"Sariel! Bangun!"
Seorang wanita paruh baya berteriak keras setelah membuka pintu kamar berwarna coklat muda dengan kusen berwarna coklat tua. Hingga menimbulkan suara bedebam yang keras seolah mampu melepaskan engsel yang melekatkan pintu dan bangunannya.
Matanya bergerak menatap perempuan muda penghuni kamar tersebut. Sedang berusaha duduk dengan perlahan dari posisinya yang terbaring di atas tempat tidurnya.
Decakan terus keluar dari mulut wanita paruh baya tersebut tanpa henti.
Wanita muda itu berusaha menghiraukan teriakan wanita paruh baya tersebut. Yang terus menatapnya dengan nyalang. Mengusap wajahnya dengan perlahan seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan dia terlihat kelewat santai menanggapinya.
Membuat wanita yang lebih tua darinya tersebut naik pitam. Bahkan napasnya terlihat naik turun dengan cepat.
"Apa kerja mu hanya ingin bermalas-malasan seperti ini, hah!? Kamu tidak punya etika sama sekali! Tidak bersikap layaknya seorang wanita terhormat!"
Suara itu terdengar melengking dan menggelegar di telinga wanita muda yang tampak sedang menggosok telinganya. Ia menguap perlahan mendelik dengan malas kearah wanita yang berstatus sebagai ibu tirinya tersebut.
"Benar-benar sikapmu itu tidak sopan sama sekali. Apa kamu menganggap diriku ini sebagai orang lain!!"
Wanita itu semakin mengencangkan suaranya sambil berkacak pinggang. Rohana membeliakkan matanya disertai dengan suara napas yang terdengar memburu. Ia terlihat sangat marah luar biasa.
"Apa kamu mendengarkan ku, Sariel!" pekiknya kemudian dengan dahi yang terlihat berlipat-lipat dan alis yang menyatu dengan ujung yang menukik keatas.
"Memangnya saya tuli? Sejak tadi mama hanya berteriak saja dikamar saya. Bagaimana mungkin saya tidak mendengarnya," sahut Sariel dengan acuh. Ia berdiri dari tempatnya semula. Beranjak kearah kamar mandi yang berada disisi kiri ranjangnya.
"Lagipula sejak kapan mama menganggap saya sebagai anak setelah perlakuan kalian pada saya seperti babu," gerutunya sambil meneruskan langkahnya.
"Apa kamu bilang!? Apa kamu benar-benar mengacuhkan ku dengan sikapmu seperti itu!" Wanita itu masih berteriak keras. Membuat Sariel menghentikan gerakan kakinya.
"Bukankah mama yang tidak tahu sopan santun. Sudah menerobos masuk kedalam kamar saya tanpa mengetok pintu terlebih dahulu. Dan sekarang berteriak dengan tidak jelas begitu. Padahal mama sudah tahu kalau saya masih dalam pemulihan setelah mengalami sakit kemarin."
Wanita itu tampak terperangah mendengarnya, menatap tak suka pada Sariel.
"Lagipula, mama selalu acuh pada saya. Kenapa baru sekarang datang kemari dan mengusikku?"
Sariel meneruskan langkahnya memasuki kamar mandi tanpa berpaling sedikitpun pada wanita yang di panggilnya mama. Ia menutup pintu kamar mandinya dengan perlahan. Setelahnya, ia mendesah sebentar sambil bersandar dibelakang pintu yang baru ditutupnya. Ia yakin kalau wanita itu pasti bertambah amarahnya dan mungkin saja sebentar lagi dia berteriak seperti di awal tadi. Dan benar saja suara lengkingan itu kembali terdengar.
"Sariel!!! Kamu keterlaluan!!"
Setelah ini Sariel yakin dia akan melapor pada ayahnya untuk menghukum dirinya.
Sariel dapat mendengar langkah kaki yang sengaja di hentak-hentakkan menjauh dari pendengarannya diiringi dengan bunyi bedebam pintu yang kembali dibanting dengan keras. Ia kembali mendesah lega sembari menggosok dadanya pelan.
Dengan cepat ia bergegas menuju kearah wastafel untuk membasuh mukanya, menggosok gigi serta mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang sudah beberapa hari tidak tersentuh air sama sekali.
Selesai mandi ia segera menuju ke lemari pakaian miliknya. Tidak ada seorang pelayan pun yang ditugaskan untuknya saat sakit seperti saudaranya yang lain. Bahkan setelah sakit pun ia baru menempati mansion utama setelah sebelumnya ia menghuni paviliun dibelakang mansion sendirian.
Sariel adalah anak yang terbuang setelah kematian ibunya. Ia mendapat perlakuan yang berbeda setelah kemunculan ibu tirinya beserta saudara tirinya. Ayahnya juga tidak mau perduli mengenai semua hal yang berkenaan dengan dirinya dan cenderung terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya. Bahkan lelaki tua itu lebih mempercayakan urusan mansion pada ibu tirinya tanpa menghiraukan perasaannya.
Tepat pada saat dirinya sudah mengenakan pakaiannya dan sedang duduk didepan cermin. Bunyi suara pintu kamarnya kembali didorong dengan kuat hingga menimbulkan suara bedebam yang menggema. Entah yang keberapa kalinya pintu itu menjadi pelampiasan kemarahan seseorang pagi ini. Tanpa menoleh pun ia tahu kalau yang datang adalah ibu tirinya. Ia yakin wanita itu tak akan tenang apabila dirinya tidak mendapatkan hukuman setimpal atas kelancangannya pagi tadi.
"Jadi benar kamu sudah bersikap tidak sopan pada mama?!" Suara serak tersebut tampak sangat ketus mengisi kekosongan kamarnya. Sariel meletakkan sisir yang dipegangnya dengan perlahan kemudian berbalik menghadap kakak tirinya beserta ibunya yang berdiri berdampingan didepannya. Lelaki itu menatapnya dengan tajam layaknya menatap seorang musuh.
"Saya tidak akan melakukan hal seperti itu seandainya wanita itu tidak masuk ke kamar saya dengan cara yang salah!"
Nino menggertakkan giginya mendengar jawaban adik tirinya disertai dengan lirikan mata Sariel yang tajam mengarah kearah ibunya. Ditambah dengan sikap acuh yang diperlihatkan Sariel pada mereka.
"Bukankah wajar kalau mama membangunkan dirimu yang pemalas itu. Kerjamu setiap harinya hanya tiduran di ranjang setiap saat. Bahkan makan pun harus diantar oleh pelayan. Apakah kamu tidak merasa kalau kerjamu hanya bisa merepotkan saja. Kamu itu hanya menjadi beban saja di keluarga ini!"
Sariel mendengus mendengarnya. Ia sudah biasa mendengar ucapan kasar seperti itu. Entah yang keberapa kali ucapan itu didengarnya hingga sekarang. Bahkan ia merasa kebal karena sikap kakaknya yang tidak ada manis-manisnya terhadap dirinya.
"Bukannya kakak sudah tau kalau dalam sebulan ini saya sering sakit? Apakah perkataan kakak harus sekasar itu pada adiknya yang masih dalam pemulihan?"
Nino membeliakkan matanya mendengar ucapan Sariel yang terbilang berani. Tidak biasanya wanita muda itu melawan perkataannya. Tetapi setelah ia sembuh dari sakit dan mendapat sedikit perhatian dari orang-orang rumah utama, ia menjadi lebih berani.
Kamu!!" tunjuknya dengan murka. Nino bahkan mengambil langkah maju, kalau saja Rohana tidak menarik tangannya.
"Lebih baik kamu sarapan kebawah, jangan sampai kamu membuat orang-orang rumah menunggu dirimu," sahut Rohana dengan ketus sembari memegang tangan Nino yang masih bergerak ingin menampar wajah Sariel.
Dengan cepat Rohana menarik Nino agar meninggalkan Sariel yang bahkan sangat enggan menatap kepergian mereka.
Sariel tahu kehidupan di mansion utama sangatlah sulit baginya. Beberapa pelayan tidak menghormati dirinya layaknya sebagai anak dari majikan mereka. Sebab perlakuan ayahnya sendiri terhadapnya membuatnya sakit hati saat memikirkannya. Ditambah dengan perlakuan ibu tirinya dan saudara tirinya yang terus-menerus menyudutkan dirinya.
Entah seberapa kuat Sariel akan menjalani kehidupan yang membuatnya enggan untuk bertahan.
Tanpa sadar tangannya sudah bergerak meraih sebuah album foto yang sudah tampak usang. Foto seorang wanita muda kisaran umur 30 tahun tampak tersenyum didalamnya. Tangan yang lentik tersebut bergerak menyapu seluruh foto tersebut. Matanya tampak memerah. Secepat kilat ia menengadah menghadap langit-langit kamar yang ditempatinya.
Sariel kembali menyimpan album foto tersebut. Hanya itulah satu-satunya peninggalan dari ibunya setelah semuanya barang milik ibunya dibuang oleh ibu tirinya.
***
Langkah kaki Sariel menggema menelusuri setiap lorong mansion yang terlihat sepi. Wajahnya terlihat dingin dengan tatapan tegak kedepan. Setiap pelayan yang dilaluinya hanya menoleh padanya tanpa ada niatan untuk menyapa dirinya ataupun menganggukkan kepala sebagai pertanda menghormati dirinya sebagai anak majikan mereka.
Langkah kakinya terhenti tatkala mendengar suara gelak tawa dari meja makan yang tepat berada tidak jauh didepannya. Tawa itu seketika langsung musnah saat melihat kehadirannya. Sariel terlihat kikuk melihat tatapan ayahnya yang terlihat asing padanya. Lelaki tua itu terlihat acuh bahkan ia lebih memperhatikan isi piring dihadapannya ketimbang menyambut kedatangan anak kandungnya sendiri.
Begitupun dengan wajah ibu tirinya yang tersenyum sinis padanya. Tetapi Sariel tidak perduli dengan semua itu. Ia tetap meneruskan langkahnya menghampiri meja makan yang terasa dingin baginya. Duduk tepat berseberangan dengan Nino, kakak tirinya.
Tanpa berucap sepatah katapun ia langsung melahap makanan yang terasa hambar baginya setelah mengisi piringnya terlebih dahulu. Tidak menghiraukan obrolan yang terjadi antara kakak dan ayahnya.
"Bagaimana pendidikan Sariel kedepannya?" Rohana melirik kearah Sariel dan menjeda ucapannya. Kembali bermanis muka sambil menatap kearah suaminya yang terhenti dari makannya dan ikut memperhatikan dirinya.
"Mama rasa Sariel harus diajari sopan santun oleh seorang guru privat?" sambung wanita itu kemudian.
Suapan Sariel terhenti saat ibu tirinya menyebut-nyebut namanya. Pasti ini ada kaitannya dengan ketidak sopanannya yang terjadi pagi tadi. Sariel mengangkat kepalanya perlahan menatap kearah ibu tirinya yang memberikan senyum miringnya. Matanya bergerak menatap kearah ayahnya.
Deg
Tatapan ayahnya terlihat tajam bercampur aura marah. Lelaki tua itu tampak terusik dengan ucapan ibu tirinya barusan. Ia yakin ayahnya sudah mendapat pengaduan dari ibu tirinya.
"Papa rasa gadis yang sudah sebesar dia tidak perlu diberikan guru privat mengenai sopan santun. Tidak mungkin gadis yang sudah memasuki usia dewasa seperti ini tidak tahu etika!"
Tatapan ayahnya masih berada padanya hingga Sariel begitu kesulitan menelan air liurnya sendiri. Ia tahu tatapan tidak bersahabat itu selalu dilayangkan padanya terlebih lagi saat ayahnya mendapat laporan mengenai kesalahannya.
"Tapi Pa...." sahut mama tiri Sariel yang tertahan saat lelaki paruh baya tersebut mengangkat sebelah tangannya.
"Sebentar lagi dia juga akan keluar dari rumah ini. Cukup mereka saja yang memberikannya pelajaran sopan santun tersebut," sahutnya sambil menyudahi makannya. Tangannya bergerak meraih sapu tangan yang ada di atas meja kemudian menyeka mulutnya sambil bergerak berbalik ingin meninggalkan meja makan yang terasa hening dan dingin.
Tanpa berucap lagi, lelaki itu bergerak meninggalkan meja makan dengan keadaan Sariel yang terlihat muram mendengar ucapannya. Rasa lapar yang masih tersisa menghilang sudah, berganti dengan rasa kenyang. Sariel meletakkan garpu dan sendok makannya, melirik sekilas kearah Rohana dan Nino yang terlihat senang.
"Bagaimana? Bukankah ayah sangat menyayangimu hingga dia menginginkan kamu segera pergi dari rumah ini!?" ejek Nino menatap Sariel dengan wajah pucatnya.
"Bukan urusanmu!" sahut Sariel ketus sembari beranjak dari duduknya meninggalkan Nino yang menggertakkan giginya karena geram dengan jawaban Sariel padanya.
***