Betapa terpukul hati Arini mendengar penjelasan dari dokter yang menangani ibunya, yang membuat dirinya terpukul lagi, yaitu biaya terapi yang harganya sangat mahal, dapat dari mana dia uang untuk membayarnya, sedangkan dia baru lulus sekolah tadi pagi. Harusnya ia sekarang bahagia karena kelulusannya ini, tapi sebaliknya, ia malah mendapat musibah.
Dengan langkah lemas Arini berjalan menuju ruang ibunya di rawat. Bagaimana pun caranya ia harus kuat dengan keadaan ini. Setelah dia pulang nanti, dia akan mencari pekerjaan untuk mencari tambahan uang berobat ibunya, karena tabungan yang Arini punya belum cukup untuk biaya rumah sakit yang mahal.
Arini masuk ke dalam ruangan ibunya, dilihatnya sang ibu yang masih belum sadar karena pengaruh obat.
Air mata Arini jatuh, ia tidak kuasa menahan rasa sedihnya, rasanya tidak tega melihat sang ibu yang terbaring lemah seperti itu.
"Ibu harus kuat ya, Buk, Arini di sini buat ibu," ucap Arini sambil mencium punggung tangan ibunya.
Cklek ...
Pintu kamar terbuka ketika seseorang masuk dengan membawa paper bag di tangannya.
"Arini, aku membelikan makanan untukmu, makanlah!" ucap Ardan seraya meletakkan paper bag itu di meja dekat tempat tidur.
"Terimakasih, Kak, tapi aku sedang tidak lapar," jawab Arini.
"Kau harus makan, jangan sampai kau sakit. Siapa yang akan menjaga ibumu kalau kau sakit?" tutur Ardan.
Arini tdak mendengarkan apa yang dikatakan Ardan, otaknya mendadak mengingat sesuatu. Arini segera beranjak dari duduknya.
"Kak, bisa tolong jaga ibuku, aku ada urusan sebentar," ucapnya.
"Hei ... kau mau kemana?" teriak Ardan yang mana tidak di dengar oleh Arini.
Ternyata Arini pergi ke tempat administrasi, beberapa orang di rumah sakit itu menatapnya dengan tatapan aneh karena dia masih menggunakan kebaya berwarna pastel. Arini belum sempat mengganti pakaiannya yang dia kenakan untuk acara kelulusan tadi pagi, karena dia terburu-buru ingin menemui ibunya. "Permisi, Suster, saya mau menanyakan biaya administrasi atas nama Rahmi Pratiwi?" tanya Arini.
"Sebentar ya, Mbak!" jawab Suster itu. "Biaya administrasi atas nama Ibu Rahmi Pratiwi sudah lunas, Mbak."
Arini sontak terkejut. "Talpi, Sus, seingat saya, saya belum membayarnya sama sekali."
"Memang bukan Mbak yang membayarnya, tapi pemuda berkemeja putih yang bersama Mbak tadi yang membayar semua biaya administrasinya," ucap suster itu.
"Kak Ardan?" gumam Arini dalam hati.
"Suaminya Mbak ya? Ganteng tenan to wajahnya kaya oppa-oppa Korea," ucap suster itu sambil tersenyum membayangkan wajah Ardan.
"Bu–bukan, dia bukan suami saya, hanya teman," elak Arini dengan tersenyum paksa.
"Masa sih? Saya kira dia suaminya Mbak. Padahal serasi loh, Mbaknya cantik Mas-nya juga ganteng. Mana Mas-nya pakai kemeja putih dan mbaknya pakai kebaya lagi, kaya orang habis selesai akad nikah," sahut suster yang ada di sebelahnya lagi.
"Hehe ..., bukan, saya sehabis dari acara kelulusan sekolah saya, belum sempat berganti pakaian," jawab Arini dengan tersenyum kecut.
"Gara-gara kebaya ini, aku dikira habis dari akad nikah, mana tuh orang pakai kemeja putih lagi. Ya ampun ... mau ditaruh mana ini wajah," celoteh Arini dalam hati
Setelah itu Arini meninggalkan kedua suster tersebut.
Sampai di depan pintu ruang rawat ibunya, Arini melihat Ardan yang keluar.
"Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Ardan.
"Su–sudah, sudah selesai," jawab Arini dengan senyum terpaksa.
Ardan tertawa mendengar jawaban dari Arini yang terlihat sedikit gugup, dia menyukai karakter Arini yang jarang berbicara, namun ketika gadis itu berbicara terlihat lucu baginya.
"Ada yang lucu?" tanya Arini dengan polos.
Menahan tawanya, "Emm ... tidak, tidak ada. Lebih baik kamu pulang terlebih dahulu," kata Ardan.
"Aku tidak akan pulang sebelum ibuku terbangun, aku ingin menjaganya di sini," jawab Arini.
"Kau serius tidak ingin pulang? Tidak kesulitan dengan pakaianmu itu?" ucap Ardan sambil melihat penampilan Arini yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Arini berfikir. "Apa yang dikatakan kak Ardan ada benarnya juga, aku sedikit susah berjalan karena kebaya ini," gumamnya dalam hati.
"Baiklah aku akan pulang, tapi setelah itu aku akan kembali ke sini lagi," ucap Arini.
"Terserah kau saja!" ujar Ardan seraya menggidikkan bahu.
Sesampainya, Arini keluar dari mobil milik Ardan. "Kak, terimakasih sudah mengantarkan ku pulang," ucapnya sambil menundukkan kepalanya.
Entahlah, setelah ucapan dari kedua suster di rumah sakit tadi membuat dia malu untuk menatap wajah Ardan.
"Sama-sama, kalau begitu aku pulang dulu." Ardan pun beranjak dari tempatnya berdiri, namun langkahnya terhenti ketika Arini memanggilnya.
"Kak Ardan!" panggil Arini dengan sedikit ragu-ragu.
Ardan lalu menoleh ke arah Arini yang memanggilnya. "Ya?" sahutnya.
"So-soal biaya rumah sakit yang Kak Ardan lunasi, aku janji akan membayarnya nanti kalau aku sudah bekerja," ucap Arini.
Ardan tersenyum tipis. "Ternyata gadis sudah tahu," gumamnya dalam hati. "Serius kau akan membayarnya?"
"Tentu saja," jawab Arini dengan yakin.
"Kalau begitu kau cukup menjaga dan membersihkan villa ku saja, eem ... dan membuatkan aku masakan yang enak! Bagaimana?" tawar Ardan.
"Hanya itu? Apa Kakak tidak mau dibayar dengan uang?" tanya Arini polos.
"Hahaha ... tentu saja mau. Tapi uangku sudah banyak, jadi kau tidak perlu membayarnya, kau cukup lakukan yang aku katakan tadi saja."
Arini berfikir kenapa pemuda itu tertawa dengan pertanyaannya? Apa ada yang lucu? Aneh? Lamunan Arini tersadar karena namanya dipanggil.
"Mbak Arini!" panggil Rizky yang muncul dari balik pintu.
"Ada apa, Ki?" tanya Arini.
"Mbak, aku lapar dari tadi siang belum makan," ucap bocah kecil yang berumur 10 tahun itu dengan polos.
Arini berlari menghampiri Rizky. "Sssttt ... jangan keras-keras kalau ngomong, nanti Mbak masakan buat kamu!" bisik Arini pada Rizky sambil mengusap puncak kepala adik keponakannya itu dengan lembut.
Ardan yang mendengar perbincangan kakak beradik itu pun tersenyum simpul sambil berjalan menuju mobilnya meninggalkan Arini dan Rizky yang sudah masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
Satu jam kemudian.
Tok ... tok .. tok ...
Suara ketukkan dari rumah sederhana yang di huni tiga orang itu terdengar saat gadis berambut hitam lebat baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, ia pun berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
Membuka knop pintu, aroma maskulin yang ditimbulkan pemuda dengan lesung pipinya masuk ke sela-sela hidung kecil Arini. Ia sedikit mengenali aroma parfum itu.
Gadis itu sedikit terperanjat melihat sosok yang ada di depannya, matanya mengerjap berkali-kali.
"Kak Ardan, ada–" ucapannya terhenti saat Ardan menyelanya.
"Boleh aku masuk?" tanya Ardan.
"Bo–boleh," jawab Arini.
Beribu pertanyaan ada di otak Arini sekarang, dia pun berjalan dengan sedikit kebingungan. Kebingungan yang ada di otaknya membuat dia tidak memperhatikan keadaan sekitar, kaki Arini menabrak pinggiran meja ruang tamu yang menyebabkan tubuhnya tidak seimbang dan akhirnya Arini terjatuh menimpa Ardan yang tengah duduk di kursi kayu, tubuh Arini menindihi tubuh Ardan. Posisi mereka kini saling berhadapan, dengan jarak yang hanya satu inci. Kedua bola mata mereka saling bertautan, waktu terasa berhenti. Keduanya saling terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Wajah Arini seketika memerah, ada hawa panas yang menyelimuti kedua pipi cabinya. Perasaan antara malu dan bodoh, untuk pertama kali dalam hidupnya dia bertatapan dengan seorang laki-laki dalam jarak sedekat itu.
Sedangkan Ardan, dia juga sangat terkejut dengan kejadian yang mendadak ini, namun juga menguntungkan untuknya karena dia bisa melihat wajah Arini secara lebih dekat dengan posisi yang mungkin membuat orang yang melihatnya menjadi salah paham.
Perlahan wajah Ardan mendekat, matanya menelusuri setiap inci wajah gadis di depannya itu. "Gadis ini ternyata cantik juga," ungkapnya dalam hati. Lalu matanya menatap lekat bibir mungil milik Arini.
Situasi seperti ini membuat jantung Arini berdegup sangat kencang, darahnya mengalir dengan cepat kala Ardan mendekatkan bibirnya ke bibir milik Arini. Walaupun dia masih remaja, tapi dia tidak sebodoh itu untuk mengetahui keadaan seperti ini, buru-buru Arini menyadarkan dirinya dari pesona Ardan.
Saat Arini ingin mengakhiri adegan hampir berciuman itu, tiba-tiba terdengar teriakkan seorang wanita yang sangat keras dari luar.