Chereads / Takdir Cinta Ceo Dingin / Chapter 15 - Aku Ingin Kita Putus

Chapter 15 - Aku Ingin Kita Putus

Sariel tampak geram mendengarnya, menggigit bibirnya kuat menahan amarahnya yang hampir meledak. Bisa-bisanya lelaki brengsek tersebut mengutarakan perasaannya terhadap wanita lain dihadapan tunangannya sendiri.

"Tapi aku masih mencintaimu!"

Sariel langsung berdiri dari posisi duduknya dengan wajah yang memerah karena marah. Berkacak pinggang dengan giginya yang terdengar gemelatuk.

"Apa kamu masih waras!" teriaknya dengan napas yang naik turun. Menarik napasnya keras mengisi pasokan dadanya dengan banyak udara.

"Jangan marah. Aku juga bingung dengan perasaanku," bujuk Evan masih terlihat santai.

"Dia mempermainkanku hingga sedalam ini. Apa yang kuharapkan darinya," Sariel membatin. Ia melirik tajam Evan.

"Pilih aku atau Sania!" Wajah Sariel sudah tampak menggelap. Bahkan tatapannya berubah lebih tajam.

"Sariel aku___," wajah lelaki itu kembali tampak memelas.

"Akh aku merasa bodoh dengan keputusannya. Lebih baik aku yang memutuskannya sendiri," putus Sariel di dalam hatinya.

"Aku ingin kita putus! Hubungan ini sudah tak ada artinya lagi bagiku!"

Evan terbeliak mendengarnya.

"Nona!" Sarah, pelayan mansion utama tiba-tiba datang dengan tergesa. Menghampiri Sariel yang terkejut sekaligus kesal melihat kedatangannya.

"Sarah. Kamu tidak lihat aku sedang ada tamu. Kenapa masuk secara tiba-tiba?"

Sarah menarik napasnya yang terlihat memburu. Ia menunduk dengan perasaan bersalah. "Maaf Nona. Nyonya sedang mencari nona dengan tergesa-gesa.

"Ibu? Ada apa?" Sariel terkejut mendengarnya, dahinya berkerut. Tak biasanya wanita yang selalu mencari masalah tersebut mencarinya disaat ada Evan seperti ini. Sariel yakin kalau wanita itu ingin menjebaknya kembali atau ia akan mendapatkan hukuman karena membatalkan pemesanan gaun hari ini. Perasaannya diliputi kekhawatiran. Ia yakin Leni sudah memberitahukan sesuatu yang terjadi hingga ibunya mencari dirinya.

"Katanya, tuan besar jatuh pingsan saat melakukan meeting di kantor!"

Sariel membola mendengar kabar yang selama ini tidak diketahuinya.

"Papa...," gumamnya pelan. Sariel segera berdiri dan berjalan dengan tergesa meninggalkan Evan yang terpaku ditempatnya. Wanita itu tak menghiraukan lagi keberadaannya. Ia bergegas segera menuju kearah rumah sakit yang ditempati oleh ayahnya.

Bukannya ia tak tahu kabar mengenai ayahnya selama ini. Sariel hidup diasingkan oleh ayahnya karena ia bukanlah putri yang disayang. Ia hidup di favilium barat dan terpisah dari ayahnya yang hidup di mansion utama bersama anak dan istri yang disayanginya.

Namun saat ia melintasi mansion utama ia melihat ibu tirinya sedang menatap kearahnya. Wanita paruh baya tersebut seperti sedang menunggui dirinya.

"Ibu mencari saya?" Sariel berdiri menghadap ibunya yang duduk dihadapannya. Wanita tua tersebut tampak menghembuskan napasnya gusar.

"Seperti yang kamu dengar tadi bahwa ayahmu masuk rumah sakit. Penyakit yang diderita ayahmu cukup memprihatinkan. Dan ibu harus pergi selama beberapa hari untuk menjaganya, bergantian dengan para pelayan yang lainnya."

Wanita paruh baya tersebut benar-benar kelihatan lelah. Beberapa kali ia menghembuskan napasnya seiring dengan tangannya yang memijit pelipisnya.

"lalu... Saya harus apa?"

Rohana terlihat terkejut mendengarnya. Menatap Sariel yang terlihat tenang saja. Ibunya maklum melihat tidak ada kegelisahan sama sekali didalam diri Sariel karena sejak kecil ia memang diasingkan oleh ayahnya sendiri. Putri tirinya dibiarkan begitu saja diasuh oleh para babysitter bahkan pengawasan dilepaskan begitu saja. Putri tirinya besar tanpa merasakan kasih sayang orang tuanya bahkan ia yakin kalau putri tirinya tidak mengingat dengan jelas wajah ayahnya sendiri.

"Kamu tentu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan sebagai putri kandungnya. Tentu saja membahagiakan dirinya dengan melangsungkan pernikahanmu secepat mungkin walaupun dikeadaan yang tidak memungkinkan."

"Tapi ma..."

"Itu yang papamu inginkan, Sariel!"

Sariel menggenggam tangannya erat menahan amarahnya. Wanita didepannya ini benar-benar ingin menjebaknya. Mereka hanya berpikir soal harta dan kedudukan. Sariel yakin Rohana pasti paham dibalik batalnya pemesanan gaun hari ini.

"Aku akan menjenguk ayah sebentar!"

Wanita muda tersebut mengalihkan tatapannya. Tak ingin membahas sesuatu yang bakalan membuat hidupnya berantakan. Sariel bergerak meninggalkan Rohana yang menatapnya kesal.

***

Sariel berjalan di sepanjang lorong rumah sakit untuk mencari kamar yang ditempati oleh ayahnya. Ia mendengar dari pembicaraan kakak tirinya bersama seseorang ditelpon kalau pernikahannya akan dipercepat. Sariel yakin kalau setelah menikah maka ia tidak akan hidup bahagia bersama lelaki brengsek yang sudah menduakannya ditambah dengan perasaannya yang sama sekali tidak mencintai Evan.

Ia harus menemui lelaki paruh baya tersebut untuk meminta pembatalan pernikahan dirinya. Tetapi disisi lain, mampukah ia menambah beban pikiran ayah kandungnya sendiri dikeadaan dirinya yang juga sudah genting.

Saat langkah Sariel berjalan cepat, tanpa sengaja ia mendengar pekikan seorang anak kecil. Pekikan yang serupa dan biasa dilakukan oleh Bello. Ia berlari menyusuri lorong rumah sakit, mencari sumber suara.

Langkahnya langsung terhenti saat mendapati sebuah ruangan dokter fsikolog yang terbuka lebar. Beberapa orang dewasa didalamnya tampak berkerumun seperti sedang membujuk seseorang. Sariel yang penasaran pun ikut melongokkan kepalanya. Dan benar saja lelaki kecil tersebut adalah Bello.

"Permisi. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"

Sariel memperhatikan pengawal Bello, lelaki itu tampak asing dimatanya. Bukan lagi Dito tetapi orang lain yang baru dilihatnya.

"Halo sayang." Sariel mendekat kearah Bello saat pengawal tersebut menyibakkan dirinya. Wanita itu berjongkok tak ingin menyentuh Bello yang pasti akan menjerit lebih keras lagi.

"Ini kakak Sariel."

Bello dengan cepat mengangkat kepalanya dan menatap kearah Sariel. Ia segera meraih tangan Sariel dan bergerak langsung memeluk wanita tersebut.

"Bello jangan takut, ada kakak disini," bisiknya pelan. Dibalas anggukan oleh Bello.

"Nah. Bello pasti sekarang sedang bermain bersama ibu dokter bukan? Coba katakan permainan apa saja yang baru Bello lakukan?"

Bello bergerak melirik kearah pengawal yang berada dibelakang Sariel. Beralih menatap dokter wanita yang berdiri tepat dihadapan Sariel, sedang memasang ekspresi tersenyum manis.

"Nyonya. Bisa Anda membantu saya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bello?"

Wanita itu menatap Sariel penuh harap. Membuat Sariel mau tak mau ia mengangguk.

"Kalau begitu, silakan bawa anak Anda duduk disini."

"Tapi saya bukan i__"

"Sudah. Anda duduk saja Nona ditempat yang disuruh oleh dokter!" sahut Roni yang tiba-tiba datang.

Sariel menatap dengan ragu dokter fsikolog yang baru dilihatnya tersebut.

"Maaf, saya memang tidak biasa menangani Tuan Kecil Bello. Karena biasanya dokter Selvy yang menanganinya. Kebetulan beliau sedang ada pekerjaan keluar kota, karena itu saya yang akan menggantikan beliau untuk sementara waktu."

Sementara itu Roni yang berada dibelakang Sariel terus mengawasi Sariel dengan seksama. Lelaki yang biasanya menemani Gabio kemana saja tersebut terlihat senang karena kebetulan yang tidak sengaja. Ia juga ingat betul, perempuan inilah yang dulu juga pernah datang kekantor bersama Bello. Ia membiarkan saja dokter muda yang salah sangka tentang hubungan Sariel dan Gabio. Toh, ini kesempatannya untuk mencari tahu tentang wanita didepannya tersebut.

Selesai terapi, Sariel kembali mencari kamar yang ditempati oleh ayahnya. Bahkan Roni pun menawarkan diri untuk mengantarnya tetapi Sariel menolak dengan tegas hal tersebut.

Roni yang banyak akal tak mau kalah. Ia membiarkan saja Bello terus bergelayut meminta untuk ikut dengan Sariel. Dan pada akhirnya, Sariel mengalah dengan keadaan tersebut. Ia merasa malu karena diperhatikan banyak orang karena tingkah Bello yang terus merengek padanya.

***