Ken meletakkan tubuh Karina dengan hati-hati di kasur empuk tersebut. Karina sama sekali tak terusik dan masih larut dalam mimpinya.
Mungkin, semua itu efek kelelahan. Karena, di panti tadi. Karina terus bermain dengan para anak panti sampai menjelang larut.
Diliriknya jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Ken menghembuskan nafas berat. Dirinya benar-benar gerah dan rasanya ingin memanjakan tubuhnya dengan air hangat. Ya kali mandi dengan air dingin di tengah malam begini. Bisa demam dirinya keesokan harinya.
Ia pun langsung beranjak. Namun, tiba-tiba saja satu lengannya ditarik oleh Karina dengan lumayan kuat.
Sontak saja, Ken langsung ambruk menimpa tubuh gadis yang tengah terlelap itu.
Matanya terbelalak sempurna. Dia langsung ingin bangkit. Tapi, Karina malah memeluknya erat menjadikannya seolah-olah guling.
"Astaga gadis ini!" gumam Ken tak habis pikir.
Sebenarnya, bisa saja ia enyahkan tubuh Karina. Namun, ia tidak tega untuk membangunkan sosok Karina yang begitu terlelap.
Ken ingat, jika tadi ketika ia ketiduran di taman. Karinalah yang membawanya ke kamar. Ia tahu info itu dari beberapa anak panti.
Bisa dikatakan. Panti adalah rumah keduanya. Ken benar-benar menyayangi Ibu Panti yang sudah ia anggap sebagai Ibu kandungnya sendiri.
Mungkin dulu. Tanpa bantuan Ibu Panti. Ia tak yakin bisa menghirup udara segar sampai sekarang.
Ken masih sama posisinya saat ini. Masih berada tepat di atas Karina. Sedari tadi, susah payah Ken menelan salivanya.
Bisa ia rasakan kedua aset milik sang istri yang begitu terasa. Tiba-tiba saja, pikiran kotornya mulai muncul.
"Ken. Sadarlah. Sudah cukup kamu kehilangan kendali waktu itu. Jika dia sampai tahu. Dia pasti marah besar," monolog Ken.
Sudah satu jam berlalu. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia yang tak sanggup pun akhirnya terlelap juga masih dengan posisi yang sama.
Terdengar suara pintu diketuk. Namun, keduanya yang terlelap tak merasa terganggu.
Dari luar, Linda terlihat bingung. Apakah keduanya sudah tertidur?
"Cklek."
Ternyata pintu tidak dikunci. Linda hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah pengantin baru itu.
"Mereka ini ya."
Linda memasuki kamar itu perlahan. Dibawahnya sebuah nampan yang berisi susu hangat. Biasanya, anak semata wayangnya itu sebelum tidur harus minum susu dulu.
"Astaga," menutup mulutnya tak percaya. Ia tersenyum kecil melihat pemandangan menggemaskan di depannya itu.
"Mereka sudah tertidur. Ya sudah kalau begitu. Lebih baik aku keluar saja." Berjalan mengendap-ngendap.
Di lain sisi
Indry menggeram kesal. Ia saat ini berada di depan gedung kantor menunggu seseorang yang katanya akan datang.
Susana saat ini begitu sunyi. Tak ada makhluk bernyawa kecuali dirinya seorang. Jika tidak mengingat ancaman sang Papa, ia sudah pergi sedari tadi.
Kakinya sedari tadi terus menjadi sasaran para makhluk kecil penghisap darah itu. Belum lagi, kakinya yang hampir patah rasanya berdiri terus.
Sebenarnya ia bisa saja duduk. Tapi, dirinya terlalu gengsi. Masa, seorang CEO duduk di lantai kotor? Apa kata dunia nanti.
Bayangkan, dirinya sudah hampir menunggu selama tiga jam lamanya. Namun, orang yang ditunggunya tak kunjung datang.
"Cih! Papa ini ngasal aja memang. Baru pertama ketemu eh, ngaretnya minta ampun. Mana nunggunya harus di sini lagi!" gerutunya kesal.
Untung dirinya adalah gadis pemberani. Jadi, ia tidak khawatir dan takut dengan keadaan mencekam seperti sekarang ini. Jangan lupakan fakta jika dirinya ini pemegang sabuk hitam.
Jika mengingat dulu. Indry sangat bersyukur karena Papanya memaksanya untuk belajar bela diri.
Hingga beberap menit kemudian. Muncullah sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya.
Indry mendengus sebal. Ia sangat yakin, pria itu adalah pria yang dijodohkan dengannya. Kata sang Papa, suka atau tidaknya dirinya. Pernikahan akan tetap dilangsungkan paling lama dua bulan ke depan.
Papanya itu memang sesuka hatinya saja. Untung, dia sayang. Jika tidak, Indry sangat malas meladeninya.
"Ah Nona. Maafkan saya yang sudah sangat terlambat. Tadi, ada urusan mendadak. Saya sangat-sangat menyesal." Membungkuk sopan.
Indry memutar bola matanya malas. Ia memang sangat kesal. Tapi, mendengar suara pria itu yang memohon maaf tulus kepadanya. Indry jadi tidak tega.
"Baiklah. Aku memaafkanmu."
"Terima kasih Nona." Mendongakkan wajahnya.
Indry membuka mulutnya lebar tatkala melihat pria yang begitu tampan menurutnya. Seperti titisan dewa saja.
"OMG!" pekiknya.
Louis mengerutkan keningnya keheranan. Kenapa gadis di depannya itu memekik.
"Ada apa Nona?" tanya Louis sopan.
"Tampannya," ucap Indry terkagum-kagum.
Louis yang mendengarnya hanya tersenyum malu. Wanita di depannya itu terlalu jujur rupanya.
"Ekhm." Louis berdehem pelan.
Indry langsung mengatupkan bibirnya. Matanya berbinar. Rasa kesal yang tadi menderanya mendadak menguap entah kemana.
"Anda, Tuan Louis bukan?" tanya Indry memastikan.
Louis mengangguk pelan. "Benar Nona Indry." Sedikit membungkuk.
'Jika pria setampan ini yang dijodohkan denganku. Sepertinya aku tidak akan menolak. Walaupun dia tidak suka denganku. Aku akan mengejarnya,' gumamnya dalam hati.
Entah kenapa tiba-tiba dirinya berubah pendirian seperti ini. Padahal, Indry sudah meyakinkam dirinya untuk tidak lagi tertarik terhadap laki-laki.
Nyatanya, saat ini hal itu bertentangan. Indry juga tidak tahu mengapa. Apa mungkin semua itu karena dirinya yang baru melihat orang setampan Louis? Tapi, menurutnya Ken juga tak kalah tampan.
Ya, mungkin apa yang dikatakan orang benar adanya tentang jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan ia membuktikannya sekarang. Ia rasa, dirinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pria di depannya ini.
Louis mengernyit keheranan melihat Indry yang tengah melamun tersebut.
"Nona," panggilnya pelan.
"Ah iya," sahut Indry yang tersadar.
Louis tersenyum lembut. "Mari, saya antar Nona pulang. Sekali lagi, saya minta maaf atas keterlambatan saya kali ini."
Indry mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. Loh, mereka langsung pulang? Ia pikir akan singgah kemana dulu gitu kek.
"Baiklah," sahutnya tak bersemangat.
Louis hanya tersenyum simpul dan membukakan pintu mobil untuk Indry. Indry duduk di bangku depan bersama dirinya.
Loius pun sudah memasuki mobil. Diliriknya sekilas sosok Indry yang terlihat kecewa.
'Bagaimana ini? Sepertinya dia kecewa sekali? Tapi, apa tidak apa-apa aku membawa anak gadis pergi selarut ini?' batin Louis merasa bimbang.
Hingga tiba-tiba saja. Terdengar bunyi perut Indry. Seketika wajah Indry memerah karena malu.
Bisa-bisanya perutnya itu berbunyi di saat yang tidak tepat. Benar-benar memalukan.
"Nona, apa Anda mau kalauz kita mampir dulu ke tempat makan?"
"Nggak. Nggak perlu," tolak Indry.
Namun, lagi-lagi suara perutnya berbunyi. Ingin rasanya, Indry mengutuk para cacing perutnya itu. Bikin malu saja.
Louis menahan tawanya yang hampir pecah. "Sudahlah. Tidak usah malu Nona. Kita hanya sebentar kok."
Akhirnya, ia melajukan mobilnya. Louis akan mengajak Indry ke tempat makan langganan dan favoritnya itu. Entah itu Indry suka atau tidak. Entahlah. Lihat saja nanti.