Sejujurnya Belle tak pernah bermimpi setinggi langit, akan tetapi mimpi itu sendiri yang mengejar. Membawanya seperti berada di dalam kisah seorang putri raja berparas cantik jelita. Kini, gaun bersurai sutra membalut tubuh Belle hingga menjulur ke lantai. Elok sekali. Jika ada kata yang lebih bagus dari sempurna, dia dapat menerima. Tepat di hari pernikahan mereka ke tiga tahun, Marlon dan Belle duduk berdampingan. Merayakan pernikahan yang ketiga tahun sebagai bentuk doa restu dari nyonya Gloe.
Di depan seluruh tamu paman Marlon mencium bibir Belle, untuk ke sekian kali terhitung sejak pertemuan awal mereka yang secara tidak disengaja. Marlon menginginkan gadis kecil itu. Sedikit berfantasi nakal dengan Belle sehingga tercetus ide melepas status lajangnya dan melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan, keduanya menerima hadiah begitu beharga yaitu William yang menjadi bukti cinta mereka di atas suci.
"Aku masih mencintaimu, selalu ingin mencintai dirimu. Rasa cintaku terus bertambah di setiap detik kita lewati bersama tanpa berkurang secuil pun." Marlon menyatukan hidung mereka, menatap Belle dengan perasaan cinta.
"Ya, aku mencintai semuanya darimu, dimulai kita tinggal bersama, detik ini, bahkan hingga aku dan kita tua nanti." Dengan lugas Belle menjawab, diiringi suara tepuk tangan bergemuruh dari semua orang yang turut menyaksikan.
Kemudian orkesta dimainkan, Belle tersenyum melihat keluarga besarnya bercengkerama. Tidak ada perbedaan lagi bahkan Gloe jauh lebih terbuka. Si kecil William sedang berada dalam gendongan Rose, gadis manja itu juga sudah terlihat dewasa dengan dokter Liam di sisinya, tanpa semua sadari mereka jadi dekat. Belle harap Liam benar-benar mencintai bibit unggul Exietera pertama, tanpa melibatkan masalah akan kekeliruan masa lalu.
"Paman ..." lirih Belle sambil melihat ke arah William, bibirnya masih setia mengukir senyuman lebar. "Apa kau lihat William sedang dengan siapa? Hmm, aku jadi berpikir bahwa Rose telah siap menikah dan dipanggil ibu."
"Eum, aku juga menyimpulkan," sahut Marlon seakan setuju, lalu keduanya tertawa bersama dalam kebahagiaan.
Yakni Belle sudah menceritakan soal dokter Liam beserta bantuannya pada Marlon tanpa ada yang dirahasiakan. Mereka bersepakat memulai dari nol. Tidak ada lagi kesedihan dan air mata setelah Candice pergi dengan seluruh rasa malu yang dia tanggung, akibat sudah menjatuhkan harga diri Gloe.
Mengelus rambut tipis di sekitar dagu paman Marlon, Belle bersandar manja di pundaknya sambil berkata. "Aku beruntung menjadi istrimu."
"Aku lebih beruntung."
"Kau mengajariku banyak hal. Semua kekurangan yang ada pada diriku kau terima. Kau sabar menghadapi sikap kekanakanku. Mengurusku. Memberi aku kasih sayang. Kau juga perhatian, pengertian, mendengarkan seluruh hinaanku dengan menatap lembut."
Tanpa keraguan Belle menumpahkan rasa di hatinya, mengaku pada paman Marlon bahwa dia sangat beruntung. Sungguh! Rasanya seperti mimpi, ini terlalu indah, bahkan dia tak pernah mengkhayal bakal jadi nyonya besar. Menggantikan posisi Gloe Exietera.
"Ayo, berdansa dengan suamimu ini." Tangan Marlon sudah terulur, sedang Belle hanya mencibirnya tak senang.
"Kau pamanku, bukan suamiku."
"Iya Sayang, apapun itu, ayo!" seruan paman Marlon terdengar semangat, sesaat Belle mengangguk keduanya pun turun ke lantai dansa. Menari.
Kedua tangan Belle berada di antara leher paman Marlon, mengalunginya dengan kaki bergoyang serempak ke kanan lalu ke kiri. Sepasang emerald dari keduanya bertemu, saling tatap dalam diam seakan mengagumi satu sama lain. Saling memuji tanpa kata. Untuk seperkian detik bibir gadis itu tercebik saat baru menyadari lelaki dewasa di depannya sangat tampan.
Belle menunduk, tidak tahan oleh tatapan paman Marlon yang semakin lama kian munusuk hingga membara. Tak menyiakan momen romantis ini, Marlon mendongakkan dagu mungil Belle, menarik pinggangnya ke depan lalu berkata rendah. Nyaris berbisik.
"Aku jadi tidak sabar menunggu acara ini berakhir, bagaimana denganmu?"
"A-pa maksudmu?" tanya Belle balik, seraya menatap sekeliling panik.
"Malam pertama versi kedua, hm."
Oh, itu ...
Sontak kedua pipi Belle memerah, dia sudah tahu apa maksudnya. Mengelak ciuman paman Marlon, lantas berlari. Karena gaun mewah yang keterlaluan panjang, Belle jadi kesulitan bergerak sehingga Marlon menyusul lebih awal dan mengangkatnya dari belakang. Di mana orang-orang bersorak terutama keluarga besar mereka, seakan-akan memberi dukungan pada pamannya. Demi Tuhan! Belle sangat malu, tetapi orang lain bahkan anak sendiri King William malah cekikikan kegirangan.
Tak ada pilihan selain menyerah Belle putar arah, membenamkan diri di dada bidang paman Marlon yang luas sambil mengumpat kecil. Si empunya badan hanya terkekeh menyebalkan.
Sesampai kamar mereka Belle kontan melompat, berkacak pinggang dengan mata melotot garang. Yang dipelotin malah terkekeh kegelian. Huh! Untung tampan walau berbulu.
"Mom, Dad." Jerit William dari luar, sosok mungilnya tiba-tiba muncul.
"Uh, anak Mommy, kemari sayang." Di situ Belle merasa William penyelamat.
"Kata bibi Rose, Mom dan Dad hendak main kuda-kudaan, William mau ikut." Astaga! Semampunya Belle menahan untuk tidak tertawa. Rose sialan, anak sekecil William sudah dikerjain.
Di bawah tatapan dari ibu beranak itu Marlon menggaruk tengkuknya serba salah, dia tidak tahu harus melakukan apa selain menyengir kepada William. Melebarkan tangannya William pun berlari ke arah sang ayah, cekikikan, entah kenapa bermain dengan lelaki jauh lebih menyenangkan ketimbang berada dalam dekapan perempuan.
Alamat Marlon jadi kudanya, sedang William menjadi penunggang. Kedua orang itu bermain sambil cekikikan. Tanpa sadar Belle juga ikut berperan sebagai lampu merah, ketika berganti warna hijau William spontan girang. Kerap kali lonjak-lonjak di punggung paman Marlon, untung saja ayahnya mempunyai bobot tubuh yang cukup berisi. Jika tidak mungkin sudah KO.
William tidak mau permainan segera berakhir, bahkan akan menangis saat Marlon berhenti karena staminanya menurun drastis. Kelelahan. Hal itu membuat tawa Belle pecah, sehingga harus turun tangan membujuk anak mereka agar memahami dan nurut.
"Mainnya nanti lagi ya, kasihan lho Daddy, bisa-bisa nanti dia nangis."
"Huhuh, William masih mau main."
"Iya Sayang, kudanya mau bobo dulu biar jadi tampan, William juga ya."
Cukup lama Belle menyakinkan sang anak, sebelum akhirnya dia berkata setuju dan mengangguk. "Baiklah, Mom, tapi janji ya nanti main lagi."
Kali ini Belle yang mengangguk, dia mengangkat William ke ranjang. Menidurkannya sambil bersenandung kecil, sesekali mengelus pucuk kepala bocah lucu itu penuh kelembutan. Di sudut ruangan paman Marlon hanya mengamati tanpa suara. Diam-diam mengagumi cara Belle membimbing serta mendidik putra mereka menjadi anak yang bijak. Penurut. Cerdas.
Dengan begitu Marlon jadi berinisiatif ikut bergabung, mengambil posisi di sebelah kiri William, sementara Belle berada di bagian kanan. Tangannya turut membelai rambut ikal William. Mensyukuri nikmat yang Tuhan kita berikan, menghadirkan William di antara mereka bagai intan permata.
Sesaat William benar-benar terlelap, Marlon pun melirik Belle di sebrang. Tanpa mengubah posisi sama sekali paman Marlon mengangkat sedikit tubuhnya untuk menjangkau Belle, gadis itu juga melakukan yang sama. Tepat di depan anak mereka dengan William berada di tengah, sepasang suami istri itu berciuman begitu mesra.