Sang mentari melirik dari balik jendela kaca bertirai sutra. Kepulan asap kopi beraroma pandan pun menambah kesan manis pagi itu. Namun, ... alih-alih turut cerah layaknya latar suasana, perasaan Ameera justru diselimuti mendung kelabu bernama kegelisahan. Pasalnya, alasan keberadaan pria tampan pemilik netra tajam, hidung mancung yang runcing, dan rahang yang tegas tersebut masih belum terungkap.
Catarina cenderung terlihat santai. Ia bahkan tidak memedulikan kebingungan yang sejak tadi sudah melanda hati Ameera. Sementara, ekspresi pria yang notabene adalah Axton Axelsen tersebut tampak datar, tetapi aura serta tatapannya memberikan tekanan besar pada diri Ameera.
"Nyonya." Dengan sedikit keberaniannya, Ameera mulai mengeluarkan suara. Ia yang duduk berseberangan dengan Catarina, lantas menatap lurus ke arah ibunya tersebut. "Ada masalah apa sebenarnya?"
"Kenapa kau memanggilku nyonya? Seharusnya kau sebut aku ibu saja. Bukankah kita masih memiliki hubungan darah, Putriku?" Catarina menyahut sembari tersenyum. Namun, senyumnya tersebut mewakilkan sebuah kelicikan, daripada ketulusan.
Sebagai anak yang begitu memimpikan kasih sayang ibunya, tentu saja Ameera begitu senang pasca Catarina menyarankan dirinya untuk memanggil ibu, bukan lagi nyonya seperti biasanya. Mungkin apa yang ia harapkan akan menjadi sebuah kenyataan. Pasti akan ada hal bagus setelah ini, ia yakin sekali.
Perihal keberadaan pria itu, sepertinya tidak terlalu berbahaya. Untuk sekarang, Ameera menganggap jika dirinya sudah terlalu berlebihan dalam berprasangka atas pria tak dikenal yang duduk di kursi kepala.
"I-ibu." Kaku, Ameera mulai mengatakan sebutan itu. "Terima kasih."
Tidak ada kalimat lebih pantas selain ucapan 'terima kasih', sebagai salah satu ungkapan kebahagiaan hati Ameera saat ini. Faktanya, kalimat yang diucapkan oleh Catarina merupakan sesuatu yang ia tunggu sejak sekian tahun yang lalu. Dan detik ini, ia mendapatkan keinginannya tersebut, bahkan tanpa diduga-duga.
"Kalau begitu," ucap Catarina yang sudah mengubah sikap duduknya menjadi lebih tegak daripada sebelumnya. Lantas, ia menatap Axton yang terus-terusan mengamati setiap detail wajah cantik milik Ameera. Tampaknya, pria berbahaya itu memang sudah tergila-gila pada putri yang sangat ia benci.
"Perkenalkan, beliau adalah Tuan Axton Axelsen. Seseorang yang hebat, Ameera," lanjut Catarina.
Ameera menatap Axton, hingga ia bertemu dengan mata nanar milik pria itu. Sesaat setelah menelan saliva, Ameera berkata, "Saya Ameera Larasati, Tuan Axton. Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda."
"Aku tahu," sahut Axton singkat.
"Ah ...." Ameera mengusap tengkuknya. Merinding rasanya. Bingung pun kembali menerpa, tatkala mata Axton benar-benar tak mau lepas dari keberadaannya. "Be-benarkah begitu?"
Axton tak menjawab, melainkan terus menatap dan menatap. Wajah Ameera yang cantik ditambah penampilan tubuh terbalut gaun merah sexy, benar-benar sukses mengalihkan dunianya. Apalagi lekuk salah satu bagian tubuh yang terbuka milik wanita itu, telah berhasil membuat hasrat di dalam tubuhnya langsung bergemuruh hebat.
Axton tidak pernah merasakan perasaan dan gelora seperti itu sebelumnya. Bahkan, meski menyandang status sebagai seorang mafia, ia tidak pernah menjamah wanita secara sembarangan. Ia hanya menginginkan mereka yang memiliki aura berbeda dan sangat jarang. Dan kini, wanita yang ia maksud adalah Ameera.
Di balik sikapnya yang dingin, sebenarnya Axton sudah sangat tidak sabar untuk memiliki wanita itu sepenuhnya.
"Bagaimana, Ameera? Bukankah Tuan Axton sangat tampan?" celetuk Catarina memancing penilaian Ameera terhadap visual Axton yang memang sangat rupawan.
Sesaat, Ameera bingung. Ia memang tidak menampik ketampanan yang dimiliki Axton, tetapi ia merasa hal itu tak seharusnya ia katakan secara langsung di hadapan orangnya.
Namun, demi menarik perhatian Catarina yang mulai berbaik hati, Ameera terpaksa memberikan jawaban. "Ya, beliau sangat tampan, Ibu."
Catarina tersenyum dan lantas menghela napas lega. "Tuan Axton ini juga sangat kaya dan berpengaruh pada dunia ini, Ameera."
"Oh, benarkah? Itu menakjubkan, Ibu." Ameera mencoba tersenyum, meski ia tahu lengkungan bibirnya akan terlihat sangat kaku. "Sepertinya Tuan Axton begitu hebat."
"Ya. Tuan Axton memang sangat hebat dan cocok untuk menjadi suamimu."
Dahi Ameera berkerut, saat dirinya dibuat terkesiap oleh ucapan sang ibu. "Apa? Su-suami?"
Ameera tidak langsung mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, melainkan Catarina yang justru asyik menyesap sisa kopi di dalam cangkir. Sementara itu, Axton mulai bersedia untuk menyudahi aktivitasnya dalam menatap Ameera. Mungkin sudah saatnya, ia mengemukakan maksud dan tujuan mendatangi rumah itu. Demi ambisinya untuk segera memiliki wanita yang sudah ia incar selama setengah tahun tersebut.
Kali ini, bukan Catarina yang akan memberikan penjelasan, tetapi Axton sendiri.
"Ameera Larasati?" ucap Axton memulai pembicaraan. "Kau tahu?"
Ameera menatap pria itu, lalu menggeleng pelan. "Tentu saja tidak, Tuan," jawabnya.
"Tentang kedatanganku kemari. Aku ingin melamarmu. Sudah enam bulan aku mengamatimu dan aku menyadari bahwa diriku sudah terlanjur jatuh hati padamu."
Mata Ameera terbelalak lebar detik juga, seiring dengan rasa terkejut yang mendadak ia dera. "A-apa maksud, Tuan? Melamar? Mana mungkin? Kita bahkan belum saling kenal."
"Setidaknya kita sudah saling bertemu setiap malam di klub malam milik ibuku dan aku tahu kau menyadari keberadaanku di sana. Pernikahan-lah yang akan membuat kita saling mengenal lebih dalam, Ameera. Lagi pula, ibumu sudah menyerahkanmu padaku. Aku datang dengan niat baik seperti ini. Aku tidak memaksamu, tapi di sisi lain, kau sudah tidak dapat menolak permintaanku lagi, Ameera."
"Tidak ...." Sungguh, Ameera tidak terima. Bagaimana bisa? Ia bahkan tidak tahu siapa diri Axton sebenarnya. Inikah alasan mengapa Catarina mendadak memberikan perintah berbeda? Astaga ... benar, firasat buruk yang Ameera rasakan sebelumnya akhirnya benar-benar terjadi. "Ibu? Apa maksud Tuan Axton? Ibu tidak mungkin menjual saya, bukan?"
Catarina tersenyum, kemudian menatap manik mata putrinya yang sudah berkaca-kaca. "Aku tidak menjualmu. Lagi pula, Tuan Axton datang dengan baik. Tidak ada paksaan di sini, hanya saja ... kau memang sudah tidak bisa menolak, karena aku yang berniat menjodohkan kalian."
"Itu namanya pemaksaan, Ibu! Ini mendadak, bagaimana bisa saya menikah dengan orang asing? Tidak mungkin, Ibu!"
Ameera bangkit dari duduknya. Napasnya memburu dan ia benar-benar sangat marah. Mereka bilang tidak ada paksaan, tetapi mengapa Ameera sudah tidak bisa memberikan penolakan? Bukankah kedua perkataan itu sangat bertentangan? Ameera benar-benar tidak habis pikir. Namun, perlahan ia menyadari bahwa gaun terbuka yang ia kenakan memang sengaja diberikan untuknya agar Axton semakin tergiur atas pesonanya.
"Maafkan saya, Tuan Axton, tapi saya menolak lamaran dari Anda!" Tegas, Ameera berkata sembari menatap wajah Axton yang tetap datar dan misterius.
Sementara Catarina berangsur dibuat naik pitam. Ia membenci Ameera yang merupakan benih seorang pria tak bertanggung jawab dan ia akan semakin membenci Ameera yang berani menyangkal perintahnya. Cepat, Catarina berdiri, lantas menyeret Ameera menuju ruangan lain.
Sesampainya di salah satu ruangan yang cukup senyap, Catarina menghentikan langkah kaki, pun pada sikap Ameera yang mengikuti tindakannya tersebut. Lalu, sebuah tamparan keras mendadak ia daratkan di pipi sang putri.
"I-ibu ...?" lirih Ameera sembari menahan rasa perih yang membakar pipinya.
Tak puas hanya dengan sebuah tamparan, Catarina langsung meraih dagu Ameera dan memberikan cengkeraman kuat pada bagian wajah putrinya tersebut. "Jangan berani-berani kau memanggilku sebagai seorang ibu, di saat kau tidak mau menuruti apa yang aku katakan, Ameera!" tegasnya.
"Ibu ...." Tetesan air mata menodai kedua pipi Ameera, saat hatinya yang sempat bahagia kini justru kembali dibuat terluka. Bagaimana bisa ia dipermainkan dalam waktu yang kurang dari setengah jam?
"Menikahlah dengan Axton, jika kau masih ingin menjadi putriku, Ameera. Apa kau tega, jika aku dibunuh olehnya lantaran tidak bisa menepati janji untuk menikahkan kalian berdua? Kau tahu dia siapa? Dia adalah Axton Axelsen, seorang mafia yang sudah sering ditakuti kalangan penjahat di dunia ini! Kau mau ibumu sekarat di tangannya, hanya demi menolak lamaran itu?"
"Mafia? Tapi, kalau Ibu tahu dia adalah orang seburuk itu, kenapa Ibu justru ingin membuat saya hidup bersama orang kejam yang selalu melegalkan segala jenis tindak pidana itu, Ibu?! Kenapa harus begini? Yang saya inginkan cukup sederhana, disayangi oleh Ibu, itu saja. Tapi, kenapa ...? Uh!"
"Karena aku membencimu, Ameera. Hidupku hancur karena kehadiranmu! Tapi, di sisi lain, aku tetap tidak bisa menepis fakta bahwa kau adalah putriku. Ini sangat memuakkan! Tapi, kau masih punya peluang. Aku bisa menerima dirimu, saat kau menikah dengan Axton Axelsen, dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku akan belajar menyayangimu dan kau bisa hidup bersamanya untuk menyelamatkan diriku, Ameera!"
"Ibu?"
Ameera menangis, sementara Catarina pergi begitu saja setelah menghempas tubuh Ameera ke lantai ruangan itu. Kini tinggallah Ameera yang menderita luka batin terdalam setelah dipaksa untuk menerima lamaran dari seorang mafia yang sepertinya sangat berpangaruh di dunia kejahatan. Sungguh, tidak semestinya Ameera diperlakukan seperti ini, setelah beberapa tahun rela menjadi budak Catarina, sementara identitas aslinya adalah anak kandung dari wanita itu. Dan sekian banyak pria buruk di dunia ini, mengapa justru mafia yang harus menikahi Ameera?
Bahkan meski sangat tampan sekalipun, yang namanya mafia pasti memiliki segala jenis karakter dan perjalanan hidup sangat berbahaya. Mana mungkin Ameera bisa menjalani hidup bersama raja dari segala raja kriminal tersebut?
***