"Tidak ada, di sini juga tidak ada. Cari terus di tempat lain sampai Nona Ameera ketemu." Ucapan salah satu bawahan Axton terdengar samar, yang disahut oleh bawahan yang lain.
Sementara itu, tubuh Ameera menggigil setelah dua jam terjebak di area paling belakang mansion megah tersebut. Ia memang sudah nyaris berhasil untuk melarikan diri dengan rencana kembali ke rumah Catarina dan akan membujuk ibunya tersebut untuk pergi ke luar negeri saja. Namun, dinding kokoh yang mengelilingi kemegahan mansion membuat Ameera tidak bisa keluar.
Wanita naif itu sudah melakukan segala cara untuk melompat dari ketinggian dinding, tetapi tak satu pun caranya berhasil. Sampai akhirnya ia kehabisan tenaga dan terjerembab di atas tanah basah balik pohon berdaun rimbun dan berbatang besar yang tidak terlalu tinggi. Pohon itu berada di paling sudut area belakang mansion, serta hanya memiliki ruang bebas seperempat meter dari dinding pembatas. Namun, tubuh mungil Ameera masih bisa memasuki ruang bebas itu dengan posisi duduknya yang benar-benar meringkuk. Mungkin malam ini, ia akan menginap di sana, daripada kembali ke kamar mewah pemberian suaminya yang sudah seperti sangkar emas penuh dengan siksa.
"Atau ... lebih baik aku mati di sini, kedinginan dan kehabisan napas, daripada kembali ke cengkeraman pria itu. Aku bisa menyusul Paman dan hidup bahagia di alam kedamaian," gumam Ameera disusul setetes bulir bening yang keluar dari netra hitam legamnya.
Kenyataannya, hidup sebagai istri seorang mafia memang sangat membuat Ameera tertekan. Axton terlalu mengerikan dan kasar. Axton memang tidak pernah melukainya. Namun, kejadian telapak tangan berdarah itu sukses membuat Ameera merasa sangat trauma. Setiap mencoba terlelap, bayangan kengerian yang Axton lakukan terhadap dirinya sendiri selalu muncul di mimpi Ameera.
Siapa juga yang akan tahan melewati hari bersama monster seperti Axton, apalagi hanya gadis naif layaknya Ameera. Belum lagi mengenai fakta tentang kekejaman Axton dalam membuat para pengganggu Ameera cacat atau mungkin sudah kehilangan nyawa, oh sungguh, benar-benar mengerikan! Mati adalah pilihan terbaik, jika rencana untuk melarikan diri nantinya tidak akan berhasil.
Sesak, sungguh sesak. Sepertinya oksigen juga mulai habis diserap oleh pohon tersebut. Seingat Ameera, tumbuhan akan menyerap oksigen di malam hari dan mengeluarkan banyak karbondioksida. Seharusnya Ameera berpindah tempat untuk menyelamatkan diri, tetapi ia merasa tidak ada tempat aman selain di balik pohon tersebut. Jadi, biarlah ia tetap bertahan, kehilangan nyawa pun rasanya tak apa.
Ameera menghela napas, tak peduli yang ia hisap oksigen atau justru karbondioksida. Lantas, ia menatap angkasa gelap tanpa satu pun bintang. Mendung sepertinya, gelap dan suram seperti nasib Ameera. Setidaknya, alam masih berempati, jika para manusia enggan untuk menunjukkan sedikit rasa simpati.
"Paman, jemputlah aku sekarang juga, jika engkau tahu bahwa rencanaku untuk kabur akan gagal total. Dan Tuhan, matikan aku jika nasib buruk ini akan terjadi dalam waktu yang panjang. Aku hanya tidak mau hidup bersama pria jahat sepertinya," gumam Ameera. "Sebenarnya kesalahan apa yang pernah aku perbuat, Tuhan? Mengapa Engkau menghukumku dengan se-demikian rupa? Aku tak diinginkan oleh ibuku, tidak memiliki ayah, dan satu-satunya paman terbaik telah Engkau ambil begitu saja. Terakhir, Engkau buat aku jatuh ke cengkeraman seorang mafia dan aku kehilangan komunikasi dengan Daisy."
"Aku hanya ingin hidup normal. Tak apa jika tak memiliki ayah, tapi setidaknya ada ibu yang aku harap dapat menerimaku. Namun, sebelum keinginanku terjadi, kenapa aku dilempar ke jebakan sang mafia yang kejam? Uh ...." Air mata dan lagi-lagi rintih sebuah tangisan tidak dapat Ameera sembunyikan.
Hidupnya terlalu keras, nasib yang ia dapatkan terlalu buruk dan kejam. Namun, sayang, ia tidak dapat menghindar. Dan memang hanya kematian yang dapat menghentikan nasib buruknya.
Semilir angin malam dan rasa letih tiada tara membawa Ameera ke alam bawah sadar. Perlahan, matanya terpejam dan tubuhnya terkulai lemas. Entah pingsan atau hanya sebatas ketiduran, intinya ia tak lagi sadar. Namun, ia sempat berharap tentang esok pagi; jika masih hidup ia ingin berhasil melarikan diri, tetapi jika mati, ia ingin bertemu dengan Joseph dan tenang di alam kedamaian.
***
Cahaya matahari merasuk ke dalam kamar melalui jendela kaca yang tak lagi tertutup tirai sutra. Sinar itu membuat Ameera perlahan membuka matanya. Meski pandangannya masih kabur, ia tetap dapat melihat indahnya langit-langit yang memiliki motif batik. Sepertinya tidak asing. Ah! Ameera langsung membelalakan mata.
"Tempat ini?!" Setelah terpekik, wanita itu lantas membangunkan diri. Ia memeriksa seluruh penjuru ruangan dan tidak salah lagi! Ia berada di kamar pemberian suami mafianya. "Jangan-jangan dia menemukanku?"
"Memang sangat mudah untuk menemukanmu, Nona." Tiba-tiba saja terdengar sahut dari suara berat dan tegas. Melainkan Axton Axelcen yang tampak duduk bagai raja di salah satu sofa di kamar itu.
Ameera menelan saliva. Setelah dibuat kaget, kini dirinya dibuat semakin terperanjat. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Axton menemukannya? Sementara ia berada di balik pohon berbatang besar dan berdaun rimbun. Ia bersembunyi di tempat teraman, dan pastinya jarang didatangi oleh para penghuni rumah. Namun, ... Axton justru berhasil mendapatkannya lagi.
Ah, benar, Ameera lupa bahwa Axton adalah seorang mafia. Axton bahkan bisa mencari kotak emas di dasar lautan terdalam, apalagi hanya Ameera yang bersembunyi di tempat yang masih menjadi kawasan pria itu.
"Kenapa ... kenapa kau membawaku ke tempat ini lagi, Axton?!" Tegas. Ameera bertanya.
Tidak ada perubahan ekspresi yang signifikan di wajah Axton, tetapi gerak tubuhnya membawanya langsung bangkit. Lalu, ia berjalan menuju ranjang keberadaan sang istri.
"Sejak awal kau masih berada di tempat ini, Ameera. Aku hanya menyelamatkanmu dari dinginnya malam, itu saja," ucap Axton sesaat setelah menghentikan langkah kakinya tepat di hadapan Ameera. "Kau ingin kabur? Apa kau lupa tentang perkataanku mengenai aksi itu yang tidak akan pernah bisa kau lakukan dengan berhasil? Kau sudah menjadi istriku, Ameera, dengan kata lain kau adalah wanitaku yang harus terus berada di sampingku."
Ameera meludah, tetapi kali ini tidak sampai mengenai diri suaminya. "Kalau kau memang sangat menyukaiku, seharusnya kau lepaskan aku saja, Axton! Tidak ada pria waras yang akan membuat wanita pujaannya masuk ke dalam kerangkeng penuh derita. Belum lagi tentang identitasmu sebagai seorang mafia yang pastinya banyak melibatkan orang-orang sekitarmu di sebuah tragedi kejam. Yang artinya keamananku sebagai istrimu pun akan sangat dipertanyakan, Axton!"
Axton menyeringai. "Apa kau tidak tahu siapa diriku, Ameera? Ibumu saja tahu siapa aku, yang artinya dia juga memiliki insting dan pengetahuan luas tentang dunia hitam. Aku tidak perlu khawatir tentang dirimu, Nona, aku adalah raja dari segala raja mafia. Aku penguasa yang paling ditakuti. Tidak akan ada yang berani menyentuhmu saat mereka tahu bahwa dirimu adalah istri dari seorang raja dari segala raja."
"Kau ...!"
Ameera mencengkeram selimut dengan kuat, lalu tersadar bahwa tubuhnya sudah tak memakai busana yang ia kenakan tadi malam. Matanya lantas terbuka lebar dan dirinya sangat terkejut. Siapa yang mengganti pakaiannya, apakah Axton?! Tidak, Ameera tidak ingin membenarkan dugaan itu. Ia tidak mau dijamah oleh Axton sedikit pun, sungguh!
"Kenapa?" tanya Axton. "Tenang saja, aku tidak membuka penutup tubuhmu. Ada pelayan yang sudah kuperkerjakan untukmu. Tapi, ... kalau kau masih mencoba memberontak lagi, aku tidak akan segan untuk menjamah dirimu, Ameera. Lagi pula, aku suamimu, tidak masalah bukan jika kita bersenang-senang?"
Axton menyeringai setelah memberikan ancaman yang membuat Ameera kembali gemetaran. Dan sebenarnya, tadi malam ia nyaris memakai tubuh Ameera setelah menggendong wanita itu dari area belakang rumah ke dalam kamar menggunakan tangannya sendiri. Axton yang sudah menginginkan malam bersama Ameera sejak lama hampir bersenang-senang dengan tubuh istrinya itu.
Namun, kenyataan yang mengatakan bahwa Ameera belum bisa menerima kehadiran Axton, membuat Axton lantas mengurungkan niat. Entah. Axton sendiri tidak mengerti, di saat seharusnya ia menggunakan kesempatan sebaik mungkin, tetapi ia justru tidak kuasa untuk merealisasikan keinginannya di kesempatan tersebut.
Axton menghela napas. "Jadilah wanita yang baik hari ini, Ameera. Bersihkan dirimu dan mari menyantap sarapan bersama," ucapnya sembari memajukan wajah tepat di depan mata Ameera. "Aku akan benar-benar membuat dirimu kehilangan harga diri, jika terus memberontak. Tak hanya itu saja, soal Daisy, aku akan benar-benar membunuhnya."
"Axton, kau kejam ...!" sahut Ameera dengan tegas, tetapi suaranya tertahan. "Jangan sentuh Daisy atau siapa pun yang dekat denganku."
"Oke! Asal dirimu menjadi gadis yang baik. Ah, bukan, tapi istri yang baik."
Segera setelah itu, Axton menarik paksa wajah Ameera, meski Ameera mencoba mengelak. Ia hampir berhasil memberikan kecupan di bibir Ameera, sebelum akhirnya gagal karena istrinya itu langsung menundukkan kepala. Akhirnya, Axton hanya bisa mencium kening Ameera dengan gerakan yang cukup kasar karena ada nafsu mendalam yang ia tahan.
"Uh ...!" Kasar, Ameera mengusap-usap keningnya setelah Axton berlalu. "Kenapa di antara dua harapan itu tidak ada yang berhasil sama sekali?! Kenapa aku jatuh ke tangannya lagi?! Bagaimana ini? Axton sudah menargetkan Daisy, pergerakanku jadi terbatas sekarang. Apakah aku akan tetap tertahan di sini sebagai istri penjahat?"
Ameera ingin menangis lagi, tetapi tampaknya air matanya sudah kering. Ia hanya termenung setelah berkata-kata, menatap apa pun di depannya dengan kosong. Entah apa yang bisa ia lakukan selanjutnya, dengan keadaan yang sudah semakin runyam. Tubuhnya bisa dipergunakan oleh Axton, dan keamanan Daisy pun akan terancam jika ia melakukan sedikit kesalahan yang membuat Axton tidak senang.
"Mati ...." Ameera bergumam.
***