"Ya, aku ..." Suara Belle tercekat, sulit menerangkan yang sebenarnya pada paman Marlon, dia sungguh takut.
"Aku berjanji tidak akan marah. Aku sangat mengerti Bell, jujurlah." Mata paman Marlon menatapnya lembut, sabar menantikan sebuah jawaban.
"Ya, kupikir aku juga memiliki rasa pada dokter Liam. Maafkan aku."
Sejumput air mata jatuh membasahi kedua pipi Belle, tak seharusnya dia mempunyai perasaan aneh tersebut. Apalagi mencintai dua lelaki dalam satu hati, rasanya sangatlah kurang waras mengingat statusnya sendiri. Masih menjadi istri sah Marlon, terlebih Belle sangat mencintai lelaki tua itu. Entah perasaan macam apa ini? Di mana dirinya merasa seperti wanita murahan yang mencintai dua lelaki.
Untuk beberapa saat Marlon terdiam, diikuti dengan tarikan di kedua sudut bibirnya. Senyuman terpaksa. Kemudian lelaki itu membelai halus kepala Belle, menyelipkan anak rambutnya, lantas berbalik menyembunyikan air mata.
"Paman, aku minta maaf." Lagi, Belle merintih di sela isakan, dia tahu betul paman Marlon tak pernah berkhianat sekali pun sempat beristri dua.
Dia memang menikahi Candice, tetapi tanpa rasa. Sementara dirinya begitu suci di mata orang malah berkhianat. Ini tidak adil bagi paman Marlon, dia tampak terluka, namun Belle juga tak bisa terus menerus membohongi diri sendiri demi kebahagiaan William. Di sini Belle sudah siap mendengarkan seluruh bentakan pamannya dengan kepala dingin tanpa tersulut emosi.
"Tidak perlu minta maaf, karena aku yang salah, dan aku menyesal." Belle menggigit bibir bawahnya menahan isakan, saat paman Marlon menaruh kedua tangannya di permukaan pipi.
Terasa kasar, sejuk, dan menyakitkan.
"Tapi ..."
"Aku tidak menyalahkanmu Sayang."
"Kau bisa memarahiku."
Masih menatap Belle lembut, Marlon menghela tubuh kecilnya ke pelukan, mendekap hangat sembari memberi kecupan ringan di puncak kepalanya, sebagai balasan yang paling setimpal. Dengan bersikap bertolak belakang. Belle semakin merasa berdosa, gadis itu menangis tersedu-sedu. Tidak lama mendongak untuk melihat Marlon.
"Bagaimanapun aku tak akan pernah melepaskan dirimu, Bell. Kau hanya ada untuk menemani sisa hidupku." Paman Marlon berbisik rendah, lalu mencium Belle.
Tak bisa dielakkan perlakuan lembut Marlon berakhir di atas ranjang, Belle tidak bisa menolak, bahkan bersemu saat mendengar kata cinta pamannya tiada henti sebelum beliau tertidur. Di samping kanan paman Marlon, dalam diam Belle memerhatikan bulu lebat di sekitar dagu lelaki itu dengan gemas.
Sambil melihat paman Marlon tidur, pikiran Belle melayang teringat Liam. Dokter muda yang dermawan, akhir-akhir ini mengganggu pikirannya di saat bersama Marlon ataupun tidak. Belle meluruskan badan menatap atap langit, kerap kali memijat pelipisnya guna keringanan.
Kenapa semua jadi terasa aneh?
Ketika kebahagiaan sudah ada, Belle malah menodainya dengan melukai hati paman Marlon yang mencintai dirinya setulus jiwa dan raga. Bahkan, paman Marlon masih dapat tenang, enggan meributkan ini, jauh Belle pikir dia akan mendapat talak. Oh, ayolah! Kenapa Belle seakan-akan berharap Marlon memilih bercerai?
"Mom!" Tatkala Belle tersentak di saat mendengar pekikan William di luar.
Belle melompat, bergegas datang setelah mengenakan pakaian bersih. Tangannya menjangkau William. Dia mengernyit sejenak, menatap wajah sang anak terlebih dulu, lalu dengan panik memeriksa seluruh badannya yang terasa panas. Oh, yaampun! Si kecil William demam. Spontan Belle memucat, dan mengangkat William.
Belle menggendong William sambil menahan tangis, kendati dia paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Di dalam paman Marlon masih tidur, tapi dia harus membangunkannya untuk masalah darurat seperti ini. Dengan satu tangan Belle menepuk berulang kali pipi paman Marlon, mengguncang, sampai menarik jenggotnya keras.
"Sialan Bell! Kenapa kau ..."
"Paman, William sakit panas."
Keterkejutan paman Marlon berlipat, lelaki itu bangkit dengan cepat untuk memastikan ucapan Belle. Tangannya terulur memeriksa kening William, tak jauh beda dari sang istri Marlon juga memucat dan tidak kalah panik.
"Kita harus menghubungi dokter ..." ucapan paman Marlon menggantung cukup lama, seakan teringat sesuatu.
"Mom, sakit," rengek William dalam gendongan Belle, mengadu sakit.
Sementara Marlon mondar mandir di kamar, berpikir keras mencari jalan keluar selain mengontak dokter Liam juga tidak pergi ke rumah sakit. Ini terasa sulit. Tapi Marlon tidak punya pilihan lain, dihubunginya dokter itu dengan hati terpaksa demi William. Kemudian mengambil alih gendong. Penuh kelembutan Marlon mencoba menenangkan jagoannya, berharap dapat meredakan rasa sakit William.
Tidak lama dokter Liam datang, Rose ikut bersamanya. Ternyata pasangan baru itu sedang bersama saat Marlon menelepon. Baguslah. Semua mereka lakukan dengan cepat, Rose mencatat resep yang Liam sebutkan, sedangkan Belle mengkompres William setelah diperiksa. Kemudian Marlon ke luar saat semuanya sudah beres, William juga tertidur sehabis diberi minum.
"Bell, ini resep obatnya, kau tak perlu cemas, William hanya flu biasa." Rose meremas pundak Belle, memberikan semangat, gadis itu pun mengangguk.
"Rose, Belle, aku tinggal sebentar ya." Pamit dokter Liam, sejurus kemudian menghilang di balik daun pintu.
Saat melihat bayangan Liam, dengan cepat Marlon berbalik, kedua lelaki itu memang sudah sepakat berbicara. Di ruang kecil yang hanya menyediakan dua bangku, Marlon mempersilakan. Cukup lama keduanya terdiam. Tidak ada satu pun memulai pembicaraan, sampai kedatangan Rose mengusik.
Rose membawa toples berisi camilan, ditaruhnya di tengah meja, kemudian berlalu pergi tanpa berkata apa pun. Di situlah Marlon berdeham saat tahu dari mana dia harus memulai. Rose. Setahu Marlon keponakannya tengah berhubungan dengan dokter Liam.
"Bagaimana bisa kau mendekati Rose keponakanku, sementara hatimu tak bersamanya, melainkan pada Belle?"
"Apa maksudmu?"
"Belle sudah menceritakan semuanya padaku, kau tidak bisa berbohong."
Liam terdiam, kaget.
Tidak pernah menyangka Belle akan berani berterus terang pada Marlon, padahal Liam sudah memantapkan untuk berpaling dengan putri Rose. Tetapi sepertinya Belle mempunyai rencana lain, atau jangan-jangan dia merasakan hal yang sama? Mustahil.
"Aku tidak melarangmu mendekati putraku, tetapi bisakah kau tak ikut campur dalam rumah tanggaku?" Lagi, Marlon menekan dokter Liam.
Mati-matian Marlon menahan untuk tidak kepancing emosi, meski rasanya dia ingin sekali menonjok pipi Liam. "Dan, aku bersumpah jika mendapati Rose menangis karena perbuatanmu, kau akan berhadapan denganku."
"Kau tak perlu cemas, aku mencintai Rose seperti aku mencintai istrimu." Setenang alam di malam hari Liam berkata demikian, otomatis membuat aliran darah Marlon bergejolak kuat.
Dalam hitungan detik Marlon sudah bangkit, dan ... bug! Hantaman keras mendarat mulus di rahang kiri Liam. Ketika Marlon hendak melayangkan pukulan berikutnya mendadak Belle muncul bak ksatria bajak hitam, dia menjerit histeris bersamaan dengan pekikan Rose yang melihatnya jatuh. Hantaman kedua Marlon mengenai Belle yang berdiri melindungi Liam.
Seketika jantung Marlon berhenti.
Bahkan, saat Liam membopong Belle, seluruh tubuhnya masih kaku. Tidak bisa digerakkan. Marlon mendengus. Untuk pertama kali dalam hidup, dia telah melukai seorang wanita. Hanya untuk menyelamatkan dokter Liam, Belle rela menanggung pukulannya. Inikah karma? Marlon menangis.