Chereads / Pasangan Beda Usia / Chapter 32 - Bab 30

Chapter 32 - Bab 30

Tepat satu bulan kepergian lelaki itu, perlahan Belle mulai bangkit dengan kedua kaki yang berjalan kokoh dari satu gedung ke lain tempat. Berusaha mencari keberadaan paman Marlon. Saat kerongkongannya terasa kering, Belle memutuskan berhenti sejenak untuk membeli minum di salah satu warung, dan duduk di dekat trotoar. Tiba-tiba sebuah mobil mendekat, di situ Belle langsung bangkit menepuk rok belakangnya berulang kali. Dari dalam suara dokter Liam menyapa.

"Selamat siang Nona, apa kau butuh tumpangan ... aaa Belle?" Tidak lama dokter Liam keluar dari mobil, sedang Belle hanya bisa tersenyum kikuk.

"Eum, siang," jawabnya ramah, sedikit membungkuk seperti orang asing.

"Kenapa kau bisa di sini, Bell? Kupikir kalian pindah. Aku sudah mencarimu, Marlon, dan Rose di mana-mana."

"Ceritanya panjang."

"Kita harus bicara, ikut denganku."

Tidak menolak, Belle mengikuti Liam masuk ke dalam mobil, hanya butuh beberapa menit untuk mencari kafe yang menyediakan tempat duduk. Di saat Liam memesan minuman, Belle gelisah ditatap pelayan wanita begitu intens karena penampilannya kotor. Ternyata dokter muda itu amat peka, dia membuka jas putihnya, memberi pada Belle agar memakainya segera.

"Terima kasih." Belle sedikit lega saat pelayan tadi berlalu, bahkan tak lagi menatapnya seperti sampah.

"Sekarang ceritakan Bell, bagaimana bisa kalian jadi seperti ini?" Tatapan dokter Liam mengecil, menuding, dia tampak belum mengetahui semua. "Exietera dipimpin oleh Candice, aku kenal baik siapa Marlon. Dia bukan orang bodoh yang mudah ditipu."

Belle tidak langsung menjawab.

Kendati, selama sebulan Belle selalu meratapi ini semua, bagaimana bisa? Setiap hari dia menangis, menyalahi diri sendiri juga perasaan yang tidak seharusnya ada. Ketika sudah telanjur begini, dia baru menyadari jika cinta paman Marlon yang lebih berperan.

Cintanya kepada paman sangat besar, lelaki itu tidak menuntut banyak dari Belle, kecuali satu kesetiaan. Tetapi di awal kebahagiaan mereka, dia malah menghancurkan dengan melukainya, lebih-lebih kepergiaan Belle di tempo lalu yang membuat semua jadi kacau.

"Semua berawal dari kepergianku."

Untuk sesaat dokter Liam mengernyit, namun tidak lama dia mengangguk.

"Oh, iya! Sekarang aku bisa mengerti, waktu itu hidupnya memang hancur saat kau memutuskan pergi, dia jadi sering mabuk, dan bermain judi." Di mana Belle merasa pilihannya adalah yang terbaik, di situ paman Marlon hidup menderita dengan keadaan.

Tanpa sadar air mata Belle mengalir, tatapannya kosong, menerawang jauh memikirkan keadaan paman Marlon sekarang. Entah di mana? Saat dokter Liam mengulurkan tisu, dengan cepat Belle menghapusnya, dan tersenyum.

"Kita akan cari Marlon sama-sama."

Dokter Liam menyakinkan Belle, dari dulu lelaki itu seperti malaikat, selalu meringankan bahkan membantunya tanpa dipinta sekali pun. Rose pantas mendapatkan cinta beliau. Perasaan Belle dulu hanya sebatas kagum, tidak lebih, di hatinya sudah ada paman Marlon yang duduk bertahta.

Keduanya langsung bergerak menuju parkiran, Liam tahu sebagian tempat yang menjadi favorit Marlon saat hati berkabung, selain klub malam. Tanpa pikir panjang Liam membawa mobil ke area balap liar. Kerap kali melirik Belle yang gelisah, mengubah posisi duduk seperti cacing kepanasan. Dia tahu gadis itu sangat gugup menantikan pertemuan mereka. Entah bagaimana Belle yakin sekali akan menemukan paman Marlon sekarang. Liam juga.

"Sebelumnya terima kasih banyak atas bantuanmu, aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa selain itu." Di samping kemudi Belle mulai bersuara sambil membuka jas milik Liam, kemudian mengembalikannya dengan sopan. "Aku tidak mau paman Marlon salah paham karena aku memakai jasmu."

Liam pun mengambil jasnya, lantas mengenakan kembali dengan cepat. "Ya, aku mengerti."

Saat mobil melintasi kawasan kumuh jantung Belle berdebar, matanya bisa melihat segerombolan orang dengan penampilan yang nyetrik berkumpul. Tidak sedikit dari mereka saling sikut, terkekeh tak jelas seperti menertawai sesuatu yang sama sekali tak penting. Memicingkan mata tatkala batin Belle memekik begitu mengenali pamannya ada di antara mereka, meski tampak berandalan bahkan sangat. Dia yakin itu paman Marlon dan tidak salah.

"Dokter, stop! Coba kau lihat ke arah sana, bukankah itu paman Marlon?"

"Ya, kau benar."

Ketika mobil berhenti, Belle langsung melompat ke luar mendahului dokter Liam. Kakinya berlari menyeru keras. Memanggil 'paman Marlon' seperti di film india saat dipertemukan kembali dengan kekasih hati yang sempat lari. Hanya tinggal beberapa langkah kedua tangan Belle memeluknya dari belakang diiringi air mata haru. Sebelum paman Marlon balik badan, menatap Belle dengan tatapan asing, dan sulit diartikan. Tapi ... mendadak jantung gadis itu berdetak hebat, dia bukan pamanku, tapi preman hutan.

"Belle?" tanya dia memastikan, sang empunya nama hanya melirik gugup.

Mulut Belle seakan terkunci, dirinya tidak pernah menduga seterkenal ini, meski akhirnya dia juga penasaran. "Hmm, apa kau mengenalku?"

"Kau mantan istriku."

Spontan Belle melotot.

"Aku belum cerai! Lagipula, aku tidak mengenalimu, rambut dagu pamanku itu tak segondrong punyamu, huh."

Sama seperti Belle, di belakang gadis itu Liam juga mengira demikian, dia menatap lelaki gondrong di depannya dengan tatapan aneh. Ini jelas bukan. Selebat apa pun janggut Marlon, tidak mengurangi auranya, dia tetap terlihat menawan. Tapi orang ini sangat buluk. Lihat saja ... tidak hanya kepala yang ditumbuhi bulu lebat, tangannya juga.

"Kenapa kalian bisa di sini?" tanyanya lagi saat melihat Liam, spontan wajah imut Belle merah padam, diikuti oleh isak tangisnya yang memilukan.

"A-ku mencari pamanku, hik, hiks."

"Mencariku?" Persis orang bodoh, dia menunjuk diri sendiri, memastikan.

Sementara Belle dan Liam saling tatap untuk sesaat, kemudian dengan cepat menjatuhkan pandang pada lelaki di depan mereka. Untuk sejenak pikiran Belle melayang, mengingat-ingat. Dia mengamati lelaki buluk itu dari atas ke bawah, hingga matanya menemukan cincin pernikahan mereka yang sama.

Pamanku! Batin Belle memekik girang.

Air mata Belle jatuh untuk ke sekian kali setelah pelukannya dibalas oleh paman Marlon, mereka berpelukan cukup erat di hadapan banyak orang. Rasanya bahagia campur haru. Belle telah lama menantikan pertemuan ini. Hanya satu bulan, bagaikan satu abad tidak bertemu. Rindu memakan batin.

"Aku sangat merindukan pamanku." Belle terisak di dada bidang Marlon, nyaris tidak terdengar karena suara raungan motor yang lebih dominan. "Maafkan kesalahanku, Paman."

Seuntai senyum terukir tipis di bibir penuh Marlon, air mata haru turut jatuh sepuluh tetes saking gembira. "Jauh sebelum kau meminta maaf, aku sudah memaafkanmu mantan istriku."

"Paman ..."

Kantung mata Marlon berkedut, dia memandang Belle yang menarik diri.

"Aku tidak menandatanganinya, kau masih suami sekaligus pamanku."

"Tapi Bell, aku sudah tak mempunyai apa-apa, kau akan hidup miskin jika mempertahankan pernikahan kita."

"Kau hartaku yang paling berharga, bukankah aku juga berlianmu? Aku tidak peduli dengan semua itu karena aku membutuhkanmu, William juga, dan aku sangat mencintai dirimu."

Lagi, bola mata Marlon berkaca-kaca, dia begitu gembira saat mengetahui ternyata Belle enggan tanda tangan. Otomatis keduanya masih sepasang suami istri yang sah. Oh, sayang! Marlon menarik Belle lagi ke dalam pelukan, menyesap aroma tubuhnya yang seperti wewangian.

Saat Belle mulai risih dengan janggut lebat mengenai tengkuknya, Marlon menarik diri dan tersenyum mewah. Di situ Belle bergidik geli, campur ngeri. Terang saja, dulu paman hanya mirip Tarzan, namun kini seperti preman hutan sungguhan. Amat mengerikan.

"Kenapa Paman berubah jadi jelek?"

"Eum, aku tidak ingin ada gadis lain yang mencintaiku selain dirimu."

Jantung Belle bertalu-talu.

Di belakang mereka dokter Liam juga tersenyum bahagia, melihat keduanya telah dipertemukan kembali dengan cinta yang masih sama seperti dulu.