Keesokan harinya
Terdengar derap langkah bergema di lorong menuju kearah favilium yang ditempati Sariel. Beberapa pelayan tampak ketakutan melihat aura yang terpancar dari wajah wanita yang berusia sudah setengah abad tersebut. Ditambah dengan langkahnya yang terbilang cepat. Tidak ada yang berani hanya untuk sekedar menyapanya, apalagi sampai menghentikan langkahnya yang tergesa. Bisa-bisa mereka yang menyapanya yang akan terkena dampaknya.
Tangan Rohana bergerak mendorong kuat pintu kamar milik Sariel. Ia masuk kedalam tanpa permisi pada sang empu yang masih terlelap di tempatnya. Wajahnya tampak menghitam dengan aura yang sangat menakutkan. Bahkan matanya menatap tajam kearah Sariel yang masih terlelap di tempat tidur miliknya. Selalu saja begitu, wanita yang dirasanya tidak berguna sama sekali.
"Sariel! bangun!!!"
Rohana berteriak kencang dan membuang selimut yang menutupi setengah tubuh Sariel ke lantai. Ia menatap Sariel dengan aura membara. Membuat Sariel yang membuka matanya terkejut setengah mati. Karena penampakan Rohana yang tidak biasa mendatanginya hingga ke favilium.
"Kemana saja kamu kemarin!?" tanya Rohana langsung. Tak dapat menyurutkan amarahnya.
Sariel yang masih dalam keadaan setengah sadar tampak kebingungan. Ia berusaha mencerna pertanyaan wanita paruh baya yang berdiri didepannya tersebut. Beruntungnya ia tidak mengumpat karena saking terkejutnya. Tadinya ia sempat berpikir kalau semua ini hanyalah mimpi buruknya.
"Jawab!"
Sariel kembali terlonjak. Pikirannya kembali kedunia nyata saat mendengar teriakan Rohana yang melengking. Selalu saja begini, kehidupannya sekarang benar-benar tidak tenang, apalagi kalau sampai Rohana menyambanginya hingga ke favilium.
"Hanya bekerja."
"Jangan bohong kamu! Mana ada pengangguran seperti kamu bekerja. Jangan mimpi disiang bolong!" teriaknya masih dengan mata melotot. Rohana benar-benar terlihat geram dengan jawaban Sariel.
Lagi-lagi Sariel terdiam. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Rohana. Entah kesalahan apalagi yang akan ditimpakan padanya.
"Saya memang tidak berbohong pada mama. Saya benar-benar bekerja kemarin," sahutnya pelan setelah tersadar sepenuhnya.
Rohana berdecih sekali lagi, menatap Sariel dengan remeh.
"Pokoknya aku tidak percaya padamu. Bisa saja kan kamu diam-diam keluar dan bertemu dengan lelaki diluar sana untuk mencari uang. Itu kan yang kamu sebut dengan bekerja!"
Rohana menggeram kesal dengan sikap Sariel yang terus menolak mengakuinya dan selalu menggelengkan kepalanya membantah ucapan Rohana.
Mata wanita paruh baya tersebut bergerak memindai ruangan yang ditempati oleh Sariel. Terlihat nyaman dan cukup memenuhi standar. Dengan barang yang tersusun apik didalamnya. Matanya kembali bergerak menatap Sariel yang masih pada posisinya.
"Kamu memang pandai berbohong. Tapi kamu tidak bisa menutupi kenyataan itu dengan kebohonganmu. Apalagi sekarang keuanganmu sedang menipis. Aku yakin kalau kamu diluar sana hanya mempermalukan martabat keluarga kita dengan bekerja menjual diri!" tekan Rohana menghembuskan napasnya kasar. Telunjuknya menuking tepat di depan mata Sariel. Rasa gusar semakin meletup-letup di dadanya.
"Mama bicara apa sih? Kemarin saya memang bekerja tetapi bukan menjual diri." Tegasnya berani sembari menatap Rohana yang masih belum mempercayainya.
"Memangnya aku percaya padamu, huh?" sahutnya setengah membeliakkan mata.
"Mana ada pekerjaan yang tertarik padamu. Kalaupun ada, paling-paling kerjamu cuma malas-malasan seperti sekarang ini."
Terlihat jelas kalau wanita itu sedang meremehkan ucapan Sariel. Mata Rohana kembali bergerak menatap ke sekeliling kamar yang ditempati oleh Sariel. Benar-benar sederhana tetapi terkesan sedikit mewah.
"Lalu kenapa sekarang ada lelaki asing sedang berdiri didepan pintu rumah utama. Dan Dia sedang mencarimu! Bisakah kamu menjelaskannya?" cerca Rohana dengan berkacak pinggang.
"Bisa saja lelaki itu sudah pernah tidur denganmu!" gerutunya kesal.
"Lalu, kamu apakan Evan yang berstatus sebagai tunanganmu? Kamu ingin mendapat murka dari ayahmu," ancamnya kemudian.
"Atau kamu ingin membuat keluarga kita bangkrut karena kesalahanmu menduakan Evan," tudingnya lagi.
"Owh... Atau kamu tidak merasa puas hanya dengan satu laki-laki saja." Rohana berkacak pinggang.
Sariel kembali diam tak ingin menanggapi ucapan Rohana yang tanpa jeda tersebut. Ia mencoba untuk menerka lelaki asing yang mencarinya. Jujur saja ia tidak terlalu mengenal dunia luar dan mempunyai sahabat ataupun orang yang dikenalnya diluar sana.
"Siapa?" Beonya tiba-tiba, membuat Rohana kesal.
"Oh... Jadi kamu sudah mengakuinya?"
Sariel menggeleng pelan menampik tuduhan yang dilayangkan padanya. Terlihat jelas kalau Rohana sangat kesal padanya.
"Saya tidak pernah bilang seperti itu."
"Lalu kenapa ia tahu tentang dirimu. Kalau bukan kamu yang menemuinya semalam, lalu siapa!?"
Rohana kembali mendengus saat melihat wajah Sariel yang terlihat polos dan tanpa dosa sedikitpun.
"Dan ingat! jatah bulananmu aku potong karena sudah membiarkan Lelaki asing mendatangi kediaman kita! Tidak! Tapi kediaman kami!" Tekannya sekali lagi.
Rohana berbalik meninggalkan Sariel yang mematung ditempatnya dengan angkuh.
Sariel mencebik tak suka melihat gaya angkuh ibu tirinya tetapi ia tidak perduli mengenai apapun omongan yang keluar dari mulut wanita tersebut asalkan tidak berkenaan dengan jatah bulanan miliknya. Jatah bulanan? Seakan tersadar dengan semuanya, Sariel beranjak dari tempat duduknya hingga tersungkur ke lantai.
"Ma! Tunggu ma! Kenapa uang bulanan saya dipotong lagi? Bukannya sudah mama potong separo?" Teriak Sariel membuat rohana berbalik senang melihat Sariel yang terlihat tampak tidak berdaya.
"Tepat sekali. Uang bulananmu akan mama potong lagi separuh. Jadi, kamu hanya mendapat seperempat saja dari sepenuhnya."
Lagi, Rohana kembali berbalik dengan senyum miring tercetak diwajahnya. Ia benar-benar merasa sangat puas melihat raut kecewa dan sedih di wajah Sariel.
"Dan kamu tidak perlu menemui gembel tersebut!" ucapnya sembari membanting pintu dengan keras seolah mampu melepaskan engselnya.
***
Langkah Rohana semakin cepat meniti undakan tangga yang ada didepannya. Memasuki rumah utama melalui pintu yang berada di samping mansion utama. Berjalan kearah ruang tamu untuk menemui lelaki muda yang sejak tadi menunggu untuk bertemu Sariel.
Lelaki itu tampak memicingkan matanya saat melihat kedatangan Rohana hanya seorang diri. Beberapa kali matanya terlihat mengamati sesuatu di belakang Rohana. Wanita paruh baya tersebut yakin kalau lelaki didepannya tersebut sedang mencari Sariel.
"Sariel sedang tidak ada ditempat! Sepertinya ia sedang keluar bersama tunangannya!" Rohana menatap angkuh pria muda didepannya yang hampir seumuran dengan Nino.
"Keluar?" gumam lelaki muda tersebut seakan tak percaya dengan ucapan Rohana barusan. Ia sangat mengenal Sariel, bagaimana mungkin wanita muda tersebut bersenang-senang diluar sana seperti yang diucapkan Rohana. Sedangkan ia hanya punya seorang sahabat yaitu dirinya. Bahkan lelaki itu tak mengetahui kalau Sariel sudah ditunangkan dengan orang lain.
"Apakah Tante yakin kalau dia sedang keluar?" Andre menatap ragu Rohana yang mendelik sinis padanya. Bahkan mata wanita itu bergerak menilai penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Andre yakin kalau penampilannya yang terbilang sederhana seperti sekarang pastilah dikira gembel oleh Rohana yang selalu menatapnya sinis sejak tadi. Lagipula, ini pertama kali mereka bertemu secara langsung.
"Tentu saja. Bukankah kamu tahu kalau Sariel adalah anak saya," sahut Rohana seakan menyatakan kalau dirinya lebih tau dibandingkan siapapun.
"Tapi... Tante..."
Mata Rohana langsung mendelik tak suka mendengarnya anak muda yang dirasanya bandel.
"Apakah saya terlihat berbohong!" sahutnya kesal. Rohana berdecih sembari mengalihkan pandangan. Matanya bergerak kearah pintu, setelah mendengar teriakan Leni yang baru saja datang. Wanita yang setahun lebih muda dari Sariel tersebut tampak heboh sendiri. Diikuti oleh seorang sopir dibelakangnya yang menenteng banyak tas belanjaan.
"Mama! Aku pulang!!" teriaknya melengking sembari berlari menghampiri Rohana yang tampak menyambutnya dengan antusias.
"Aku tadi habis belanja beberapa pakaian yang baru trend akhir-akhir ini," ucapnya sembari memeluk Rohana dan mengecup pipi wanita tersebut bergantian. Ia sama sekali tak menyadari keberadaan Andre.
Leni segera berbalik setelah mendengar deheman seseorang. Matanya seketika melebar dan berbinar. Ia menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.
"Kak Andre!" pekiknya senang sembari mengumbar senyum manisnya. Ia menatap Andre yang sudah berdiri dari duduknya.
"Maaf Tante, sepertinya saya akan pulang sekarang!"
Leni terkejut mendengarnya, ia memayunkan bibirnya tanda tak suka. Melirik sebentar kearah Rohana yang sudah tampak berkeringat dingin karena memperlakukan lelaki itu dengan semena-mena.
"Eh. Kenapa ingin pulang sekarang? Bukannya kak Andre kemari sedang mencari Leni ya?" ucapnya dengan percaya diri.
Leni kembali mendelik kearah Rohana yang hanya diam mematung ditempatnya.
Rohana tak menyangka kalau Leni akan bersikap manis pada lelaki yang dianggapnya dekil tersebut. Bahkan anaknya terlihat sangat menyukai lelaki yang bernama Andre tersebut.
"Ma, perkenalkan. Namanya Andre, dia temannya Leni anak Om Bagas pemilik perusahaan Santos Group!"
Rohana kembali membeliakkan matanya mendengar penuturan Leni tersebut. Mana ada orang yang tidak mengenal pengusaha yang bernama Bagas tersebut. Dia adalah pengusaha terkaya di Kalimantan setelah perusahaan Karamunting.
Dengan cepat Rohana meraih tubuh Andre dan menepuk pundaknya pelan. Mendekatkan mulutnya kesamping telinga Andre.
"Maafkan sikap Tante tadi yang tidak sopan padamu," bisiknya pelan. Hanya mampu didengar oleh Andre. Ia kembali menjauhkan dirinya.
"Kalau Tante tau kamu adalah teman berharganya Leni, mana mungkin Tante akan membuatmu menunggu lama seperti tadi," sahutnya dengan manis, berbanding terbalik dari sikap awalnya tadi.
Leni mengernyit mendengarnya. " Jadi, Andre sudah lama menunggu Leni, ma?" tanya Leni manja. Ia bergerak mendekat pada Andre yang hanya diam saja sejak tadi. Menilai kedua wanita yang ada didepannya.
"Saya sebenarnya bukan__"
"Ah. Iya sayang. Mama pikir kamu akan lama baru pulang makanya mama biarkan saja tadi dia beranjak ingin pulang," sahut Rohana memotong cepat ucapan Andre. Bagaimana pun caranya ia harus mendapatkan hati Andre untuk Leni, bukannya untuk Sariel yang tidak tahu di untung tersebut.
"Bagaimana kalau kita makan bersama saja?" tawar Rohana bermanis muka.
Andre tampak keberatan, beberapa kali ia menyingkirkan tangan Leni yang terus bergelayut manja di lengannya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan dua wanita rubah yang ada didepannya tersebut.
"Maaf Tante, saya tidak bisa memenuhi ajakan Tante untuk makan bersama," sahutnya yang langsung membuat wajah Rohana tampak tidak senang. Tetapi ia tetap menyunggingkan senyum manis yang terlihat sangat dipaksakan.
Mata Andre bergerak menatap Leni yang masih memeluk dirinya. Ia mendelik tak suka saat wanita tak tahu malu tersebut mengatakan kalau dirinya adalah teman dekatnya.
"Oh ya Leni. Saya kemari bukan untuk mencarimu ataupun ingin menemui dirimu," Andre kembali menyingkirkan tangan Leni yang masih menempel di lengannya. Wanita itu terdiam mendengarnya, menuruti kemauan Andre yang melepaskan tangannya.
"Saya kemari untuk menemui Sariel!" Mata Andre bergerak menatap wajah Rohana yang tampak menegang. Wanita itu meneguk ludahnya kasar.
"Yang katanya pergi jalan-jalan dengan tunangannnya," sindirnya.
"Jadi, jangan pernah sok kenal dan sok akrab dengan saya. Hubungan kita tidak sedekat itu."
Leni menggeram mendengarnya. Ia merasa kesal dan tak terima mendengar penuturan Andre barusan. Selalu saja Sariel yang beruntung.
"Saya permisi, Tante!"
Andre bergerak meninggalkan Rohana dan Leni yang tampak kesal dibuatnya. Rohana kembali duduk pada tempatnya menatap Leni yang masih menghentakkan kakinya.
"Leni! Jangan bersikap kekanakan seperti itu. Duduklah!" perintahnya membuat Leni berbalik dan segera menghempaskan badannya sembarang di sofa.
"Ma, aku tidak suka kalau Andre sampai bertemu dengan Sariel. Beruntung benar hidupnya di kelilingi oleh pria kaya seperti Andre," gerutunya kesal.
"Bahkan dia juga sudah dijodohkan dengan Evan. Apalagi kurangnya coba?" ucapnya kesal.
"Kamu tenang saja. Selama mama masih mengatur rumah ini maka mama akan urus Sariel. Jadi, kamu tidak perlu takut dan khawatir."
Leni kegirangan mendengarnya. Ia berdiri dan merangkul ibunya. Memeluk erat wanita tersebut. Ia yakin apapun yang akan dilakukan oleh wanita itu maka sudah pasti akan berhasil.
"Makasih mam, mama memang yang terbaik!"
***