Beberapa kali Wina tampak mengusap lehernya, keringat juga sudah mulai membanjiri wajahnya. Sudah satu jam mereka memutari pasar yang tidak seberapa luasnya tersebut.
Dan Sariel pun tahu kalau Wina sedang kelelahan. Ditambah cuaca yang sangat terik, hingga semakin mendukung rasa haus yang mencekik tenggorokan.
"Kita minum di kedai sana dulu!" tunjuk Sariel pada sebuah kedai yang berada diseberang jalan.
Wina mengangguk menerima ajakan tuannya. Ia segera mengikuti langkah Sariel yang tampak semakin cepat. Tetapi sedetik kemudian, langkah wanita muda tersebut langsung terhenti di depannya. Membuat Wina yang berada dibelakangnya menabrak Sariel tanpa sengaja.
Ia mengaduh sambil menggosok dahinya yang terasa sakit akibat terbentur kepala Sariel. Baru saja ia ingin membuka mulutnya, Sariel sudah tampak membatu didepannya. Menatap kearah sejoli yang sedang bercengkerama dan saling merangkul.
"Tuan Evan!" mata Wina membola. Ia kembali menatap Sariel, ada rasa kasian melihat Tuannya yang setia justru dikhianati oleh tunangannya sendiri.
"Apa kamu tau sesuatu?"
Tanpa berpaling, Sariel tahu kalau Wina sedang kesulitan meneguk ludahnya sekarang. Terlihat jelas dari wajahnya yang tampak memucat. Wanita itu tampak semakin gemetaran dengan keringat yang membanjiri wajahnya.
Wina diam saja, menunduk sambil menatap ujung sepatunya yang tampak berdebu.
"Baiklah. Aku sudah tahu jawabanmu walaupun kamu diam," ucap Sariel sembari memutar langkahnya. Ia kembali berjalan tak tentu arah. Menyeberang kembali kepasar yang tadinya mereka kunjungi. Rasa hausnya langsung sirna. Ada sedikit denyut dihatinya.
Sariel memang tidak mencintai Evan. Tetapi ia cukup menyukai lelaki yang dijodohkan dengannya tersebut. Lelaki itu sangat hangat saat bicara dengannya, bahkan ia sangat perhatian. Tetapi nyatanya semua itu tak membuatnya setia. Bahkan ia mengkhianati Sariel dengan perempuan yang cukup dekat dengannya.
"Nona. Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menutupinya dari Nona."
Sariel tetap acuh. Ia melangkah dengan langkah lebar. Ingin rasanya ia segera sampai kerumahnya. Membenamkan beberapa tanaman kedalam tanah. Hanya itu obat lelah dan sakitnya.
"Sejak kapan?"
Wina langsung menghentikan langkahnya. Tak berkutik. Menatap Sariel yang terus berjalan.
"Kenapa? Apakah kamu mendapat bayaran darinya!"
Sariel membalik badannya. Wina masih pada posisinya dengan kepala menunduk. Wanita itu menggeleng pelan. Rasa hausnya ikut menghilang.
"Lalu apa?"
"Saya diancam, Nona," sahut Wina takut-takut. Sariel mmejamnkan matanya sekilas. Tangannya bergerak memijat pelipisnya. Ia mendesah matanya bergerak kesana-kemari.
"Baiklah. lupakan semuanya. sekarang kita pulang saja," sahutnya kembali melanjutkan langkahnya.
Brukk
Sariel terkejut saat ia sedang berjalan dan tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menabraknya tanpa sengaja. Anak kecil tersebut jatuh tersungkur ketanah. Tetapi semenit kemudian ia berusaha untuk berdiri.
Belum sempat Sariel menanyakan keadaan anak tersebut, lelaki kecil yang berpenampilan tidak biasa tersebut kembali berlari dengan wajah ketakutan. Cukup lama Sariel memperhatikannya. Ia melihat ada 4 orang dewasa sedang mengejarnya dengan pakaian yang serupa dan seorang wanita dengan pakaian pengasuh anak.
Raut wajah anak kecil tersebut tampak benar-benar ketakutan. Bahkan ia hampir saja ditabrak sebuah motor saat sudah berada ditepi jalan kalau saja Sariel tidak dengan cepat berlari dan menolongnya. Sariel menariknya hingga mereka terjatuh telentang. Anak kecil tersebut berada di atas tubuhnya dan Sariel mendekap erat anak tersebut.
Dengan cepat Sariel duduk, tetap dalam keadaan memeluk anak kecil tersebut yang terasa gemetaran didalam pelukannya. Ia melupakan keberadaan Wina yang justru mengkhawatirkannya. Ia juga melupakan masalah barusan yang dilihatnya.
Lelaki kecil tersebut menatapnya sangat lama. Seperti sedang menilai Sariel. Kemudian tatapannya berpindah kearah beberapa orang yang mengejarnya tadi dengan wajah takut. Sariel ikut mengarahkan pandangannya pada mereka yang sudah berdiri mengelilinginya. Terlihat jelas masih ada rasa takut di wajahnya.
Salah seorang diantara ketiga pria dan seorang wanita dewasa tersebut mendekat kearahnya.
"Tu__"
Belum sempat wanita itu menuntaskan ucapannya. Bocah lelaki itu langsung berteriak keras, memekik histeris hingga Sariel pun ikut menutup kedua belah telinganya yang terasa berdengung.
Wanita itu dengan cepat menegakkan badannya kembali dari posisi jongkok semula dan mundur kebelakang. Sepertinya ia tak mampu berbuat apa-apa menghadapi sikap bocah tersebut.
"Ada apa, adik kecil?" Sariel menatap lembut anak berusia kisaran 3 tahun tersebut setelah ia sudah cukup terlihat tenang. Dengan menampakkan sederet giginya dan menatap mata hitam bulat yang terlihat cantik di matanya. Dengan rambutnya yang sedikit ikal dan cukup panjang serta hidungnya yang kecil dan mancung. Juga bibirnya yang mungil. Dia benar-benar tampan dan sangat menggemaskan, ditambah dengan pipinya yang tembem dan bulat seperti bakpao.
Cukup lama lelaki kecil tersebut menatapnya. Sariel kembali meyakinkan agar anak kecil tampan tersebut tidak takut dengannya. Hingga membuat anak kecil tersebut menurunkan kewaspadaannya. Ia merogoh sesuatu kedalam tas selempang kecil yang dipakainya. Ia meraih sesuatu. Sebuah kartu dengan tulisan yang sudah ada disana.
Sariel mengerti sekarang, saat anak tersebut mengambil sebuah kartu dan memperlihatkan padanya. Rupanya anak tersebut tidak mampu bicara seperti kebanyakan anak normal lainnya. Matanya bergerak menatap keempat pria dan wanita dewasa yang masih berdiri dihadapan mereka. Ia yakin kalau anak tersebut bukan anak orang sembarangan ditilik dari pakaiannya saja sudah ketahuan.
"Papa...," eja Sariel memperhatikan kertas yang ada di tangan bocah tersebut.
"Adik kecil ingin ketempat papa?" tanya Sariel lembut disertai dengan anggukan antusias dari anak kecil tersebut. Ah dia semakin menggemaskan seperti burung yang mengangguk-angguk.
"Baiklah. Nanti akan kakak antarkan ke tempat papanya adik kecil berada. Kalau boleh tau, adik kecil dipanggil apa?"
Sariel kembali memperhatikan lelaki kecil tersebut yang kembali memilah kartu yang tampak menumpuk ditangannya. Setelah ia menemukannya, ia memperlihatkan kearah Sariel.
"Cybello...."
Lelaki kecil tersebut mengangguk pelan masih menatap Sariel dengan lembut. Di semakin terlihat menggemaskan.
"Baiklah. Bagaimana kalau kakak memanggilmu dengan Bello saja," sahut Sariel sambil menjawil hidung Bello hingga Bello menampakkan sederet giginya. Matanya tampak berbinar. Ada banyak hal yang ingin Sariel tanyakan hingga anak sekecil ini tersesat kepasar tradisional tersebut.
"Sekarang Bello ikut kakak. Dan kakak yang akan mengantar Bello kepada papa Bello. Apakah Bello tahu dimana sekarang papa Bello?"
Dengan cekatan Sariel meraih dan menggendong anak berusia kisaran 4 tahun tersebut. Bello tak menolak sama sekali atas sentuhannya.
Sariel berdiri dan memperhatikan 4 orang dewasa disekitarnya. Mereka tampak menunduk dengan wajah penuh khawatir.
"Nona," ucap salah seorang diantaranya.
"Ikutlah dengan kami. Biar kami yang akan mengantar Tuan Kecil ketempat Tuan Muda," ucapnya masih dengan wajah penuh khawatir.
Bello menggeleng kuat serta memeluk Sariel dengan erat. Ia terlihat masih takut menghadapi mereka berempat.
"Kalian siapanya?" sahut Sariel bertanya. Walaupun ia sudah menduganya tetapi ia tetap menanyakan hal tersebut pada mereka untuk meyakinkannya. Ia masih tidak mengerti kenapa anak sekecil Bello justru berkeliaran di pasar tradisional yang bukan pada tempatnya bahkan dengan dikejar oleh empat orang dewasa.
"Kami pengawalnya," sahut ketiga pria dewasa tersebut serentak.
"Dan saya adalah pengasuhnya," ucap salah seorang wanita berusia kisaran 32 tahun.
Sariel membeliakkan matanya mendengar penuturan mereka.
"Seharusnya kalian membuatnya aman dan merasa nyaman. Bukannya membuatnya takut," omel Sariel.
Keempatnya kembali menunduk dengan raut khawatir.
"Baiklah. Saya akan ikut dengan kalian untuk mengantarkan Bello pada papanya."
Keempatnya langsung mengangkat pandangan. Terlihat jelas raut senang dari wajah mereka.
Sariel berpaling menghadap Wina yang sejak tadi diam saja.
"Wina, pulanglah terlebih dahulu. Nanti setelah urusanku dengan Bello selesai. Aku akan pulang juga."
"Baik, Nona," sahut Wina dengan wajah yang masih terlihat khawatir. Sariel mengangguk kemudian ikut kedalam mobil yang sudah terparkir tepat didepannya dengan menggandeng tangan Bello.
***
Sariel menatap takjub gedung perkantoran yang baru saja dimasukinya. Wanita muda tersebut kembali menggendong Bello yang tampak bergelayut manja di lehernya.
Beberapa karyawan tampak menatap heran kearahnya ditambah dengan beberapa pengawal tampak menggiring dibelakang mereka. Entah apa yang mereka pikirkan saat melihat Bello terlihat begitu nyaman dalam gendongan wanita muda tersebut.
Pintu lift tampak terbuka. Sariel dan yang lainnya segera masuk kedalamnya. Salah satu diantara mereka menekan tombol. Entah lantai berapa yang akan mereka tuju, Sariel tidak memperhatikannya dengan seksama.
Setelah lift kembali terbuka. Sariel dituntun menuju sebuah pintu kayu coklat. Dihadapannya tampak dua orang sekretaris sedang berdiri menatap kearahnya. Mereka tersenyum dengan ramah dan mengangguk menyambut kedatangan Bello. Rupanya anak kecil tersebut begitu di sayangi dan dihormati layaknya orang besar disini. Entah apa kedudukan orang tuanya di tempat ini.
"Tuan sedang ada didalam. Masuklah!" salah seorang sekretaris wanita membukakan pintu untuk Sariel. Diikuti oleh pengasuh wanita dibelakangnya.
"Ada apa, Sana?"
Lelaki muda yang tak lain bernama Gabio mengangkat kepalanya dan menatap kearah wanita yang dipanggil Sana. Kemudian memicing kearah wanita asing yang baru dilihatnya.
"Tuan Kecil ingin bertemu dengan Tuan," sahut Sana dengan takut-takut sembari menundukkan kepalanya, tangannya bergerak-gerak meremas dan memilin kain baju yang dikenakannya. Ia merasa takut karena tak becus mengasuh Bello. Takut mendapat amarah dari Tuannya.
Mata Gabio berpindah menatap kearah Bello yang masih bergelayut manja di tangan Sariel. Ia berdiri dan mendekat kearah Sariel. Membuat Sariel terkejut bukan main. Dengan cepat Gabio meraih Bello dari gendongan Sariel.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku!?" tanya Gabio dengan dingin dan nada dalam. Ia masih menatap lekat Sariel yang tampak membatu mendengar perkataan lelaki tersebut. Tidak menyangka dengan ucapan kasar yang keluar dari mulutnya. Bukannya berterima kasih padanya, lelaki itu justru mencurigainya.
Sariel mencoba mengingat lelaki yang dirasanya tidak asing dimatanya. Ah dia ingat sekarang, lelaki itu yang sudah membuat kacau jadwal pertamanya bekerja hingga dia di pecat dihari pertamanya bekerja.
"Tuan. Kamu masih utang padaku!" ucap Sariel tanpa menghiraukan gertakan lelaki tersebut. Memperhatikan lelaki yang berjongkok sebentar didepan sofa panjang. Gabio kembali menegakkan badannya setelah meletakkan Bello yang tertidur pulas.
"Utang?" Gabio memiringkan kepalanya, mendekat kearah Sariel. Hingga membuat wanita itu mundur dua langkah kebelakang. Gabio kembali menegakkan badannya dengan senyum miring tercetak dibibirnya. Matanya bergerak menatap Bello yang tampak nyenyak di kursi panjang miliknya.
"Saya rasa Anda yang berutang pada saya, Nona."
Sariel menganga mendengarnya, wajahnya langsung keruh dan kesal.
"Saya tahu kalau anda membujuk anak saya agar saya memberikan ganti rugi ataupun memberikan sejumlah uang pada Anda, bukan? Hanya sekedar untuk menghargai kerja Anda, saya akan memberikan upah yang lain. Tapi_"
"Cukup!" teriak Sariel. Ia sudah tidak tahan lagi dengan tuduhan yang dilayangkan oleh lelaki itu padanya. Dengan cepat ia berbalik dan membuka pintu meninggalkan Gabio yang menatapnya dalam. Melirik kearah pengasuh dan pengawal yang terlihat ketakutan. Sariel benar-benar merasa sial setiap kali bertemu dengan lelaki yang bahkan namanya saja Sariel tidak tahu.
"Sana. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Bello?"
Sana masih menunduk tak berani mengangkat kepalanya. Suasana diruangan tersebut tampak mencekam.
"Tu-tuan Kecil melarikan diri sewaktu kami jalan-jalan di taman hingga kepasar tradisional yang tidak jauh dari taman," gumamnya pelan dengan gemetar.
Gabio mengusap wajahnya pelan. Ia kembali duduk di kursi yang ada Bello disana. Menatap wajah kecil yang polos tersebut. Jelas terlihat wajahnya tidak menggambarkan sedikitpun gurat kelelahan.
"Lalu wanita tadi mencari-cari kesempatan untuk meminta ganti rugi padaku, bukan?"
Ketiganya saling melirik dengan wajah takut dan pupus. Kemudian menggeleng pelan.
"Nona yang tadi hanya menolong Tuan Kecil saat ingin tertabrak motor. Dan..."
Gabio terkejut dan berdecak kesal sembari menggelengkan kepalanya. Ia segera berdiri, masih menatap mereka dengan wajah dingin hingga membuat mereka merasa tidak berpijak di lantai lagi. Ada aura marah yang jelas terlihat di wajahnya.
"Bagaimana mungkin kalian selengah itu padanya. Dia hanya anak kecil dan tidak bisa bicara. Bagaimana kalau wanita tadi bermaksud jahat padanya? Kalian mau bertanggung jawab dengan nyawa kalian!"
"Ma_maafkan kami, Tuan!" ucap mereka serempak masih dengan wajah yang menunduk takut.
"Aku tidak mau tahu. Pokoknya ini yang terakhir kalinya laporan yang kudengar. Lain kali, aku tidak ingin mendengar kekacaukan lain lagi karena kelengahan kalian. Kalau tidak, maka taruhannya adalah nyawa kalian!"
"Kalian, paham!?"
Ketiganya mengangguk.
"Baik, Tuan," sahut mereka serempak.
Terdengar helaan panjang dari Gabio hingga ia mengangguk pelan serta mengusir ketiga pengawal tersebut dari dalam ruangannya.
"Ada apalagi, Sana? Kamu terlihat gelisah dan tidak nyaman sejak tadi?"
Wanita yang dipanggil Sana tersebut mendongakkan kepalanya menatap kearah Tuannya yang terlihat masih bersikap dingin padanya. Wanita itu tahu kalau dirinya tidak mampu mengasuh Bello dengan benar. Ia kembali memilin pakaiannya hingga terlihat kusut.
"Saya-saya mau mengundurkan diri. Karena saya tidak mampu menjaga...."
Gabio mengangkat tangannya dengan cepat. Ia tahu apa yang akan diucapkan oleh pengasuh anaknya tersebut. Sudah beberapa orang pengasuh yang ditugaskan oleh Gabio untuk mengurus anaknya. Tetapi mereka selalu kewalahan menanggapi anaknya yang memang berbeda dari anak-anak lainnya. Dan diantara mereka tidak ada yang betah bekerja lama dengannya. Selalu berakhir dengan permintaan pengunduran diri.
"Baiklah. Saya akan memberikanmu uang lebih karena kamu sudah menjaga Bello dengan baik," sahutnya pasrah sambil meraih sebuah cek yang ada di atas meja miliknya.
Tangan Gabio bergerak menari di atas kertas tersebut kemudian merobeknya dan memyerahkannya pada Sana yang terlihat masih gemetar.
Pandangannya kembali beralih menatap Bello yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Anak tersebut tampak tersenyum kemudian berdecak dan kembali tenang. Berulang hingga tiga kali berturut-turut. Gabio terlihat kebingungan melihat sikap Bello yang tidak biasanya tersebut. Ia bergerak menekan tombol yang ada di atas mejanya hingga pintu ruangan terbuka dan menampakkan seorang sekretarisnya.
"Panggilkan dokter Cybello kemari. Cepat!" perintahnya masih dengan menatap lekat Bello.
"Baik, Tuan," sahut sekretaris lelaki tersebut sembari menunduk dan bergerak keluar ruangan.
***