Arini telah tiba di villa milik Ardan, dia segera mengetuk pintu utama. Rasanya sedikit berbeda, setelah sebelumnya mereka mempunyai hubungan walaupun hubungan itu hanya sementara.
Pintu pun terbuka, dilihatnya Ardan yang masih mengenakan celana pendek dan kaos oblongnya.
"Rupanya kau, Arini, masuklah!" kata Ardan dengan suara khas orang bangun tidur.
"Iya, Kak Ardan mau sarapan sekarang? Kalau iya akan aku buatkan," tanya Arini
"Nanti saja, aku masih ingin tidur," jawab Ardan sambil menutup mulutnya yang menguap.
Dibalas anggukkan oleh Arini dan dia pun segera memulai pekerjaannya.
15 menit sudah Arini mengerjakan pekerjaannya, dari mengepel lantai, membersihkan furnitur-furnitur dan sekarang tugasnya tinggal mencuci pakaian milik Ardan. Ia pun mengambil keranjang pakaian kotor dan menaiki anak tangga menuju kamar milik Ardan.
Langkahnya terhenti saat melangkahi anak tangga terakhir menuju kamar Ardan, dilihatnya pintu kamar yang masih tertutup rapat.
'Apa mungkin dia masih tidur? Kalau aku masuk nanti dia bisa terbangun, nanti aja deh. Tapi tugas ini gak akan cepat selesai, sudah beberapa hari tidak mencuci bajunya'
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di otak gadis itu sambil mondar-mandir seperti setrika. Akhirnya dengan mantap hati, Arini pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar milik Ardan.
Dibukanya handle pintu secara perlahan, ternyata kamar mewah itu tidak terkunci. Ia pun masuk ke dalam, dilihatnya kamar itu dengan kagum. Matanya menelusuri tiap sudut kamar dengan nuansa putih itu. Tempat tidur dengan ukuran king size, sofa yang menghadap balkon dan deretan buku yang tersusun rapi. Rupanya pemuda tampan itu memiliki hobi yang sama dengannya yaitu membaca.
'Kemana dia? Kenapa kamarnya kosong? Mungkin sedang jalan-jalan sekitar villa.'
Tanpa berpikir lagi, Arini menuju kamar mandi yang masih tertutup. Langkahnya terhenti saat melihat buku berwarna biru ada di atas nakas dekat tempat tidur Ardan. Didekatinya nakas itu, dugaannya benar, buku berwarna biru itu memang miliknya yang hilang. Saat hendak mengambil buku itu pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan seorang pemuda yang baru selesai mandi dan masih menggunakan handuk yang melilit di tubuh jangkungnya.
Arini yang melihat itu langsung memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.
"Arini? Kau mengagetkanku saja," ujar Ardan seraya mengusap rambutnya masih basah dengan handuk kecil.
"A–aku ingin mengambil pakaian kotor milik Kak Ardan," jawab Arini dengan gugup.
"Oh... silahkan, aku juga sudah selesai mandi."
Arini pun meninggalkan Ardan yang tersenyum tipis melihat tingkah malu Arini dan dia berlalu menuju ruang ganti.
Selesai mengambil pakaian kotor, Arini cepat-cepat keluar dari kamar Ardan.
"Kenapa aku jadi deg-degan?" tanya Arini dalam hati.
Beberapa menit, Ardan keluar dengan turtleneck hitam dan celana berwarna senada, tidak lupa jam mahalnya yang tidak pernah terlupakan. Rambut yang berwarna perak kebiruan dengan memperlihatkan jidat paripurnanya, sangat mirip dengan oppa-oppa Korea. Ia pun menuruni anak tangga sambil memanggil Arini.
"Arini! Arini ... kemana gadis itu?" sambil berjalan mencari keberadaan gadis itu.
Rupanya gadis itu sedang berada di tempat mencuci baju dekat dapur.
"Rupanya kau di sini?"
Arini yang mendengar seseorang berbicara pun menoleh "Ada apa, Kak?" tanyanya.
"Apa kau sudah selesai?"
"Hampir selesai,"
"Bisakah kau buatkan aku susu pisang dan roti omelette?"
"Baik, akan aku buatkan."
Arini segera beranjak dari tempatnya dan mulai menuju dapur membuatkan sarapan untuk suami sekaligus majikannya. Sedangkan Ardan tengah duduk di meja makan sambil sibuk dengan ponselnya.
Tidak butuh waktu lama, sarapan yang dibuat Arini pun sudah selesai. Ia pun segera menghampiri Ardan yang berada di meja makan.
"Silahkan, Kak!" seraya meletakkan segelas susu pisang dan roti omelet di meja Mata Arini melirik sejenak benda pipih yang sedang digunakan Ardan.
"Berapa banyak ponsel yang dia punya? Bukankah kemarin ia memberikannya kepadaku? Sekarang dia punya lagi? Haahh ... Orang kaya," gumam Arini dalam hati.
"Terima kasih," ucap Ardan.
"Kalau Kakak butuh sesuatu panggil saja, aku ada di atas menjemur pakaian!"
"Kau mau kemana? Temani aku sarapan!" pinta Ardan sambil memegang pergelangan tangan Arini yang hendak beranjak meninggalkannya.
Tanpa menolak Arini pun menurutinya. Ia duduk di samping kursi milik Ardan, Arini hanya diam dan berusaha tidak melihat pemuda tampan di depannya.
Disela-sela makan Ardan membuka percakapan.
"Kau sudah sarapan, Arini?"
"Sudah, Kak" jawabnya singkat.
"Bisakah kau bersikap selayaknya kakak dan adik terhadapku? Sikapmu terlihat seperti pembantu kepada majikannya," ujar Ardan menghentikan aktivitas mengunyahnya.
"Tapi Kakak memang majikanku, dan aku harus menghormatinya," jawab Arini sedikit gugup.
"Tidak perlu terlalu menghormatiku, bukankah aku sudah pernah bilang padamu anggap aku seperti kakakmu," jelas Ardan yang sedikit mengerutkan keningnya.
"Baiklah," jawab Arini seraya menunduk.
"Soal bukumu, bolehkah itu untukku?"
"Apa Kakak melihat semua isi dalam buku itu?" tanya Arini dengan intonasi tinggi.
"Tentu saja, lukisanmu bagus. Apa arti dari semua lukisan itu?" tanya Ardan penasaran.
"Itu hanya lukisan iseng yang aku buat saat tidak ada kegiatan."
"Oh ..., seperti waktu itu, hahaha ... aku kira dulu kau makhluk." Ardan terkekeh jika mengingat itu.
"Makhluk?" tanya Arini terkejut.
"Iya, habisnya kau menghilang begitu saja saat aku ingin menghampirimu beberapa kali."
"Apa Kakak sering melihatku di tempat itu?" tanya Arini polos dengan wajah yang terkejut.
"Tentu saja, kau gadis yang lucu." sambil mengacak-acak rambut Arini.
Arini yang diperlakukan seperti itu hanya tersenyum datar sambil membetulkan rambutnya.
"Jadi boleh 'kan buku itu untukku?" tanya Ardan lagi.
"Ya boleh."
"Baiklah, aku harus segera berangkat. Kau lanjutkan pekerjaanmu!"
"Iya, Kak."
"Oh iya Arini, untuk beberapa hari ini mungkin aku tidak pulang. Aku harus ke Jakarta untuk mengurus pekerjaan baruku di sana. Ini kunci villanya, aku sudah bawa satu. Dan ini gajimu untuk bulan ini." memberikan amplop berwarna coklat kepada Arini.
Dilihatnya amplop yang terlihat sangat tebal itu. "Kak, ini terlalu banyak?"
"Tak apa, itu untuk kebutuhanmu selama aku tinggal dan maaf aku tidak bisa mengantarmu ke rumah sakit."
"Ta-tapi, Kak."
"Tidak ada tapi-tapian, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik, akan aku sempatkan menghubungimu."
Bagaimana pun Arini adalah istrinya walaupun untuk saat ini dia hanya menganggapnya adik. Karena kesalahannya juga gadis malang ini harus menerima fitnahan dari warga desa. Melihat keadaan hidup Arini yang berbeda dengannya, hati Ardan tergerak untuk selalu menjaga dan menolongnya.
Setelah itu, Ardan beranjak dari kursi dan mengecup kening Arini dengan lembut. Arini yang menerima kecupan singkat itu hanya terdiam seperti patung, dia tidak menyangka Ardan mencium kening secara mendadak.
Ardan yang melihat itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan Arini yang masih terdiam. Pemuda itu memang suka sekali menggoda kepolosan Arini, dengan tingkah lakunya.
Deg ... deg ...
Jantung Arini berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan jantungku?" ucap Arini lirih.