"Tentu saja aku bicara mengenai usahamu untuk menarik hati gadis tersebut," sahut Arkan sumringah.
"Dan kamu harus belajar dari ahlinya seperti aku. Aku sudah sangat banyak memikat hati wanita," tambahnya membanggakan dirinya.
"Bukannya kamu ingin kekantormu. Hari ini sedang ada rapat, bukan?" peringat Gabio sembari melirik kearah jam yang ada dipergelangan tangannya. Ia tidak menggubris ucapan Arkan yang melantur sama sekali.
"Tinggal 20 menit lagi rapat di kantormu akan dimulai. Kalau kamu hanya mengoceh disini maka kamu akan terlambat."
"Tenang saja. Aku tidak akan terlambat seperti katamu. Aku mampu memacu mobilku dengan kencang. Lagipula jarak kantorku dan kantormu hanya memakan waktu 10 menit."
"Memakan waktu sepuluh menit?" Gabio menatap sinis sahabatnya. "Bagaimana dengan jalanan saat lampu merah menyala? Berapa detik kamu akan membuang waktumu disana dan bagaimana dengan laju mobilmu saat berada di tengah keramaian? Berapa waktu yang terbuang saat laju kendaraanmu tidak stabil dan saat angin bertiup cukup kencang. Dan juga...."
"Baiklah-baiklah. Cukup! Aku akan berangkat sekarang juga," sahut Arkan sembari mengangkat kedua tangannya menyuruh Gabio untuk berhenti mengoceh. Bisa-bisa kupingnya akan lepas mendengar ocehan Gabio yang melebihi ocehan wanita saat tidak mendapat jatah. Ia tahu apa yang akan di ucapkan oleh Gabio selanjutnya. Lelaki itu sangat menghargai waktu dan akan terus mengoceh sampai ia keluar dari ruangan tersebut.
Arkan beranjak dari duduknya dan kembali meraih cangkir kopi yang sudah diteguknya sekali.
"Sayang mubazir kalau tidak dihabiskan," sahutnya sambil kembali meneguk kopi tersebut hingga habis. Matanya melirik kearah Gabio yang masih menatapnya tajam.
"Bung! Jangan menatapku seperti itu, para wanita pasti akan ketakutan saat melihatnya!" Arkan meneruskan langkahnya meninggalkan Gabio dengan seulas senyum senang yang tercetak dibibirnya.
Setelah kepergian Arkan, Gabio kembali berpikir mengenai Sariel. Bahkan pagi tadi saja Bello terus merongrongnya untuk meminta bertemu dengan wanita tersebut. Bukannya Gabio tidak ingin mengabulkan keinginan Bello tetapi ia memikirkan dampak kedepannya mengenai Bello yang terus bergantung dengan orang asing tersebut.
Tok tok tok
"Masuk!"
Rini masuk kedalam ruangan bersama dengan Roni. Ditangan Roni terdapat beberapa berkas. Ia menyerahkannya pada Gabio.
"Ini berkas yang Tuan inginkan beberapa waktu yang lalu. Semuanya ada disini dan juga, wanita yang sedang Tuan cari identitasnya tersebut juga sudah mengirimkan lamaran pekerjaan di perusahaan ini. Dan sepertinya juga sudah cukup lama."
"Apakah dia sudah mendapatkan balasannya?" Gabio meraih berkas tersebut. Menyusunnya satu persatu di atas mejanya.
Tangannya bergerak meraih berkas milik Sariel yang sudah dikirim dua bulan yang lalu namun tidak mendapatkan balasan sama sekali.
"Bagian HRD bilang mereka belum memutuskannya."
Gabio mengangkat kepalanya menatap Roni yang berdiri didepannya.
"Kenapa?"
"Bukannya Tuan sendiri yang ingin merekrut salah satu diantaranya sebagai karyawan kantor disini. Jadi, bagian HRD masih menunggu keputusan yang akan Tuan putuskan."
Gabio mengangguk dan terus membuka berkas lamaran pekerjaan milik Sariel. Ia mengusir kedua sekretarisnya dengan melambaikan tangan kanannya.
Gabio mendesah pelan sembari mengusap wajahnya pelan. Meletakkan kembali berkas tersebut. Ia kembali mengingat hal konyol yang dilakukan wanita tersebut. Kemudian menggeleng beberapa kali.
Gabio memang meminta informasi mengenai Sariel pada Roni, tetapi sepertinya semua data yang berkenaan dengan wanita itu sangatlah sulit dicari. Entah ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya ataukah memang wanita itu sendiri yang tidak ingin memperlihatkan data informasinya mengenai dirinya sendiri.
"Bagaimana mungkin aku mempekerjakan wanita gila seperti dirinya," gerutunya sembari membuang berkas milik Sariel ketempat sampah.
Gabio meneruskan pekerjaannya dan membuka berkas lamaran kerja yang lainnya. Ia benar-benar salah memperkirakan sesuatu hingga lupa untuk menyeleksi para pelamar kerja.
***
Pagi harinya, Sariel sudah membayar lunas semua biaya pembelian apartemen tersebut. Bahkan ia sudah menerima kunci dan fotocopy surat kepemilikan tanah. Sesuai dengan janjinya, Awi akan menyerahkan surat kepemilikan yang asli tersebut bersamaan dengan surat jual beli apartemen setelah 3 hari kemudian.
Setelah selesai urusan dengan Awi. Sariel bergegas menuju kearah perusahaan K yang ingin melakukan interview dengannya. Sariel tampak tergesa saat melihat jam dipergelangan tangannya. Ia hampir terlambat. Bergegas berlari menuju kearah resepsionis untuk menanyakan ruang diadakannya interview.
Sariel kemudian berjalan cepat kearah lift setelah mendapatkan arahan dari resepsionis. Tetapi sialnya, lift sedang dalam perbaikan.
Dengan cepat Sariel berlari kearah tangga darurat untuk mencapai lantai 5. Napasnya tampak tersengal-sengal dan ngos-ngosan tidak beraturan begitu ia sampai di lantai 5. Matanya bergerak mencari ruangan HDR. Lorong tampak sepi, tidak ada karyawan yang bisa ia tanyai.
Saat ia menemukan ruangan tersebut, ada secercah harapan di wajahnya. Beberapa kali ia mengulas senyum simpelnya.
Sedangkan didalam ruangan tersebut sudah duduk Gabio yang terlihat gelisah. Sesekali lelaki itu memperhatikan jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Beberapa karyawan staf HRD tampak diam. Mereka tak berani menolak saat Gabio sendiri yang meminta untuk melakukan wawancara dengan Sariel.
Lelaki itu baru mengetahui kalau Sariel pernah mengirimkan berkas ke perusahaan miliknya setelah beberapa bulan yang lalu. Ia lupa meminta pada bagian HRD untuk memeriksa bagian tersebut karena terlalu sibuk membenahi proyek yang baru berjalan.
Tok tok tok
Masuk!" Perintahnya dengan dingin begitu pintu terbuka dan memperlihatkan wajah Sariel yang tampak basah karena dibanjiri oleh keringat.
"Maafkan saya__"
Belum sempat Sariel menyelesaikan ucapannya, Gabio sudah berdiri dengan wajah dinginnya. Beberapa karyawan meneguk ludahnya kasar.
"Jadi begini calon karyawan yang ingin kalian rekrut!?"
Sariel mengangkat wajahnya merasa tak asing dengan suara yang ia dengar barusan. Tadi, saat memasuki ruangan ia memang tak jelas memperhatikan mereka satu persatu.
Matanya membola begitu bersinggungan dengan mata Gabio yang menatapnya tajam.
"Sangat tidak menghargai waktu!" tambahnya ketus.
"Tapi, tuan. Saya terlambat hanya 7 detik saja, dan itu masih bisa ditoleler bukan?" sahut Sariel dengan wajah pias dan suara yang menderu lelah. Senyumnya seketika langsung luntur. Ia yakin lelaki didepannya tersebut pasti sedang mempermainkannya.
"Tujuh detik katamu. Bagaimana kalau setiap hari kamu terlambat. Hitung saja tujuh detik dikali 90 hari masa trainingmu. Apakah masih bisa dikatakan tidak terlambat. Dan apakah masih bisa ditoleler!"
Sariel tampak kesal mendengarnya, menggenggam tangannya erat menahan emosi yang siap membludak. Lelaki didepannya ini sangat perhitungan sekali. Andai saja ini bukan interview kerja yang ia inginkan, sudah pasti ia akan menampar mulut lelaki yang selalu berkata pedas terhadapnya tersebut.
"Bagaimana? Apakah kamu sudah menghitungnya, Nona?"
Sariel menggeleng pelan, tatapannya perlahan menunduk. Lelaki didepannya ini benar-benar menyebalkan. Mana mungkin ia akan terlambat setiap hari seperti sekarang. Perhitungan lelaki ini terlalu jauh.
"Bagaimana mungkin kamu tidak menghitungnya. Hal sekecil itu pun kamu tidak mampu menghitungnya. Bagaimana bisa kamu bekerja ditempat saya kalau kamu tidak teliti dalam hal sekecil ini."
Gabio mendengus tak suka, matanya bergerak memperhatikan para pegawai yang semakin bungkam dan takut.
"Saya tidak memerlukan karyawan seperti Anda. Jadi, silahkan angkat kaki Anda dari sini!" Usir Gabio membuat Sariel terhenyak mendengarnya. Rasa kesal Sariel bertambah, entah ada dendam apa lelaki itu padanya hingga memperlakukan dirinya sekadar ini. Ia meninggalkan ruangan tersebut tanpa sepatah katapun dengan wajah kesal berlipat-lipat.
Ingin rasanya ia mengumpat sepanjang lorong perusahaan yang dilewatinya. Entah karena apa dia merasa selalu sial setiap kali bertemu Gabio.
"Benar-benar menyebalkan!" umpatnya saat berjalan menyusuri jalanan yang tampak ramai setelah ia memutuskan untuk berjalan kaki sebentar.
***