Sang surya sudah mulai mengakhiri tugasnya, kini berganti dengan sang dewi rembulan yang memulai tugasnya.
Pernikahan yang terjadi karena hal konyol itu dilaksanakan 30 menit yang lalu, tanpa ada yang istimewa. Istimewa? Mana mungkin, pernikahan ini bertujuan hanya untuk sementara.
Pasangan yang baru saja menikah itu, kini tengah duduk di sofa rumah milik Danu. Setelah melangsungkan pernikahan dadakan itu, Ardan sengaja mengajak Arini ke rumah Danu untuk melakukan sesuatu.
Wajah gadis remaja itu tampak datar, tatapannya juga kosong. Sedangkan Ardan tengah duduk santai sambil memainkan ponselnya. Pemuda itu begitu tenang menghadapi kekacauan yang baru saja terjadi, tanpa ada tanda-tanda bersalah.
Mirae yang baru saja datang bersama ibunya setelah berbelanja sedikit terkejut karena melihat Arda, Arini dan juga Rizky berada di rumahnya.
"Es batu? Tumben kesini malam-malam? Mau nonton drakor bareng ya? Tapi kok sama Rizky," cecar Mirae dengan polos.
Arini yang ditanya hanya tersenyum kecut.
"Ada Kak Ardan juga? Kebetulan banget aku sama Mama beli 2 pizza ukuran jumbo, jadi kita bisa makan-makan bareng," ucap Mirae lagi.
Danu yang baru saja keluar dari ruang kerjanya menghampiri istri dan anaknya yang baru saja datang itu dan menyuruh istrinya untuk membuatkan minuman.
"Nduk, yang sopan kalau bicara, 'kan ada Kak Ardan," ucap Danu seraya duduk dengan kertas di tangannya.
"Apaan sih Pa, lebay deh." memonyongkan mulut layaknya bebek.
"Sudah cepat bersihkan diri kamu! Papa ada urusan sama Kak Ardan dan Arini, sekalian ajak Rizky ke kamar kamu ya!"
Mirae pun menurut ia pergi ke kamarnya bersama Rizky sambil melambaikan tangan kepada Arini, yang hanya dibalas Arini dengan anggukan.
"Ini Nak Ardan surat perjanjiannya, silahkan dibaca dulu!" menyodorkan selembar kertas.
Ardan pun mengambil kertas tersebut dan membacanya, setelah itu memberikannya kepada Arini yang duduk tidak jauh darinya.
"Apa ini?" tanya Arini.
"Baca aja dulu!"
Arini pun membaca selembar kertas itu. "Surat perjanjian pernikahan?" gumam Arini dalam hati.
"Sudah bacanya?" tanya Ardan.
"Sudah."
"Bagaimana, apa kau setuju? Atau ada yang mau diubah?" tanya Ardan lagi.
Arini menggelengkan kepala.
"Kalau begitu kau setuju?"
"Iya." jawab Arini singkat. "Mungkin dengan surat perjanjian ini aku bisa menjaga diriku dari laki-laki ini."
Danu pun mengangguk mengerti. "Kalau begitu, silahkan tanda tangan dulu!" menyerahkan bolpoin kepada Ardan.
Setelah menandatangani surat perjanjian, Arini dan Rizky pun pergi menuju rumah sakit dengan diantar oleh Ardan, karena memang tujuan awal Ardan menemui Arini tadi dia ingin mengantar ke rumah sakit menemui Rahmi
Di perjalanan menuju rumah sakit, hanya suara lalu lalang pengendara yang terdengar tanpa ada yang berbicara satupun dari mereka. Situasinya sekarang menjadi canggung, Arini yang sedang memangku kepala Rizky yang sudah tertidur hanya memandangi jalanan kota Malang dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Sedih dan takut bercampur aduk dalam hatinya. Setelah ini apalagi yang akan terjadi pada kehidupannya.
Mobil mewah Ardan telah sampai di parkiran rumah sakit tersebut, mereka bertiga keluar.
Sampai di ruang tempat ibunya dirawat, Arini, Rizky serta Ardan pun masuk. Di sana ada seorang dokter dan suster yang lagi memeriksa tekanan darah Rahmi.
"Selamat malam, kalian anak-anak ibu Rahmi?" tanya dokter itu.
"Iya, bagaimana keadaan ibu saya, Dokter?" tanya Arini.
"Tekanan darah ibu Anda tinggi, jadi harus selalu di jaga pola makan dan jangan memikirkan sesuatu yang berlebihan. Untuk kondisinya sekarang sudah sedikit membaik," jelas Dokter itu.
"Syukurlah ... terima kasih, Dokter."
"Sama-sama, oh iya waktu besuknya tinggal 15 menit lagi ya," kata Dokter itu seraya melihat jam yang ada di tangan kanannya lalu berpamitan untuk pergi.
"Iya, Dokter."
"Ibu tidak apa-apa 'kan? Ada yang masih sakit?" tanya Arini seraya berjalan menghampiri ibunya.
"Ndak apa-apa, Nduk. Ibu baik-baik aja malah udah mendingan," jawab Rahmi dengan senyum bahagia.
"Buk, cepet sembuh ya, nanti Kiki bantuan deh kalo panen sayur biar ibu gak kecapekan lagi," celetuk bocah yang masih duduk di kelas 6 sekolah dasar itu.
"Belajar yang rajin dulu, baru nanti bantu ibuk," tutur Rahmi seraya mengusap puncak kepala cucunya itu.
Ardan yang melihat itu tersenyum, ada rasa haru dihatinya. Karena walaupun dia memiliki keluarga tapi tidak sehangat ini, ibunya meninggal setelah almarhum ayahnya yang menikah lagi. Itulah yang membuat dia merasa merindukan kehangatan sebuah keluarga. Dulu ia tinggal bersama nenek, ibu dan adik tirinya. Setelah ibu tirinya menikah lagi dia hanya tinggal bersama neneknya.
"Ada Tuan Ardan rupanya, terimakasih sudah repot-repot mengantarkan Arini ke sini," ucap Rahmi. Sebenarnya Rahmi tidak ingin melihat pemuda di depannya ini, hatinya merasa sakit jika tahu kalau Ardan cucu dari seseorang yang membunuh suami dan anaknya.
"Saya merasa tidak kerepotan , Ibu Rahmi, sudah seharusnya 'kan kita saling membantu," jawab Ardan sopan.
Arini merasa bersalah kepada ibunya atas peristiwa tadi sore yang menyebabkan dia menikah di usianya yang sangat muda. Walaupun itu hanya menikah secara siri.
"Kak Ardan, aku ingin bicara sebentar!"
Arini menarik tangan Ardan untuk mengikutinya. Rahmi yang melihat sedikit bingung. Sudah sedekat itukah majikannya dengan putrinya? Pikir Rahmi.
"Kak Ardan, bisakah Kakak merahasiakan soal kejadian tadi sore kepada ibuku? Aku takut ibu akan tambah sakit mendengarnya," pinta Arini
"Iya tidak masalah, aku akan merahasiakannya."
Setelah itu mereka kembali masuk ke dalam ruangan ibunya dan berpamitan untuk pulang karena jam besuknya sudah habis.
**
Sesampainya di rumah Arini, Rizky yang tertidur digendong Ardan untuk masuk ke dalam rumah karena Arini tidak tega untuk membangunkan adiknya yang terlihat sangat pulas.
Arini yang baru keluar dari kamar Rizky pun menghampiri Ardan yang duduk di ruang tamu.
"Kak, mau aku bikinin minum?" tanya Arini basa-basi, sebenarnya Arini bukan tipe yang suka berbasa-basi. Dia akan langsung ke topik pembicaraan, karena menurutnya berbasa-basi itu membuang-buang waktu. Tapi tidak untuk saat ini, karena Arini merasa sungkan terhadap Ardan yang sudah banyak membantunya walaupun di dalam hatinya merasa kesal.
"Tidak usah. Arini, aku minta maaf ,aku tidak bermaksud membuat semua ini menjadi kacau," ucap Ardan sambil memandang Arini.
"Tak apa Kak, ini sepenuhnya bukan salah Kakak. Aku juga terlalu ceroboh," jawab Arini datar.
Ada rasa benci terhadap pemuda di depannya ini, namun karena kebaikannya rasa marah itu berusaha dia lenyapkan.
"Kalau kau masing terlalu canggung dengan hubungan kita yang sekarang, kau boleh menganggap aku kakakmu. Agar kita bisa lebih akrab," ujar Ardan.
"Oh iya ... " seraya mengambil sesuatu di dalam saku celananya. "Ini, pakailah ...!" menyerahkan benda pipih canggih itu kepada Arini
Arini yang melihatnya sedikit bingung, untuk apa benda itu diberikan kepadanya?
"Maksudnya?" tanya Arini tidak mengerti.
"Sebagai permintaan maaf ku, pakailah ponsel milikku ini! Memang ini bukan baru, aku akan membelikanmu yang baru setelah aku pulang dari Jakarta nanti. Tapi setidaknya ini bisa membantumu menghubungi pihak rumah sakit untuk menanyakan kabar ibumu."
"Tidak perlu, Kak, aku bisa langsung ke rumah sakit untuk menanyakan kondisi ibuku," tolak Arini dengan sopan.
"Jarak rumah sakit dengan rumahmu sangat jauh, belum lagi kau harus menaiki bus untuk sampai ke sana. Itu akan menguras uangmu," jawab Ardan.
Sejenak Arini berfikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan pemuda itu. Belum lagi uangnya juga untuk kebutuhan yang lain, tapi dia tidak enak hati bila terus merepotkan pemuda ini.
Akhirnya Arini memutuskan untuk menerima ponsel milik suami sirinya itu.
"Baiklah ... aku janji akan mengganti semuanya, Kak dan kita bisa lepas dari pernikahan siri ini," ujar Arini.
"Bukankah aku sudah pernah bilang, Kau cukup merawat villaku saja."
"Tidak, Kak. Aku akan usahakan akan membayarnya."
"Keras kepala! Baiklah, Aku harus pulang. Jika kau butuh sesuatu hubungi aku jangan sungkan." Ardan pun berdiri dari duduknya dan mengusap puncak kepala Arini dengan lembut.
Arini tertegun dengan perlakuan Ardan kepadanya, baru pertama kali dia diperlakukan seperti ini oleh seorang laki-laki kecuali ayahnya. Wajahnya seketika memerah, ada rasa panas menyelimuti kedua pipi cabinya. Malu? Mungkin itu yang dia rasakan.
Ardan yang tidak mengetahuinya pun berlalu begitu saja menuju mobilnya. Gadis itu pun juga masuk ke dalam rumah untuk mengistirahatkan tubuh dan otaknya, hari yang sangat melelahkan bagi Arini.
**
Pagi sudah datang, aktivitas pun juga sudah dimulai. Jam menunjukkan pukul 06.30 WIB, Arini tengah sibuk memasak nasi goreng untuk sarapan dirinya dan Rizky. Rizky kala itu baru selesai mandi karena hari ini dia harus masuk sekolah.
"Mbak Arini, nanti kalau ke rumah sakit aku ikut ya, Mbak? Masa aku di rumah sendirian terus?" ujar Rizky ambil mengancing baju seragamnya.
"Iya Ki, habis ini Mbak mau ke villa dulu untuk bersih-bersih. Kalau kamu sudah pulang sekolah nanti Mbak belum pulang, kamu tungguin, jangan nyusul soalnya jauh!" ujar Arini sambil sibuk mengaduk nasi goreng yang ia masak.
"Iyo, Mbak."
"Kamu sudah selesai ganti baju belum? Ini nasi gorengnya sudah matang."
"Iyo, Mbak, ini udah selesai."
Rizky pun berlari menuju dapur untuk memulai sarapannya begitu juga dengan Arini