Sariel sudah memasuki sebuah taksi tanpa tahu dibelakangnya Bello sedang mengejarnya. Lelaki kecil tersebut tampak tersungkur dengan wajah sedihnya menatap mobil yang ditumpangi Sariel yang semakin menjauh darinya.
Tak berselang lama Dito datang menghampirinya. Disusul dengan Gabio dengan wajah khawatirnya. Ia menatap Bello yang masih pada posisinya. Merasa sangat kasian dengan anaknya yang menginginkan kasih sayang seorang perempuan.
Gabio mulai berpikir sambil meraih Bello yang terlihat sangat sedih. Ia tak tega melihat mental anaknya semakin lemah. Gabio bergerak memasuki mobil yang diikuti oleh asistennya.
Selama didalam mobil, Gabio terus memikirkan keinginan anaknya. Ia tidak tahu harus berbuat apa sedangkan ia sama sekali belum mendapatkan informasi apapun mengenai wanita itu.
"Bello. Bagaimana kalau kita mampir di toko kue terlebih dulu? Mungkin saja ada kue yang Bello inginkan?"
Bello menggeleng cepat. Wajahnya masih tampak sangat murung bercampur cemberut. Membuat Gabio kembali mendesah. Tak biasanya Bello sangat sulit dihadapi. Ia memutar akalnya untuk membujuk Bello. Ia takut Bello akan melakukan hal nekat. Tetapi beberapa kali membujuknya pun tak membuahkan hasil.
Lelaki kecil tersebut tampak semakin acuh saat mereka tiba dikediaman mereka. Ia langsung berlari ke kamarnya sambil menelungkupkan dirinya di atas ranjang miliknya. Tangannya bergerak meraih gantungan kunci berbentuk buah jeruk tersebut. Menciuminya beberapa kali.
Gabio masuk perlahan mendekat kearah Bello tanpa menimbulkan suara. Ia semakin sedih saat melihat Bello yang tampak terpuruk. Ia bertekad akan melakukan sesuatu untuk anaknya.
"Bello, bagaimana kalau kita makan cemilan dulu. Bi Sani sudah membuatkan donat kesukaan Bello ditambah dengan taburan ceres yang banyak di atasnya."
Tangan Gabio bergerak menyibak selimut yang menutupi tubuh Bello. Lelaki kecil tersebut hanya melirik kearahnya. Ia sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Ia masih memperlihatkan wajah yang menggemaskan dengan ekspresi cemberut.
"Bagaimana kalau bi Sani saja yang membawakan kemari?"
Bello menggeleng, masih memeluk erat gantungan kunci berbentuk buah jeruk tersebut.
"Baiklah. Sampai kapan kamu akan berkonfrontasi denganku?" tegas Gabio.
Bello memayunkan bibirnya, tangannya terlipat didepan dadanya. Ia tampak kembali acuh.
"Lalu, Bello menginginkan apa?"
Walaupun merajuk, lelaki kecil tersebut segera duduk. Tangannya bergerak meraih papan tulis kecil yang tergeletak di atas nakas tempat tidurnya. Menyerahkannya pada Gabio.
Gabio memperhatikan gambar tersebut dengan seksama. Sebuah gambar berbentuk orang-orangan sawah dengan rambut yang di coret asal. Gabio mengernyit melihatnya. Hampir saja tawanya meledak saat melihat tulisan dibawahnya.
"Kakak cantik," gumamnya mengulum senyumnya. Melirik Bello yang tampak mengangguk antusias.
"Apa maksudmu dengan kakak cantik?"
Bello tersenyum sambil menunjuk-nunjuk dirinya sendiri.
"Kamu ingin bibi kerumah dan menjadi pengasuhmu?"
Bello langsung mengangguk dengan seulas senyum disertai dengan acungan jempol nya.
"Bello. Papa tidak bisa mengabulkan keinginan Bello. Bibi itu adalah orang lain bagi kita. Dia bukan barang seperti yang Bello inginkan."
Lelaki kecil tersebut kembali merajuk, bibirnya tampak mayun dengan ekspresi gemas. Gabio mendesah melihatnya. Benar-benar sulit membujuk Bello saat ia sudah memutuskan sesuatu.
"Papa ingin Bello meminta hal yang lain saja," tegas Gabio.
Lelaki kecil tersebut kembali menggeleng kuat. Ia meraih sebuah kartu miliknya dan menyerahkannya pada Gabio. Lelaki tersebut menerimanya.
(Aku menyukainya).
"Tapi..."
Bello langsung menggeleng kuat tak terima sanggahan Gabio. Ia mengambil sapu tangan sutra dari dalam tas miliknya. Ia menciumnya sebentar sebelum menyerahkannya pada Gabio. Tangannya bergerak menunjuk gambar yang dibuat olehnya tadi.
Gabio mengernyitkan dahinya sebentar, kemudian bergerak menatap Bello yang
tetap pada keinginannya. Membuat Gabio mendesah pasrah.
"Baiklah jika itu keinginan Bello. Papa akan berusaha untuk mendapatkan bibi itu untuk Bello."
Bello tampak kegirangan. Ia menatap Gabio dengan mata berbinar bahagia.
"Tapi ada syaratnya."
Bello diam mendengarkan Gabio, ia mengangguk beberapa kali.
"Bello tidak boleh kabur lagi dari paman Dito. Bello juga harus mau diajak kerumah sakit. Dan juga, Bello harus menurut apa kata papa."
Bello langsung mengangguk mendengar syarat tersebut. Ia bergerak memeluk Gabio yang langsung membekapnya.
Gabio mengusap kepala Bello dengan sayang. Ada rasa tercubit di sudut hatinya melihat Bello yang kehausan kasih sayang seorang ibu.
***
Sedangkan Sariel pulang dalam keadaan kesal dan mendumel dengan tidak jelas. Bagaimana mungkin ia tidak kesal kalau ingatannya masih menyisakan tuduhan Gabio padanya. Padahal dia sudah meluangkan waktunya untuk menolong Bello dan membujuknya agar mengikuti terapi sesuai yang diinginkan oleh pengawalnya tadi. Namun, nyatanya ia justru dituduh yang macam-macam tanpa mendapat ucapan terima kasih sama sekali.
Lain kali kalau ia bertemu dengan lelaki tersebut, ia tidak akan menghiraukannya sama sekali.
Sariel meraih sekop dan cangkul miliknya. Ia ingin menenangkan pikirannya dengan cara berkebun. Hanya itu satu-satunya cara agar hatinya mampu melupakan semua kekesalannya.
"Wina. Aku akan pergi ke kebun sawit milikku!" teriaknya dari arah pintu utama. Terdengar derap langkah kaki yang menapak keras, berlari cepat kearahnya.
"Nona sudah pulang?"
Sariel mengangguk sambil memperhatikan penampilan Wina yang sedikit berantakan. Bahkan dibahunya justru tersampir serbet makan.
"Tapi... Nona belum makan siang." Wanita itu tampak keberatan melihat Sariel yang sudah menahan cangkul di pundaknya.
"Tapi aku ingin melihat kebunku sebentar."
"Tapi tidak perlu membawa cangkul segala," sela Wina tidak setuju. Matanya menatap Sariel dengan perasaan cemas. Ia tahu betul apa yang dilakukan Sariel sekarang ini, kebiasaan yang selalu dilakukannya ketika banyak pikiran.
"Tidak papa Win. Hanya sebentar!"
Sariel tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Memberitahukan keadaannya tidak perlu dicemaskan. Ia beranjak meninggalkan Wina yang tampak gelisah sambil memeras sapu tangan yang nyatanya tidak basah.
"Tunggu saya, Nona!" teriaknya sambil berlari kearah dapur sebentar, kemudian ia kembali dengan melepas celemek yang dikenakannya tadi.
Saat mereka tiba didepan jalan kecil, tiba-tiba sebuah mobil Pajero Sport dengan warna hitam mengkilap berhenti tepat didepan mereka. Pintunya terbuka dan keluar seorang lelaki dengan penampilan luar biasa. Mengenakan jas mahal abu-abu dengan celana bahan kain juga berwarna senada dengan jasnya. Rambutnya yang lurus dan pendek tampak hitam mengkilap. Ia mengenakan kacamata hitam di wajahnya. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang seksi tampak menjadi pemandangan indah untuk dilihat.
"Sariel." Lelaki itu tersenyum sembari berjalan ingin merangkul Sariel. Tetapi Sariel langsung menghindar dan berdecih. Ia tak suka melihat keberadaan lelaki tersebut.
"Ada apa kamu kemari?"
Evan mendelik kearah Wina, memintanya untuk segera menjauh dengan kode mata yang diberikannya. Tetapi wanita itu tetap berdiri didekat Sariel.
"Aku hanya merindukanmu saja. Bagaiman kalau kita jalan-jalan malam ini?" ajak lelaki tersebut tanpa tau perasaan Sariel yang tiba-tiba berubah menjadi sangat tidak nyaman. Ingatannya kembali melayang pada kejadian yang dilihatnya di tepi jalan beberapa waktu yang lalu.
"Aku tidak mau. Apakah kamu tidak lihat aku sesibuk apa?" Sariel memperlihatkan cangkul yang tersampir di bahunya. Membuat Evan berdecak tidak suka.
"Kenapa kamu menolak ku, sayang? Aku hanya ingin bersamamu sebentar."
Sariel menggeleng membuat Evan kembali berdecak tidak suka.
"Sayang. Jangan seperti itu. Aku terluka karena kamu sepertinya tidak menganggap keberadaan ku di hatimu."
Evan tampak mendramatisir, membuat Sariel kembali berdecih didalam hati. Ia ingin muntah mendengar rayuan seorang buaya darat. Ia tahu laki-laki didepannya ini sedang berpura-pura agar dirinya mampu dibodohi. Nyatanya lelaki itu saat jauh darinya, justru bersenang-senang dengan wanita lain.
"Dengar ya Evan sayang," tangan Sariel bergerak membelai pipi tunangannya lembut. Kemudian ditepuknya pelan dengan senyum manis dibibirnya. Sebelum dilepaskan olehnya.
"Kenapa tidak bersenang-senang dengan wanita lain saja. Bukankah kamu sangat suka kalau berjalan berdua dengannya seperti tempo lalu."
Evan terkejut mendengarnya, namun sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa terkejut tersebut. Menatap penuh selidik wajah Sariel yang tidak seperti biasanya. Mungkinkah wanita ini tau semuanya. Ia terkekeh setelahnya.
"Rupanya ada yang cemburu," gumamnya masih terkekeh pelan.
Sariel menatap Evan penuh tanya.
"Sariel, wanita yang kamu maksud kemarin itu adalah sepupuku. Dia baru saja datang dari luar negri lusa lalu. Bagaimana mungkin aku menolaknya saat dia meminta untuk mengajak jalan."
Sariel berdecih didalam hati. Dipikir Evan dirinya tidak melihat wajah wanita yang tidak asing tersebut. Walaupun rambutnya diwarnai dengan warna pirang, tetap saja Sariel merasa familiar melihatnya.
"Dia memang agak manja kalau berhubungan denganku, makanya ia suka bergelayutan seperti itu."
Evan menatap Sariel yang masih diam.
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan mengenai kejadian tempo lalu. Lain kali akan aku perkenalkan dirimu dengannya, bagaimana?"
Sariel masih diam saja menatap Evan yang terus membujuknya. Kali ini ia benar-benar tak ingin lagi berurusan dengan lelaki playboy didepannya ini.
Dengan terpaksa Sariel mengajak Evan untuk kekebun bersamanya. Ia sudah tahu pasti, Evan pasti akan menolaknya. Ia benar-benar ingin lelaki didepannya ini menghilang dengan segera.
Dan benar saja, Evan tampak enggan mendengarnya. Ia pergi dari hadapan Sariel dengan alasan pekerjaan.
***