Ameera menangis semalam suntuk. Perjodohan yang dibuat oleh Catarina untuk dirinya dan Axton Axelsen benar-benar sukses meruntuhkan semua pertahanan yang ia bangun selama ini. Ia tidak ingin menikah. Bahkan meski pria yang diajukan jauh lebih baik daripada Axton, mungkin Ameera tetap akan menolak. Ameera belum menginginkan kehidupan berumah tangga. Ambisinya untuk merebut perhatian Catarina saja belum berhasil, mana mungkin ia langsung menyerah hanya demi sebuah pernikahan?
Namun, di sisi lain, Ameera juga harus melihat dari latar belakang Axton Axelsen yang ternyata memiliki identitas sebagai seorang pimpinan mafia. Apa yang Catarina katakan bisa berpotensi benar. Entah kesepakatan apa yang dibuat oleh mereka, tetapi yang Ameera tahu sejak menjadi pelayan klub malam, orang seperti Axton tidak akan pernah melepaskan janji seseorang. Dengan kata lain, nyawa Catarina akan terancam jika Ameera tidak bersedia menerima lamaran sesuai kesepakatan mereka.
"Ameera." Suara Daisy terdengar sesaat setelah pintu kamar Ameera tampak terbuka. "Kau? Kau benar-benar tidak tidur semalam?" tanyanya sembari melangkahkan kakinya memasuki kamar sahabatnya itu.
Ameera yang berwajah kacau lantas menatap kedatangan Daisy, kemudian ia menggelengkan kepala dengan lemah. "Bagaimana aku bisa tidur dengan nyaman, saat ragaku seperti dihempas dari puncak gunung ke tanah yang lembab penuh paku dan duri, Daisy?"
Air mata Ameera kembali mengalir. Membuat Daisy turut prihatin pada kesialan yang belum lama datang menyapa. Seandainya mampu, mungkin Daisy yang sudah mendengar kronologi penyebab kesedihan menyerang Ameera, sudah membantu Ameera untuk melarikan diri. Sayangnya, Daisy tidak mampu. Ameera bahkan tidak menginginkan cara pengecut semacam itu. Nyawa Catarina yang menjadi taruhan dan meskipun sangat jahat, Ameera tetap berusaha untuk melindungi ibunya tersebut.
"Kau terlalu baik, Ameera. Seandainya kau menuruti saranku untuk kabur dan mencoba pekerjaan lain, mungkin nasibku akan jauh lebih baik. Nyonya sudah terlalu jahat padamu. Aku memang bekerja di bawah naungannya, tapi aku tidak bisa membenarkan sikap kejinya pada putrinya sendiri. Ini buruk, Ameera. Tak mungkin kau bisa hidup dengan seorang mafia. Tidak ada satu pun mafia baik hati di dunia ini, mereka kejam," ucap Daisy.
"Oleh sebab itu, jika aku pergi, nyawa ibuku akan Axton habisi. Seperti katamu, mafia sangat kejam, Daisy. Mungkin untuk saat ini, aku harus menuruti alur pemainan ini. Lagi pula, sekalipun aku melarikan diri, ibuku pasti akan berhasil menemukanku. Cara kabur yang sesungguhnya adalah dengan mati, Daisy, dan aku belum sanggup untuk mati!" jawab Ameera.
Daisy terkesiap, lantas memeluk tubuh lemah Ameera yang masih meringkuk di atas lantai sejak tadi malam. "Jangan katakan apa pun soal mati, Ameera. Kau pasti bisa menangani semua masalah ini dan aku yakin, suatu saat kau bisa terlepas dari semua permasalahan pelik yang seharusnya tidak kau terima. Aku ... aku akan mendampingi, aku akan mengajukan diri secara langsung pada Tuan Axton sebagai pelayan pribadimu, jika pernikahan kalian memang tetap akan terlaksana."
Dalam keadaan menangis, Ameera berkata, "Benarkah? Kau berjanji akan mendampingku, bukan?"
"Tentu, jika usahaku untuk mengajukan diri nantinya akan berhasil, Ameera. Lagi pula sama saja, Nyonya sangat kejam, mafia pun kejam. Tak ada bedanya."
"Oh ... sungguh, aku sangat berterima kasih padamu, Daisy. Aku akan melakukan apa pun agar kita terus bersama dan aku akan melindungi jika nantinya ibuku atau si Mafia berani menyulitkanmu."
"Cih!" Daisy menyentil pucuk hidung Ameera. "Kau benar-benar gadis yang naif, Ameera. Melindungi diri sendiri saja tak bisa, apalagi melindungi diriku. Kenyataannya diriku-lah yang akan terus melindungimu."
Setidaknya niat Daisy sudah sedikit membuat Ameera jauh lebih tenang. Jika ada Daisy mungkin ia bisa mencoba menikmati kepelikan masalah itu. Menikah dengan seorang mafia akan secara otomatis menjadikan dirinya sebagai tahanan cinta pimpinan organisasi hitam tersebut. Namun, Ameera berharap akan ada saat di mana dirinya bisa melarikan diri, tentu saja dengan Daisy yang akan ia bawa serta pada saat itu.
***
Di sebuah mansion megah, tepatnya di ruangan pribadi, Axton tengah duduk. Ia termenung memikirkan kejadian lamaran yang ia lakukan untuk mendapatkan diri Ameera. Sayangnya, wanita yang ia idam-idamkan selama setengah tahun terakhir justru memberikan respons tak sesuai keinginannya. Axton tahu bahwa kedatangannya cukup mendadak dan tentu saja menimbulkan kesiap di hati Ameera, tetapi bukankah wanita itu lebih baik menerimanya daripada terus-terusan menjadi budak Catarina?
Oh, sungguh, Axton tidak mengerti. Ameera yang cantik, Ameera yang selalu sukses membuat gairahnya bangkit, ternyata memiliki pemikiran sebodoh itu. Menurut dugaan Axton, sepertinya Ameera masih belum menyerah dalam mencari perhatian Catarina agar wanita tua itu lekas memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu pada umumnya. Terbukti, ketika Catarina meminta disebut sebagai ibu, alih-alih nyonya, dan permintaan tersebut langsung membuat Ameera terlihat kegirangan.
"Gadis yang naif," gumam Axton. "Tapi, ini menarik. Aku menjadi semakin menginginkanmu, Ameera."
Benak Axton lantas melayang, membayangkan rentetan kejadian selama enam bulan terakhir. Khususnya di malam hari di klub malam milik Catarina. Di mana Ameera masih bekerja sebagai pelayan dan kerap digoda oleh para pria hidung belang. Ada kejadian di mana Ameera nyaris diculik oleh salah satu dari mereka, tetapi beberapa anak buah Catarina masih sangguh mencegah hal itu terjadi, sehingga Ameera tetap aman.
"Aku yang hanya akan melihat aura, kecantikan, hingga keindahan tubuhmu. Bukan pria-pria hidung belang yang kerap menggodamu di tempat hiburan malam itu. Seharusnya, kau bisa bersyukur ketika seseorang sehebat aku memiliki niat untuk menikahi dirimu yang sangat malang, Ameera," ucap Axton lagi.
Tepat ketika Axton menyudahi ucapannya, pintu ruangan di mana dirinya berada, terdengar tengah diketuk oleh seseorang. Axton tidak memberikan respons apa pun, selain hanya menatap dengan matanya yang tajam. Ia tahu tak berselang lama, tamunya akan lantas membuka benda yang terbuat dari kayu paling mahal tersebut.
"Selamat pagi, Tuan Axton." Justin Lilian—kaki tangan kepercayaan Axton—lantas masuk dan memberikan sapaan untuk tuannya tersebut.
"Ada apa, Justin? Kenapa datang kemari pagi-pagi seperti ini?" selidik Axton tanpa basa-basi.
Justin menghela napas. Raut wajahnya tampak gelisah. Namun, meski begitu, ia sudah bertekat untuk mengatakan beban yang menyerang pikirannya belakangan ini.
Justin menatap Axton. "Apa Tuan Axton masih berniat untuk menikahi wanita di tempat hiburan itu? Bukankah keputusan itu sangat buruk dan berbahaya?"
Giliran Axton yang menghela napas. Tak senang dengan pertanyaan dari Justin yang menurutnya sangat lancang. Dirinya yang berkuasa, untuk segala keputusan tentu saja hanya ia yang boleh menentukan.
"Aku akan menikah dengannya dua minggu lagi, Justin. Tenang saja kau tak perlu khawatir soal urusanku dengan CEO tambang itu belum selesai." Namun, meski jengkel, Axton tetap memberikan penjelasan. Ia berharap Justin tak lagi membahas tentang kembalinya dirinya ke benua tersebut.
Begitulah Justin yang akhirnya memilih untuk diam. Pria bermanik mata biru yang notabene berdarah Amerika-Indonesia tersebut tidak punya pilihan lain. Ia hanyalah kaki tangan, bukan pemimpin yang bisa mengambil keputusan mutlak.
Perihal kepentingan Axton di tempatnya berada sekarang sekaligus merupakan negara asalnya sendiri, sebenarnya belum sepenuhnya selesai. Ada salah satu pengusaha tambang yang berani membuat masalah dengannya, hanya saja ... pengusaha itu sulit untuk diatasi. Sepertinya sebuah organisasi gelap lain yang tengah melindungi pengusaha yang berani menuduh pasukan Sayap Hitam atau Black Wing sebagai dalang di balik penambangan ilegal di negara tersebut, sampai berita itu meluas nyaris ke seluruh dunia.
Padahal, Axton tidak pernah menyentuh tempat pertambangan sama sekali. Axton hanya pulang dua tahun sekali hanya untuk berlibur di tempat kelahirannya, sebelum ia kehilangan kedua orang tua yang tewas karena sebuah kericuhan, kemudian lantas diadopsi oleh mantan raja mafia dari Amerika karena kecerdasannya yang di atas rata-rata.
"Persiapkan saja pernikahanku, aku tidak akan melepaskan wanita itu lagi," titah Axton pada Justin Lilian.
"Baik, Tuan." Meski tidak senang, Justin tetap mengangguk setuju. Entah apa yang membuat Axton begitu tergila-gila pada Ameera Larasati, sementara wanita itu merupakan wanita naif dan lemah. Bukankah pergerakan Axton tidak akan leluasa jika ada wanita di sampingnya? Oh, sungguh, Justin ingin sekali bertanya, tetapi lagi-lagi ia punya kuasa.
***