Dering ponsel canggih itu berbunyi berkali -kali ketika sang pemiliknya masih dalam dunia mimpi. Dengan mata yang masih terpejam, pemuda itu pun mengambil ponselnya di atas nakas.
"Halo, siapa?" tanyanya yang masih malas untuk bangun dari tempat tidur.
"Kamu masih tidur?" tanya suara di seberang sana.
"Oma? Ada apa?" Perlahan Ardan pun membuka mata.
"Kenapa kamu tidak mengunjungi Oma? Kata Danu kamu ada di villa Malang? Oma sangat merindukanmu," kata wanita di telepon.
"Oma, aku diberi libur hanya sebentar oleh dosenku, jadi aku belum sempat mengunjungi Oma. Aku janji akan mengunjungi Oma nanti setelah pulang," jawab Ardan.
"Bener ya? Baiklah ... oma pegang janjimu, lanjutkan tidurmu!" kata wanita yang di panggil Oma oleh Ardan.
Tanpa menjawab, sambungan telepon itu pun diakhiri oleh Ardan karena di London masih dini hari. Sudah hampir 5 bulan dia kembali ke London untuk kuliahnya, sejak pertemuan terakhirnya dengan Arini waktu itu, entah mengapa dia masih sering teringat dengan gadis datar tersebut. Ya, menurut yang lain dia tidak menarik, tapi bagi dirinya Arini gadis yang menarik. Ada sesuatu yang berbeda dari sifat dinginnya, tapi entahlah itu apa? Ardan semakin penasaran dengan gadis itu.
Seperti sekarang, Ardan yang sehabis mandi hanya mengenakan handuk berwarna putih untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Dia berjalan menuju laci kecil yang berada di samping tempat tidurnya dan mengambil sesuatu dari sana. Buku berwarna biru itu dia ambil dan mulai membukanya, dengan senyum manisnya dia mengingat dimana dia menemukan buku milik gadis datar tersebut. Dia buka perlahan buku itu, isinya sama seperti pertama kali dia membuka buku itu ketika di villa. Sebuah gambaran sosok laki-laki paruh baya, berkumis tipis dengan tersenyum lembut. Gambaran itu sangat indah, terlihat nyata dan di bawahnya bertuliskan kata-kata.
"Terlalu cepat kau pergi meninggalkan sebuah goresan luka di dalam lubuk hatiku, melepasmu bukan pilihan untukku."
Dia menerka-nerka, mungkin laki-laki paruh baya itu adalah ayahnya, karena yang dia ketahui dari Danu, gadis itu memang tidak memiliki seorang ayah.
***
Bel sekolah sudah berbunyi menandakan aktivitas belajar pun sudah selesai, siswa siswi berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing tak terkecuali dua sahabat itu Arini Elina Putri dan Mirae Rahayu Danuarto.
Mirae tengah asyik dengan ponselnya sambil tersenyum sendiri, seperti orang yang tidak waras. Sedangkan Arini, jangan berpikir Arini sama dengan Mirae, Mirae yang memiliki segalanya. Tas mahal, ponsel yang canggih, wajah yang manis dan cerewetnya, berbeda jauh dengan dirinya yang berwajah datar, tersenyum pun jarang dia lebih sering melihatkan wajah tanpa ekspresinya kepada orang lain. Ponsel canggih, tas mahal pun dia tidak memiliki semua itu.
Di zaman sekarang yang serba canggih dan modern, banyak anak remaja yang berlomba-lomba untuk memiliki barang barang yang bermerk agar tidak ketinggalan zaman dan mendapatkan followers berjuta-juta di dunia maya. Tidak heran segala cara mereka lakukan, dari yang memperlihatkan tubuh moleknya di dunia maya ,bahkan ada diantara mereka yang menjual dirinya demi uang.
Tapi tidak berlaku untuk Arini, dia tidak terlalu memikirkan hal seperti itu. Untuk bisa sekolah saja dia sudah bersyukur. Walaupun tidak dipungkiri, ada rasa iri di hatinya, namun perasaan itu tidak terlalu dia hiraukan.
Arini dulu hidup di keluarga yang cukup berada, ayah Arini dulu seorang guru di sekolah menengah pertama di daerah kota Yogyakarta. Sedangkan Rahmi, ibu Arini seorang mahasiswa di Universitas ternama di kota Jakarta. Mereka bertemu ketika Rahmi sedang pelatihan kerja di kota Yogyakarta, saat itulah mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Rahmi berasal dari keluarga yang kaya, sedangkan ayahnya hanya dari kalangan biasa. Itulah yang menyebabkan keluarga besar Rahmi melarang hubungan mereka, sampai dimana Rahmi dijodohkan oleh anak sahabat dari ibunya. Saat acara pernikahan akan berlangsung Rahmi melarikan diri ke Yogyakarta untuk menemui Irwan ayah Arini.
Mereka akhirnya menikah dan pindah ke kota Malang. Disana mereka mendirikan usaha kecil-kecilan, namun usaha itu bangkrut karena Alda anak pertama mereka sekaligus kakak kandung Arini diperkosa dan akhirnya hamil. Kejadian naas itu membuat Alda bunuh diri setelah melahirkan anaknya dengan cara mengiris pergelangan tangannya sendiri di hadapan Arini yang waktu itu masih berumur 10 tahun. Itulah yang menyebabkan Arini mengalami trauma hingga sekarang.
"Es batu, aku ikut kamu pulang ya?" ucap Mirae seraya menaikkan kedua alisnya.
"Ngapain?" tanya Arini sewot.
"Emang gak boleh?"
"Nggak boleh, kalau ke rumah cuma buat numpang makan mah mending gak usah ke rumah. *Wong sugeh mangan melok tonggo," sindir Arini. *Orang kaya kok makan ikut tetangga.
"Ya biarinlah, habisnya masakan bude Rahmi enak banget gak kayak masakan mama aku, ga ada rasanya," jawab Mirae jujur.
"Hei ... hargai usaha orang tua, bukan malah di hina!" ujar Arini.
"Sudahlah ayo, bacot kamu hahaha …."
**
Sesampainya di rumah Arini.
"Arini pulang, Bu!" membuka pintu dengan diikuti Mirae di belakangnya.
"Ibu kamu nandi to Ar?" tanya Mirae.
"Tanya aku, Aku tanya siapa? Baru juga sampai." Arini menjitak kepala sahabatnya itu.
"Auh ... loro *bedes!" pekik Mirae. *Monyet
Arini hanya tertawa melihat temannya kesakitan dan dia pun pergi ke kamar untuk ganti baju.
Arini yang masih berganti pakaian tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya makhluk ciptaan Tuhan yang tanpa permisi masuk ke dalam kamarnya. Siapa lagi kalau bukan Mirae.
"Ya ampun, Arini, kamar kamu rapi banget bersih lagi. Koleksi buku komik kamu juga banyak." Mirae memegang barang-barang milik Arini.
"Jangan sentuh barang-barangku!" ketus Arini.
"Cek elah ... baru megang doang, medit!" gerutu Mirae sambil merebahkan tubuh kurusnya ke kasur yang tidak terlalu besar itu. Mungkin hanya cukup untuk dua orang. *Pelit
"Nduk, kamu udah pulang to?" Seraya menengok ke dalam kamar anaknya.
"Nggih Bu, ibu dari mana?" tanya Arini penasaran.
"Ibu tekan mburi omah, pakani petek., ada nak Mirae to?" kata Rahmi dengan gaya bicara yang medok. *Ibu dari belakang rumah, kasih makan ayam*
"Enggeh Bude, Bude gimana kabarnya?" tanya Mirae.
"Alhamdulillah baik, ayo makan dulu, Nduk! Arini ajak makan nak Mirae!" perintah Rahmi.
"Nggih, Bu." Sambil menatap tajam ke arah Mirae yang hanya cengengesan.
Kedua sahabat itu pun makan bersama diselingi celotehan Mirae yang tidak berhenti bercerita, entahlah bercerita tentang apa. Arini menanggapinya hanya menganggukkan kepala seolah mengerti.
Setelah makan selesai Mirae pun pulang karena hari sudah mulai sore, takutnya Bu Ratih dan Pak Danu mencarinya. Kebiasaan Mirae yang selalu keluar tanpa izin membuat kedua orang tuanya khawatir, sebabnya mereka menyuruh Arini mengawasi anak manjanya tersebut.
Malam pun tiba, keluarga sederhana tersebut sedang duduk di ruang tengah sambil menemani Rizky yang sedang belajar.
"Gimana ujian kamu, Nduk?" tanya Rahmi yang berada di dapur.
"Ujiannya sudah selesai Bu, minggu depan pengumuman kelulusannya." seraya mencoret coret buku yang ada di depannya, kebiasaan Arini ketika dia sedang tidak sibuk dia selalu menggambar sesuatu. Entah itu apa? Sesuai dengan kehendak otak nya saja.
"Syukurlah kalo gitu, ibu seneng kamu wes lulus. InsyaAllah ibu bakal kerja lebih keras lagi supaya kamu bisa kuliah, sayang to Nduk kamu pinter masa gak diteruskan kuliah," ucap Rahmi.
Arini pun menghentikan kegiatannya.
"Arini pengen kerja aja, Bu, pengen bantu ibu cari uang buat sekolahnya Rizky nanti," jawab Arini.
Ibunya yang tadi sedang membersihkan sayuran di dapur pun menghampiri Arini di ruang tengah.
"Nduk, ini pesan Bapakmu, beliau pengen kamu kuliah sampai sarjana." Menepuk pundak anaknya pelan.
Arini pun hanya terdiam, setiap kali mendengar kata bapak dia selalu murung. Dia teringat tentang kenangan indah bersama ayahnya, Arini sangat dekat dengan beliau.
Namun kebahagian itu sirna setelah dia mengingat kembali kecelakaan tragis 5 tahun yang lalu, ketika itu dia diantar ayahnya berangkat menuju sekolah. Sekolah dasar Arini waktu itu memang agak jauh dari rumahnya, harus menggunakan sepeda motor untuk sampai kesana.
Ketika ayah dan anak tersebut sedang asik bercerita, tiba-tiba mobil mewah tersebut dengan kecepatan yang tinggi menabrak mobil pick up dan mobil pick up itu pun oleng dan menabrak ayah dan anak tersebut. Motor yang di kendarai ayahnya pun terpental jauh, bahkan sudah tidak utuh lagi, untungnya Arini waktu itu hanya mengalami luka-luka dan pingsan. Sedangkan ayahnya meninggal di tempat dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Ingatan Arini pun kembali setelah namanya dipanggil ibunya, menyadarkannya ke dunia nyata yang sekarang.
"Nduk, kok ngelamun, krungu opo ora ibuk ngomong?" *Dengar apa tidak ibu tadi bicara apa?*
"Opo to Bu? Arini gak krungu." *Dengar*
"Itu lo ... lusa keponakannya Pak Danu kembali lagi ke villa, jadi kamu gantiin ibuk sementara waktu soalnya ibuk sedang panen sayuran di desa sebelah."
"Ooohh ... nggeh, Bu."
Rahmi terpaksa mencari alasan agar dirinya tidak bertemu dengan anak dari Jooniean itu. Dia tidak mau Arini mengetahuinya.