Sariel kembali menuju kearah kamarnya setelah pergi dari ruang makan tanpa menyelesaikan sarapannya. Langkahnya terhenti saat ia berada di ruang keluarga. Melirik beberapa figura besar yang terpajang di dinding. Dengan bingkai kuning keemasan. Sebuah foto keluarga bahagia tanpa ada dirinya. Didalamnya hanya terdapat Rohana dan kedua saudara tirinya beserta ayahnya. Dengan cepat Sariel meneruskan langkahnya. Hatinya merasa tercubit saat melihat secara langsung bagaimana dirinya dikeluargannya sendiri.
Sariel segera masuk kedalam kamarnya, menatap tirai yang tampak berkibar.
Langkahnya terhenti saat melihat ranjang besar dengan nuansa hitam kecoklatan. Dengan cover bednya berwarna hitam dan walpaper dindingnya berwarna coklat tua. Semua warna itu bukanlah selera dirinya sama sekali. Bahkan ia sangat membenci warna gelap yang nyatanya selalu membayangi hidupnya semenjak kematian ibunya.
"Nona. Anda diperintahkan oleh Tuan Besar agar segera kembali ke faviliun belakang! Karena kondisi anda sekarang sudah mulai membaik!" ucap salah seorang pelayan yang baru saja memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Baiklah. Katakan padanya aku akan segera kesana," sahutnya dengan senyum kecut tanpa menatap kearah pelayan tersebut.
Ia tidak menyangka kalau ayahnya sebenci itu padanya. Didepannya saat sarapan tadi pun tak sudi untuk menatapnya, apalagi bicara dengannya. Hanya amarah yang ditampakkannya.
Perlakuan dan perhatian lelaki paruh baya tersebut padanya tidak ada bedanya, antara dia sehat dan dia sakit. Bahkan lelaki itu tidak pernah sekalipun menyambangi kamarnya saat dirinya terbaring sakit dan tak sadarkan diri.
"Apakah ada yang harus dibereskan, Nona?" tanya pelayan yang masih belum pergi dari posisinya tersebut. Ia tampak menunggui perintah Sariel selanjutnya.
"Tidak ada. Aku bisa membereskan sendiri pakaian milikkku," sahutnya acuh sambil bergerak kearah lemari yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Pergilah!" perintahnya.
Pelayan tersebut mengangguk dan segera meninggalkan Sariel yang terlihat sedikit melamun.
Setelah tersadar dari lamunannya. Dengan cepat wanita muda tersebut mengemasi pakaian yang tidak seberapa. Memasukkannya kedalam kantong plastik miliknya. Kemudian tatapannya berkeliling menatap kamar mewah untuk yang terakhir kalinya.
Dengan menghela napas pelan, Sariel beranjak dari duduknya meninggalkan mansion utama menuju kearah faviliun Barat yang ditempatinya selama ini.
***
Langkah kakinya terdengar bergema saat Sariel kembali memasuki paviliun yang sudah ditempatinya sejak kecil. Senyumnya mengembang saat matanya bersinggungan dengan taman bunga miliknya yang masih segar dan terawat. Ia bahkan lebih merindukan paviliun tersebut ketimbang mansion utama yang sempat dihuninya sewaktu sakit. Walaupun dia hanya hidup sendirian di paviliun tersebut, tetapi ia sudah merasa semua keadaan di paviliun tersebut terasa hangat dan akrab. Berbeda dengan mansion utama. Walaupun dipenuhi dengan orang terdekatnya tetapi ia merasakan suasana yang dingin dan asing.
Brakk!!!
Sariel berbalik menatap pintu utama favilium yang dibuka dengan kencang. Ia mendapati Leni, saudari tirinya sedang berkacak pinggang dengan tatapan tidak bersahabat. Wanita yang setahun lebih muda darinya itu berjalan kearahnya dengan langkah yang berat dan sinis.
"Sariel! Apa-apaan kamu!? Apa yang sudah kamu lakukan pada Andre hingga dia selalu mencari dan memperhatikanmu!?" tudingnya dengan jari telunjuk yang menuking tepat didepan wajah Sariel.
Tangan Sariel bergerak menurunkan jari telunjuk tersebut, sambil memutar bola matanya malas. Ia sudah tau maksud kedatangan Leni padanya, pasti berkaitan dengan lelaki idaman adik tirinya tersebut. Ia merasa kalau masalah itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan dirinya. Tapi entah kenapa Leni selalu mencari masalah dengannya.
"Memangnya apa yang sudah dia lakukan untukku?" sahut Sariel santai, berjalan menjauh dari tempat Leni berdiri. Ia berjalan kearah kursi tamu yang ada disana, duduk dengan pelan serta menyenderkan dirinya dikursi sofa yang sedang ditempatinya. Membuat Leni berpaling menatapnya.
"Apa!? Kamu menanyakan itu padaku!?" Suara Leni semakin melengking mengisi kekosongan paviliun tersebut. Wanita itu tampak semakin geram dan emosi. Bahkan giginya terdengar bergemelatuk. Jari jemarinya tampak bergerak ingin menjambak Sariel karena saking geramnya dengan sikap saudara tirinya tersebut.
"Tentu saja aku menanyakannya. Memangnya kenapa? Bukankah kamu sudah tahu jawabannya," ucap Sariel dengan lebih santai lagi. Ia mensedekapkan kedua tangannya kedada, melirik kearah Leni yang tampak memerah. Wanita itu terlihat mengatup rapat bibirnya dengan mata melotot penuh amarah.
"Jadi, kamu tidak perlu lagi datang padaku!" ketus Sariel membuang muka. Ia tidak perduli entah Leni akan datang padanya dan menjambaknya ataukah wanita itu justru mengacak-acak wajahnya.
"Sariel! Kamu...!" suara Leni tampak tertahan menggeram sebelum ia berjalan meninggalkan ruangan tersebut dengan menghentakkan kakinya keras dan kembali membanting pintu faviliun dengan kencang. Membuat sang penghuni faviliun tersebut menarik napas panjang sambil menggelengkan kepalanya melihat sikap Leni dan Rohana yang sama persis padanya.
Wanita muda tersebut akan selalu datang padanya dan memaki saat lelaki idamannya tidak menggubris dirinya. Seolah semua keadaaan selalu disalahkan padanya. Tetapi ia tahu Andre akan selalu berbuat begitu padanya karena hanya Andre lah sahabat sekaligus lelaki yang dikenalnya. Ia yakin kalau perhatian Andre padanya hanyalah sebatas rasa persahabatan.
"Wina!" panggil Sariel pada pelayan yang biasa ditugaskan di paviliun. Sariel merasa cukup akrab dengan Wina karena hanya Wina lah yang bersikap baik padanya selama ini. Ditambah dengan rasa hormat pelayan tersebut terhadap Sariel yang dianggapnya sebagai majikannya. Wanita itu sudah meminta pada majikannya agar selalu melayani Sariel kedepannya.
Wina bergegas masuk menghampiri tuannya.
"Tolong kamu pesankan taksi untukku. Aku ingin keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan saja."
"Baik, Nona. Memangnya Nona akan berangkat jam berapa?" tanyanya memastikan.
"Tentu saja sekarang. Tapi aku ingin membersihkan diriku terlebih dahulu!"
Wina mengangguk dan segera berjalan kearah telpon yang ada di atas meja pojok jendela. Wanita itu tampak berbicara memesan taksi sesuai permintaan Tuannya.
Sariel segera beranjak ke kamar mandi meninggalkan Wina seorang diri. Ia ingin mandi sekali lagi.
"Pakaian Anda sudah saya siapkan, Nona," ucap Wina saat melihat Sariel baru saja keluar dari kamar mandi.
"Terima kasih."
Dengan cepat Sariel meraih pakaian tersebut dan membawanya kembali masuk ke kamar mandi. Kebetulan ia teramat malas untuk mencari pakaiannya sendiri.
***
Sariel membiarkan Wina merapikan rambutnya dan merias sedikit wajahnya. Semua itu atas keinginan Wina sendiri. Ia merasa tidak keberatan walaupun sebenarnya ia sangat mampu untuk mengurus dirinya sendiri.
Ia akan keluar bersama Wina untuk melihat taman yang ada di kota daerah tempat tinggalnya. Atau ia akan sesekali jalan-jalan memasuki pasar tradisional yang terletak tidak jauh dari tempatnya menikmati pemandangan tersebut.
"Nona. Sudah siap. Kita akan berangkat sekarang?" Wina mengakhiri pekerjaannya dengan mengikat rambut Sariel dengan ikatan kuda poni. Beberapa helai rambut dibiarkannya menjuntai disisi telinga. Ditambah poni panjang Sariel yang dimiringkan kearah kanan.
"Iya. Bagaimana dengan taksinya? Apakah sudah kamu siapkan?" Sariel beranjak dari duduknya berbalik menghadap Wina. Ia sudah biasa bermanja dengan Wina.
"Sudah sejak tadi taksinya menunggu didepan rumah," sahut Wina mengikuti langkah Sariel yang sudah memasuki ruang tamu. Langkah wanita muda tersebut tampak lebar dan santai.
Mereka memasuki mobil taksi yang sudah menunggu mereka sejak 5 menit yang lalu.
"Bagaimana dengan papa? Apakah setelah sarapan tadi beliau berangkat kerja?"
Wina tersenyum mendengarnya. Walaupun Sariel dikucilkan oleh keluarganya sendiri, dia masih tetap memperhatikan keseharian ayahnya.
"Tuan sepertinya tidak pergi ke kantor. Seingat saya, Tuan sedang menemui seseorang yang sudah menelponnya tadi pagi."
Sariel mengangguk, ia cukup tahu sebatas itu saja. Urusan lainnya, ia tidak berhak untuk mengetahuinya.
"Bagaimana dengan berkas lamaran pekerjaanku yang sudah kukirimkan pada perusahaan K? Apakah sudah ada balasan selama aku sakit?"
Wina menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak ada, Nona. Sepertinya berkas milik Nona masih sedang dalam proses."
Sariel mendesah mendengarnya." Tapi aku tidak yakin milikku akan masuk dalam target mereka. Apalagi sudah selama ini belum ada jawaban sama sekali dari pihak mereka."
Sekali lagi Sariel mendesah membuang napas yang terasa menyesakkan dadanya. Apalagi setelah diingatnya, keuangannya sudah mulai menipis ditambah dengan biaya yang dia keluarkan selama sakit, cukup merogoh kantongnya terlalu dalam. Ibu tirinya yang pelit tersebut tentu saja tidak akan mengeluarkan biaya sepeserpun untuknya. Penghasilannya pun sedikit menurun karena beberapa produksi buahnya banyak yang kurang bagus.
Sariel harus memutar otaknya demi mencari uang. Mengharapkan pemberian ayahnya pun percuma. Walaupun ayahnya seorang pengusaha terkenal tetapi selama ada campur tangan ibu tirinya maka jatah uang bulanannya sudah dipastikan akan berkurang banyak. Walaupun lelaki paruh baya tersebut mengetahuinya, tetapi ia sama sekali tidak perduli mengenai hal itu.
"Nona. Kita sudah sampai!"
Sariel melirik kearah pintu mobil yang sudah terbuka untuknya. Ia tidak sadar karena terlalu banyak berpikir. Matanya bergerak kesembarang arah, mereka sekarang berada tepat di pasar tradisional.
Sariel sengaja memilih pasar tradisional karena barangnya yang cukup murah dan mudah dijangkau ditambah dengan kualitasnya yang cukup sebanding dengan produk yang ada di mall. Dan juga, ada beberapa barang yang tidak di jual di mall.
"Baiklah. Sekarang kita akan berpetualang Wina. Kamu bisa memilih apa saja barang yang kamu inginkan!" sahutnya tersenyum senang.
"Baik, Nona." Wina ikut tersenyum sumringah.
Mereka berjalan kearah penjual tanaman yang tampak sibuk menjajakan tanaman miliknya. Bahkan lelaki itu tampak sibuk melayani para pembeli yang mulai berkerumun. Sariel yang awalnya tidak tertarik untuk membeli tanaman justru ikut berkerumun karena rasa penasaran.
Matanya tampak berbinar saat melihat beberapa pohon jeruk yang dijual oleh penjual tersebut. Bahkan harganya cukup murah.
"Berapa harganya, Mang?" Sariel berjongkok melihat stek jeruk manis yang berjejer didepannya.
"Yang ukuran kecil Rp 5000, Neng. Dan yang besar Rp 8000," sahutnya ramah.
"Memangnya Neng bisa menanam pohon jeruk ini?" Penjual tersebut memperhatikan Sariel dengan lekat. Ia tidak yakin melihat penampilan Sariel. Matanya bergerak mengamati gerakan jari Sariel yang terlihat lentik dimatanya.
"Bisa dong, Mang. Memangnya orang seperti saya kelihatan tidak bisa?" Sariel ikut tersenyum ramah.
"Anak cantik seperti Neng kan biasanya hanya tahu menghabiskan uang orang tuanya dengan belanja di mall atau jalan-jalan saja," sahut Mamang dengan sedikit kekehan.
Sariel diam sebentar, kemudian ia kembali memilih stek jeruk tersebut.
"Saya beli 10 pohon saja Mang yang ukuran besar."
"Mau dibawa pulang sekarang?"
"Tidak Mang. Saya titip disini dulu, soalnya saya ingin mencari sesuatu yang lainnya," sahut Sariel beranjak dari tempatnya meninggalkan pedagang tersebut.
***