaknya sayangi anak yang ada di kandunganku ini. Dia adalah darah dagingmu juga."
Sariel mendengkus saat melihat akting Leni. Ia pantas memainkan drama perselingkuhan rumah tangga ataupun istri yang tersakiti yang selalu tayang di televisi.
"Cukup Leni! Aku tidak pernah melakukan apapun denganmu apalagi menikahimu!" Andre kembali berdesis marah. Jelas ia marah, tatapan beberapa orang tampak mencemoohnya, tatapan benci dan tak suka.
"Ikut aku!" hardik Andre saat sudah tak dapat lagi menahan sabarnya. Ia menarik Leni menuju kearah mobilnya dan membiarkan Sariel menjauh dari mereka. Ia tak ingin Sariel tersakiti lebih jauh lagi karena ulah wanita ular ini.
Beberapa kali Andre memukul stir mobilnya keras diiringi dengan erangan yang keluar dari mulutnya. Ada rasa marah karena ia tak bisa bercengkrama dengan Sariel lebih lama lagi.
***