Pagi pun tiba, hujan pun juga sudah mulai reda. Sejak kemarin malam hujan memang sangat deras mengguyur daerah tersebut, Ardan terbangun dengan wajah bantalnya yang tetap terlihat tampan. Dia pun pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi, butuh niat kuat untuk mandi di daerah yang sangat dingin ini walaupun dengan air hangat sekali pun, setelahnya juga tetap merasakan dingin.
Ardan turun ke lantai satu dan menuju dapur untuk mengambil air minum. Dia sedikit terkejut melihat sosok yang sedang sibuk dengan kegiatan memasaknya itu, ia hampir lupa kalau dia tidak sendiri di villa ini. Ada gadis yang menginap di sini tadi malam.
"Waahh ... harum sekali masakanmu, kau sungguh menepati janjimu tadi malam." seraya duduk di kursi pantry.
Arini pun menoleh ke arah pemuda itu, dan tidak sengaja mata mereka saling bertemu. Tiba-tiba saja jantungnya kembali berdegup sangat kencang, dan dia langsung mengalihkan pandangannya.
Huuff ...
Berusaha menenangkan dirinya yang sedari tadi gugup ketika bertatapan dengan pemuda bermata hitam ke abu-abuan itu.
"Saya tidak tau makanan apa yang Anda suka, jadi saya buatkan sandwich telur dan susu pisang untuk sarapan." sambil menyerahkan satu piring dan segelas jus pisang susu kepada Ardan yang sedari tadi menatap setiap gerak-geriknya.
"Aku menyukai semua jenis makanan asalkan itu enak," jawabnya santai.
"Kalau begitu saya tinggal bersih-bersih dulu, jika anda butuh sesuatu panggil saja saya," berlalu meninggalkan dapur, tapi ketika Arini hendak berjalan melewati Ardan. Pemuda itu mencekal lengan Arini.
"Bisakah kau membantuku menghabiskan sarapan ini! Ini terlalu banyak untukku," alasannya agar dia bisa mengobrol dengan gadis datar tersebut.
Mengercitkan keningnya,
"Banyak dari mana? kalo yang makan itu mah kurang, dasar orang kaya. Takut makan banyak" batinnya bingung.
"Tidak, saya sudah sarapan tadi" sembari melepaskan cekalan tangan Ardan di lengannya. Arini memang sedikit sirih ketika disentuh oleh laki-laki apalagi dengan orang yang tidak dia kenal.
"Maaf, ayolah... sebenarnya aku tidak terbiasa makan tanpa ada yang menemani," katanya sedikit memohon.
Kebiasaan Ardan sejak kecil memang selalu ditemani maminya ketika makan, kebiasaan itu pun berlangsung sampai sekarang.
Arini pun akhirnya menurutinya dan duduk di samping Ardan.
"Ini untukmu." menyerahkan satu piring berisi sandwich telur satu lagi kepada Arini.
"Terima kasih"
Saat mereka makan tidak ada obrolan diantara mereka, hanya suara garpu dan piring yang saling bertautan. Situasi yang paling tidak disukai Arynni.
"Setelah pekerjaanmu selesai, saya akan mengantarkanmu pulang, sekalian saya ingin ke rumah paman Danu," kata Ardan
"Kau libur sekolah 'kan?"
hanya dibalas dengan anggukan oleh Arini, "Tapi sebelum saya pulang, saya harus menggantikan ibu saya membersihkan villa ini"
"Oke, baiklah aku akan menunggumu sampai selesai
Beberapa jam berlalu.
Ardan menghampiri Arini yang masih sibuk membersihkan kolam renang yang memang banyak sekali daun berjatuhan di sana karena memang tadi malam hujan dan anginnya cukup kencang.
"Apa sudah selesai?" tanya Ardan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya
"Sebentar lagi." tanpa menoleh sedikitpun.
"Hem... baiklah akan ku tunggu." duduk di kursi di dekat kolam renang yang ukurannya tidak terlalu besar.
Ardan yang tengah sibuk menikmati pemandangan sesekali melirik Arini yang sibuk membersihkan kolam dengan alat yang berukuran panjang, nampaknya gadis itu agak kesulitan karena alat yang di gunakannya cukup berat dan panjang sedangkan tubuh gadis itu kecil dan kurus. Ardan pun tersenyum melihatnya dan berjalan menghampiri gadis itu.
"Kau butuh bantuan?" menawarkan diri.
"Tidak perlu, ini sudah selesai." sambil mengusap peluhknya di kening
"Istirahatlah dulu!" lalu dia masuk ke dalam villa.
Secepat kilat pemuda itu kembali dengan air mineral di tangannya. "Ini minumlah!" menyodorkannya kepada Arini.
"Terima kasih," 0 jawabnya datar.
Selesai dengan tugasnya Arini, keluar bersama Ardan.
"Kita jalan kaki saja bagaimana? iItung-itung olahraga," ajak Ardan.
"Terserah saja."
Arini pun mengambil sepedahnya yang sejak malam tadi ia tinggalkan di bawah pohon.
"Ya ampun... barang titipan ibu. Aku lupa." gadis itu baru ingat tentang barang yang dititipkan padanya.
Ardan yang mendengar itu, menghampiri Arini. "Tidak apa, aku sudah minta pak Danu membuatnya lagi."
"Benarkah tidak apa-apa? Maaf..."
"Iya."
Di perjalanan pulang, mereka ditemani udara dingin dan embun-embun yang masih melekat pada daun-daun hijau. Damai sekali...
Arini dan Ardan berjalan kaki sambil menuntun sepeda milik Arini yang ia gunakan ke villa tadi malam.
"Ibumu sakit apa?" membuka percakapan.
"Hanya kelelahan," jawab Arini singkat.
"Ouwh... begitu ya"
"hemm..." jawaban yang sangat singkat.
Ardan pun bingung harus berbicara apa lagi kepada gadis itu, karena dia tipe orang yang dengan mudah berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Tapi Arini gadis yang susah untuk di ajak berbicara apalagi bercerita. Setelah percakapan singkat itu mereka pun berjalan tanpa ada yang bersuara.
Tak terasa mereka sudah sampai dipesimpangan jalan yang mana rumah Arini berada di arah barat sedangkan rumah Danu ada di sebelah utara. Mereka pun berhenti.
"Terima kasih sudah mau menuntun sepedah saya dan mengantarkan saya pulang. Kalau begitu saya permisi." sambil membungkukkan sedikit badannya.
"Sama-sama. Rumahmu ke arah barat sana ya?" tanya nya sambil menyerahkan sepeda berwarna biru tersebut kepada Arini.
"Iya"
Arini pun berlalu meninggalkan Ardan yang masih terdiam memandangi Arini. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, akhirnya dia pun berlari mengejar Arini yang belum terlalu jauh.
"Heii tunggu...!" sambil sedikit berlari.
Arini pun menoleh.
"Ada apa?" tanyanya sedikit bingung.
"Aku hampir lupa, siapa namamu? Aku Ardan, panggil saja aku Kak Ardan." mengulurkan tangannya.
Arini yang mengerjapkan matanya berkali kali pun membalas jabatan tangan Ardan.
"Arini"
Ardan pun tersenyum.
" A r i n i " mengeja huruf nama Arini.
"Oke, akan aku ingat namamu. Terimakasih sudah membuatkanku sarapan tadi, aku menyukainya," kata Ardan.
"Sama-sama," Arini pun melepaskan jabatan tangannya dari Ardan. Dan dia pun pergi.
**
Beberapa bulan sudah berlalu, Arini pun sekarang sudah mulai ujian untuk kelulusannya.
Di kantin.
"Es batu, rencana kamu habis lulus ini apa?" tanya Mirae.
Arini yang sedang meminum minumannya pun dengan muka datarnya menjawab.
"Cari kerja."
"Kamu gak nerusin kuliah?" tanya Mirae sedikit terkejut
"Enggak, males mikir. Kasian otakku sudah beberapa tahun mikir terus," jawab Arini datar.
"Yahh... kita ga bisa barengan lagi deh, aku bakalan kangen sama kamu," sambil bergelayut di bahu Arynni.
"Apaan sih lebay, rumah juga deket pake kangen segala," gerutu Arini.
"Biarin dong."
"Ya ya ya ya"
"Eh... Arynni kamu tau gak penyanyi pendatang baru ini?" seraya menunjukkan gambar yang ada di ponselnya.
"Enggak tau," memutar bola matanya malas.
"Ya ampun es batu, kamu gak pernah liat tv ya? Masak artis aja gak tau. Kudet banget," sindir Mirae sambil memajukan bibir bawahnya.
"Gak penting"
"Ya penting lah untuk asupan kehaluan, hahah, dia tuh ya udah ganteng, suaranya bagus, sexy lagi, pengen deh ketemu dia" ucap Mirae.
"Yooh mimpi sana yang tinggi biar sekalian bertemu malaikat terus nyawamu sekaligus di ambil, jadi malaikat gak perlu susah-susah turun ke bumi hanya untuk mengambil nyawamu," jawab Arini ketus.
"Astaga, teganya kamu Arini. Kamu mau aku mati dan kamu gak punya temen lagi? " kata Mirae sedikit kesal, Mirae sudah terbiasa dengan sikap dingin Arini dan mulut pedasnya itu.
Arini menanggapinya hanya tersenyum tipis.
Bel pun berbunyi, kedua sahabat itu pun meninggalkan kantin dan pergi ke kelas mereka.