Sariel duduk disebuah cafe sambil menatap ke sekelilingnya. Dia sedang menunggu seseorang yang membuat janji dengannya. Beberapa kali ia melirik kearah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari 35 menit ia menunggu lelaki tersebut. Tetapi hingga kini tidak terlihat batang hidungnya. Lelaki yang tempo hari menawarkan sebuah apartemen dengan harga yang cukup murah padanya.
"Sariel!"
Awi melambaikan tangannya, berlari cepat menghampiri Sariel yang sudah menunggu dirinya cukup lama. Duduk dihadapan Sariel sambil meletakkan tas miliknya. Lelaki tersebut menatap Sariel dengan senang, tanpa rasa bersalah sedikitpun karena keterlambatannya, sembari mengumbar senyum lebarnya. Lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas miliknya.
"Ini kunci apartemen yang akan kamu tempati. Dan ini adalah fotocopy surat tanda kepemilikan apartemen tersebut kalau rumah tersebut benar-benar akan kamu beli. Dan tentu saja sebentar lagi akan resmi menjadi milikmu. Aku akan mengurus surat resmi jual beli apartemen tersebut untukmu setelah 3 hari."
Sariel mengangguk, ia yakin kalau kali ini ia sedang sangat beruntung sudah mendapatkan sebuah apartemen elit dengan harga murah.
"Bagaimana? Apakah kamu ingin membayar lunas semuanya hari ini?" Awi kembali tersenyum manis untuk kesekian kalinya.
"Bagaimana kalau harganya kakak kurangi lagi sedikit. Bagaimanapun, sepertinya uangku masih kurang sedikit."
Awi mendesah, mengambil nafas panjang. Sejenak ia diam sambil menatap ke sekelilingnya. Ia tampak berpikir selama sekian detik lamanya. Kemudian kembali menatap Sariel yang terlihat penuh harap.
"Bagaimana ya? Sepertinya harga yang saya tawarkan sudah terbilang sangat murah," sahutnya sedikit keberatan.
"Kenapa tidak ditimbang terlebih dahulu. Hanya kurang sedikit saja," pinta Sariel lagi.
"Adik, bagaimana kalau adik sendiri yang bertanya tentang harga rumah seperti ini ditempat lain. Tentu saja harga yang kakak tawarkan ini sangatlah murah. Berhubung adik adalah wanita yang cukup kakak kenal. Dan lagi, kesempatan ini tidak akan datang dua kali." Awi melirik sekilas. Ia berharap Sariel mampu untuk dibujuk hari ini.
"Apalagi sekarang adik terlihat sangat kesulitan mencari rumah hunian. Tentu saja kakak yang baik hati ini menolong adik."
Sariel kembali berpikir, ia memejamkan matanya sejenak. Kalau ia membeli apartemen tersebut dengan harga yang disebutkan maka keuangannya benar-benar akan menipis. Bahkan ia harus bekerja kembali dengan sangat tekun. Tapi, kalau ia menolak maka ia tidak punya tempat untuk bernaung bersama Wina.
"Ayolah kakak. Kurangi sedikit lagi harganya. Jangan kakak mengambil kesempatan dalam kesempitan saya," bujuk Sariel.
Awi menggeleng tegas, menolak permintaan Sariel.
"Hanya dengan saya ada promo semurah itu. Ditempat lain, bahkan kamu tidak akan mendapatkan harga separuh dari itu. Bagaimana, Dik?" desaknya.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Ambillah kesempatan ini," bujuknya sekali lagi.
Pada akhirnya setelah menimbang cukup lama, Sariel mengangguk juga. Ia memutuskan untuk membeli rumah temannya Awi yang ditawarkan oleh lelaki didepannya tersebut. Temannya sudah pindah keluar negri karena pekerjaan yang mengharuskannya berada disana.
"Baiklah. Saya akan membelinya dengan harga yang sudah kita sepakati. Besok sore saya akan menyerahkan uangnya pada kakak. Ditempat yang sama, disini. Dan jangan lupa, bawa surat menyurat apartemennya."
"Ah... baiklah. Itu keputusan yang sangat bagus. Besok saya akan tiba terlebih dahulu dan tidak akan membuat adik menunggu lama seperti tadi."
"Tidak apa-apa. Kebetulan saya juga sedang santai hari ini." Sariel beranjak dari tempat duduknya. Melambai pada pelayan kafe. Ia menyerahkan selembar uang seratusan.
"Kalau begitu saya permisi dulu, kak. Sampai jumpa besok."
"Sampai jumpa."
***
Sariel kembali kekediaman Wina. Untuk beberapa hari kedepannya ia akan tetap tinggal untuk sementara di tempat keluarga Wina. Walaupun sederhana, tetapi keluarga mereka sangat baik dan ramah. Menerima Sariel dengan baik, walaupun wanita tersebut sedang dalam kesusahan.
"Nona. Bagaimana? Apakah Nona sudah mendapatkan rumah yang Nona inginkan?"
Sambut Wina begitu Sariel masuk kedalam rumah mungil tersebut. Wina langsung menyodorkan secangkir teh di tangannya. Bahkan wanita itu masih menganggapnya sebagai majikan walaupun sekarang Sariel tidak berada di keluarga besarnya lagi.
"Wina. Jangan panggil aku Nona. Panggil Sariel saja. Rasanya tak pantas kamu memanggilku seperti itu."
"Ah Nona ada-ada saja. Bagaimanapun keadaannya, nona tetaplah majikan saya. Keluarga saya banyak berhutang budi atas bantuan yang selalu Nona berikan selama ini."
Sariel meneguk teh rasa pandan yang ada ditangannya, mengernyit saat merasakan rasa teh yang berbeda dari biasanya.
"Rasa tehnya agak berbeda."
Wina langsung tertawa, mendudukkan dirinya tidak jauh dari Sariel berada. Ada rasa senang dibenaknya saat melihat Sariel yang terlihat mulai bersemangat setelah sempat cahayanya meredup.
"Tentu saja beda, Nona. Air rebusannya saya tambahkan sedikit daun pandan."
Sariel mengangguk dan kembali menghirup teh yang ada ditangannya.
"Lalu, pertanyaan saya yang pertama tadi bagaimana? Apa jawabannya?"
Sariel melirik sebentar sambil memgernyit, kemudian meletakkan cangkir teh ditangannya yang sudah kosong.
"Oh itu. Aku sudah mendapatkannya. Kebetulan harga rumahnya juga cukup murah walaupun sebenarnya juga cukup menguras uang dikantong."
Wina tersenyum lega mendengarnya.
"Syukurlah kalau begitu."
"Besok aku akan membayar lunas rumah tersebut. Dan kamu bisa ikut denganku sebagai saksi."
"Siap, Nona," sahutnya sembari meletakkan tangannya di kening, seperti menghormat. "Sebaiknya Nona mandi dan kita makan malam bersama."
"Baiklah. Tolong kamu atur jadwalku besok untuk meninjau kebun yang ada di kota Marabahan. Agar tidak berbenturan dengan janjiku untuk membayar rumah tersebut."
"Siap, Nona."
Wina diam sebentar tampak berpikir. Ia seperti melupakan sesuatu.
"Em saya lupa memberitahu pada Nona mengenai balasan berkas pekerjaan yang dikirimkan Nona ke perusahaan K. Mereka meminta Nona untuk melakukan interview besok siang!"
"Benarkah!?" Sariel menatap setengah tak percaya pada Wina yang mengangguk beberapa kali. Ingatannya kembali pada email yang dikirim oleh orang yang mengaku sebagai CEO perusahaan K. Ia yakin penawaran pekerjaan waktu itu memang dalih sebagai bentuk penipuan.
Tetapi ia juga merasa sangat heran kenapa mesti selama itu menunggu jawabannya. Bahkan Sariel pun hampir lupa kalau ia pernah melamar pekerjaan disana.
"Tentu saja, Nona. Nona memang beruntung kali ini."
"Baiklah. Kalau begitu, kita akan meninjau kebun setelah interview selesai."
***
Gabio terlihat sibuk menyibak semua berkas yang ada dihadapannya. Sesekali matanya bergerak menatap kearah jendela Paris yang membentang lebar didepannya. Kacamata yang bertengger di wajahnya dilepas secara perlahan. Ia mengusap matanya pelan. Bayangan wajah Sariel saat membujuk anaknya yang berteriak histeris tanpa seorang pun mampu membujuknya melintas dibenaknya. Beberapa kali ia mengetukkan jari telunjuknya kearah meja hingga menimbulkan ketukan yang berirama.
Tiba-tiba pintu ruangannya dibuka dengan kencang. Arkan berjalan tergesa kearahnya dan langsung duduk dihadapannya. Lelaki itu seketika langsung meraih kopi yang tergeletak di atas meja milik Gabio. Langsung meneguknya tanpa meminta izin pada pemiliknya terlebih dahulu. Gabio hanya menatap sahabatnya tersebut dengan dingin dan tajam.
Arkan kembali bertingkah tidak sopan dengan mengangkat kaki kanannya ke atas meja milik Gabio dan tepat berada dihadapan lelaki tersebut, menggoyangkan dengan berirama. Gabio terlihat diam dan menggelengkan kepalanya samar dengan wajah yang terlihat semakin dingin.
"Turunkan kakimu!" Perintahnya masih menatap Arkan dengan tatapan menusuk. Tetapi Arkan justru terlihat santai, wajahnya cengar-cengir menanggapinya sambil menurunkan kakinya kembali seperti semula.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Apakah mengenai wanita itu?"
Gabio melirik sahabatnya yang bersikap santai bahkan lelaki itu sejak tadi mengoceh tak jelas.
"Bagaimana rasanya, apakah kamu sudah mencobanya?" godanya kembali entah kemana arah pembicaraannya.
"Kamu ingin bicara apa padaku!?" tanya Gabio menusuk. Ia menghentikan pekerjaannya sejenak.
***