Beberapa hari belakangan ini Arya terlihat lembur kerja di kantornya. Keadaannya sudah membaik seperti sediakala. Bahkan ia kerap melupakan makan malamnya. Hanya sesekali ia ditemani secangkir kopi yang sudah dingin.
Disamping kanannya berdiri asisten pribadinya, sedangkan tidak jauh didekat asistennya tersebut berdiri kepala rumah tangga yang selama ini bertugas mengurus favilium yang dihuni oleh Sariel.
Padahal sebelumnya, lelaki itu bertugas mengatur keuangan di rumah utama. Tetapi sejak Arya memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawab tersebut pada istrinya, lelaki tersebut di pindah tugaskan ke Favilium belakang.
"Jadi, kenapa semakin banyak pengeluaran bulan ini? Padahal Sariel sudah keluar dari kediaman kita?"
Arya membanting pelan berkas laporan ke atas meja kerja miliknya. Tangannya bergerak memijat kepalanya yang nyatanya terasa sangat pusing.
Bagaimana tidak pusing, bahkan keuangan mereka selama sebulan ini semakin menipis. Ditambah dengan perusahaan mereka yang hampir bangkrut karena sudah di tipu oleh orang lain. Begitupun dengan pengeluaran rumah tangga yang semakin membengkak. Dan ditambah dengan pihak keluarga Sarmawan yang memutus kerjasamanya secara sepihak. Seandainya kedepannya sama sekali tak dapat bantuan dari perusahaan lain, maka perusahaannya akan benar-benar colaps.
Begitupun dengan Leni. Wanita muda tersebut yang mampu dilakukannya hanyalah belanja, belanja dan belanja. Bahkan wanita itu kerap membuat pesta di tempat lain. Tagihannya begitu saja masuk ke rekening milik Arya. Dengan nominal yang cukup fantastik. Hingga tagihan bertambah membengkak setiap bulannya.
Padahal lelaki tua tersebut mengingat betul ucapan Rohana selama ini. Kalau jatah bulanan Sariel bertambah 3 kali lipat dari biasanya karena wanita itu sangat suka membeli bibit tanaman dan juga benih tanaman.
Lantas Arya membiarkannya begitu saja, toh wanita itu tidak pernah mendapat perhatiannya sedikitpun. Setidaknya dengan memberikan sedikit materi maka mampu membuat rasa bersalahnya berkurang pada wanita yang sempat dicintainya dulu.
"Berdasarkan laporan dari tagihan rekening bulan ini. Nyonya lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli beberapa perhiasan yang bernilai tinggi. Bahkan beberapa hari yang lalu, Nyonya juga mengoleksi sebuah anting yang bernilai milyaran."
Arya mendesah mendengarnya, mengusap wajahnya pelan. Ia tahu betul kalau Rohana memang terbiasa dengan gaya mewah dan perhiasan mahalnya.
"Lalu, bagaimana dengan pengeluaran di Favilium Barat? Apakah selama beberapa bulan belakangan ini pengeluaran justru membengkak disana?" Arya beralih menatap Roby yang berdiri tepat didepannya.
"Maaf Tuan. Selama beberapa bulan belakangan. Pengeluaran di favilium Barat sama sekali tidak menggunakan uang milik keluarga Tuan. Bahkan Nyonya Rohana selama ini terus memotong uang bulanan nona Sariel hingga tinggal hanya seperempat dari jumlahnya."
Arya terhenyak mendengarnya, ia menatap Roby penuh selidik.
"Lalu, darimana uang-uang itu berasal kalau bukan dari keuangan keluarga. Bukankah selama ini pengeluaran di Favilium Barat hampir separuh dari pengeluaran di rumah utama."
"Sekali lagi maafkan saya Tuan karena selama ini tidak memberitahukannya lebih awal pada Tuan."
Arya mengangkat kepalanya menatap Roby yang sedikit merasa bersalah. Lelaki itu tetap menundukkan kepalanya. Rasa bersalahnya semakin bertambah saat ia memberitahukan hal itu pada Arya. Ia sudah melanggar janjinya pada Sariel untuk tidak memberitahukan semua itu pada ayahnya.
"Uang yang di pakai untuk favilium barat adalah milik nona Sariel. Beliau mendapat uang dari penjualan buah-buahan milik beliau. Bahkan beliau banyak mempekerjakan kaum buruh yang sangat miskin hingga hidup mereka sudah mulai berkecukupan."
Arya tercengang, ia sama sekali tidak tahu mengenai itu. Ia hanya tahu kalau Sariel bekerja sebagai tukang kebun, itupun hasil laporan dari Leni sebelum ia melihat jelas saat Sariel mengambil pekerjaan di cafe milik Salim. Dipikirnya kalau Sariel bekerja karena memang uang yang diberikannya tidaklah cukup, tapi nyatanya wanita muda tersebut sudah mampu membuat peluang usaha untuknya sendiri dan memberikan beberapa pengangguran pekerjaan.
"Apakah penghasilannya sebanyak itu hingga mampu mengubah hidup para buruhnya yang miskin?" sahutnya tak percaya.
Roby tersenyum mendengar pertanyaan tuannya, ia yakin kalau Arya mulai tertarik dengan kehidupan Sariel.
"Tentu saja penghasilan Nona Sariel tidak dapat dibandingkan dengan penghasilan yang tuan miliki. Tapi, Nona Sariel mampu membuat peluang kerja untuk 100 orang pekerja."
Arya kembali terperangah mendengarnya, usaha yang dijalankan oleh Sariel tidak bisa dikatakan usaha kecil. Memang ia tidak pernah tahu menahu mengenai kegiatan wanita itu. Ia pikir kalau Sariel hanyalah mampu menghabiskan uangnya saja dengan membeli banyak pohon sekedar menyalurkan hobinya.
"Bagaimana kamu bisa tahu dan seyakin itu?"
Roby kembali mengulas senyum tipisnya. Mungkin saja dengan hal ini maka cinta Arya pada Sariel akan bertambah dan penyesalan Arya setelah mengusir Sariel dari kediaman mereka akan ada.
"Tentu saja. Nona memiliki 27 hektar kebun kelapa sawit. Dan memiliki 20 hektar kebun jeruk ditambah dengan 15 hektar kebun buah campuran. Seperti lengking, rambutan, mangga dan juga kelapa," jelas Roby. Matanya bergerak menatap Arya yang terlihat kembali terperangah. Lelaki paruh baya tersebut kembali mengusap wajahnya. Ia tampak sedikit termangu.
"Baiklah. Kamu boleh keluar sekarang!" perintahnya pada Roby yang segera mengikuti perintah tuannya.
***
Selepas kepergian Roby, Arya berusaha memejamkan matanya sambil bersandar dikursi kebesarannya. Ucapan Roby barusan terlalu jelas terngiang-ngiang di telinganya. Fakta yang selama ini tak diketahuinya sama sekali mengenai Sariel.
"Tuan. Apakah Tuan masih menyimpan dendam pada Nyonya Irina?"
Hening. Arya hanya duduk diam menatap kearah luar jendela. Secangkir kopi yang masih mengepul tergenggam di tangan kanannya.
"Karena, saya rasa nona Sariel tidak tepat menjadi pelampiasan kemarahan tuan. Nona tidak tahu apa-apa tentang masa lalu kalian berdua."
Arya berpaling menatap Dimitri dengan tatapan dingin, bibirnya tersenyum miring mendengarnya.
"Kamu hanya tidak tahu saja kalau pengkhiatan Irina membuahkan hasil."
Dimitri diam mendengarnya, memperhatikan Arya yang menghirup kopi tersebut dengan perlahan. Terlihat jelas lelaki itu mengernyit saat merasakan pahitnya kopi, tetapi ia tetap menikmatinya juga. Sama persis seperti hidupnya yang pahit tetapi tetap dijalaninya juga.
"Sariel... Bukanlah putri kandungku!" Arya berdesis dengan senyum miringnya.
Dimitri diam masih memperhatikan Tuannya yang terlihat sedikit gila. Ia memang sangat mencintai Irina. Bahkan demi wanita itu ia rela meninggalkan semua keluarganya yang tidak mendukung pernikahan mereka. Tetapi rasa cinta Arya berubah setelah melihat Irina di malam itu. Dan nyatanya setelah itu, Irina dinyatakan hamil oleh Dokter.
"Masih beruntung aku mau membesarkan anak selingkuhan istriku. Dan memberinya materi seperti anak kandung sendiri. Hanya karena wajahnya sangat mirip dengan Irina, itulah alasannya aku mempertahankannya. Hanya itu saja kenangan yang mampu kusimpan untuk mengenang wanita yang teramat aku cintai dulu. Padahal nyatanya aku sangat sakit saat melihat wanita itu ternyata adalah buah hasil perselingkuhannya dengan lelaki lain."
Arya menahan rasa sedih bercampur rasa marah yang ia rasakan. Percuma ia mengenang masa lalu, toh semuanya juga tidak akan mampu memperbaiki keadaan.
"Tapi Tuan. Saya masih ingat betul dengan kejadian malam itu. Tidak ada apapun yang terjadi dengan mereka. Nyatanya saya berada disana."
Arya menatap Dimitri dengan tajam. Cangkir yang dipegangnya dibuang begitu saja olehnya hingga menimbulkan bunyi gelas pecah yang berserak. Dimirti hanya mampu menutup matanya sejenak, ia bersalah karena sudah membangunkan singa yang sudah lama tidur.
"Kamu ingin membelanya, Dimitri!?" Desisnya pelan dengan wajah merahnya.
Dimitri menggeleng. "Apa yang saya katakan itu benar tuan. Tuan hanya salah paham saja mengenai situasi malam itu. Ditambah dengan..."
Dimitri diam tidak meneruskan ucapannya.
"Ditambah dengan apa?" Desak Arya yang sudah berdiri sangat dekat dengan jarak lelaki kepercayaannya tersebut. Tangannya sudah bergerak mencengkram kemeja yang dikenakan oleh Dimitri, orang kepercayaannya. Matanya menatap Dimitri penuh selidik. Adakah sesuatu yang belum ia ketahui mengenai kejadian silam. Dan apakah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dan rencanakan.
***