Chereads / Pasangan Beda Usia / Chapter 29 - Bab 27

Chapter 29 - Bab 27

Terhitung sejak perayaan tiga tahun pernikahan mereka, paman Marlon semakin mengerahkan seluruh cintanya pada Belle dan William. Sama sekali tidak perhitungan beliau selalu memberi apapun yang William minta. Kadang Belle merasa lelaki itu berlebihan. Memanjakan anak boleh saja, tetapi jangan keterluan. Belle takut prilaku paman Marlon dapat merusak otak anaknya sehingga menjadi bodoh.

Dug!

"Aaw!" Refleks Belle memegang jidat lebarnya, bersamaan dengan Marlon datang untuk memastikan.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mengusap beberapa kali, air muka beliau tampak pucat. Padahal hanya kepentok bola William.

Entah kenapa, melihat paman Marlon seperti ini mengingatkan Belle pada dokter Liam yang sangat perhatian. Aneh ya? Batin Belle meringis, lantas menggeleng pelan dan tersenyum.

Marlon menghela Belle menuju bangku taman, memberikan minum sambil memerhatikan William yang bermain bola sendirian. Firasatnya mengatakan jika Belle tak baik-baik saja terlihat dari kerlingan mata. Di mana Marlon rasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu, dan cukup membuat mati penasaran.

Menatap lembut, Marlon menahan diri untuk tidak bertanya, dia tahu Belle sudah mengerti. Hanya saja gadis itu enggan bersuara. Seperti berusaha menyembunyikan hingga sebuah suara meleburkan situasi canggung di antara mereka. Tubuh jangkung dokter Liam muncul dengan kotak mainan yang diarahkan pada si kecil William.

"Ayah!" pekik William, menghambur ke dalam pelukan dokter sukses itu. Belle pun bangkit, Marlon menyusul.

"Apa kau yang memberitahu Liam kalau kita liburan di taman ini?"

Otomatis langkah kaki Belle terhenti, jantungnya berdetak kencang sekali.

Tadi pagi Liam meminta izin hendak menjenguk William, karena mereka berencana ke luar jadi Belle memberi alamat tujuannya tanpa Marlon tahu. Ah, tidak! Bukan begitu. Belle berniat memberitahu paman Marlon begitu mereka sampai taman, tapi dia lupa. Alhasil pamannya itu jadi curiga, dia menatap Belle dengan tatapan tajam. Antara sarat akan kecewa dan marah. Ditambah melihat kedekatan William dengan dokter Liam, membuat urat keningnya menonjol jelas. Tidak suka.

"Mom, Dad, lihatlah! Ayah membawa mainan keren untuk William." Anak mereka menjerit seraya mengacung-ngacungkan kotak robot pemberian Liam, wajahnya sangat gembira.

Tidak Marlon maupun Belle sungkan menjawab, keduanya memilih diam atau keadaan semakin rumit. Aneh. Tapi Belle dapat merasakan jikalau kehadiran dokter Liam meredakan sedikit kegelisahan di hatinya. Sejak seminggu terakhir dia terus dihantui perasaan bersalah selepas bertemu. Liam mencurahkan rasa sayangnya terhadap William tanpa kepalsuan. Mengatakan rindu serta cinta pada Belle, sebagai pengakuan terlarang yang diucapkan untuk pertama dan terakhir kali dalam seumur hidup.

Sialnya, perasaan dokter Liam terus menggema di kuping Belle. Tak ayal juga menggetarkan hati di setiap kali mengingat momentum yang sempat terjadi beberapa waktu belakangan. Di rumah kayu sederhana lelaki itu berperan penting bagi William, dari situ Belle dapat kekuatan serta rasa.

"Ketahuilah, tidak seorang pun yang berhasil ketika ada sepasang manusia hidup satu atap meski tanpa ikatan. Sedikit atau banyak perasaanmu akan datang menyalahi aturan. Awalnya kau memang menyangkal, namun semakin jauh kulihat kau tampak berbeda."

"Paman ..." Spontan Belle berbalik, dia menatap lelaki di depannya nyalang. "Kita sudah berjanji saling percaya."

Untuk seperkian detik paman Marlon terdiam, seakan teringat sesuatu lalu mengangguk dengan berat. Belle tahu lelaki ini pencemburu, tetapi dia juga tidak bisa menuduh seenaknya walau kenyataan lebih besar berkata benar. Hingga kini Belle kekeuh menentang. Faktanya paman Marlon yang berhak atas dirinya, dan bukan lelaki lain.

"Mom, kenapa Ayah tidak tinggal di rumah kita saja? Ayolah, kalau kita pindah Ayah juga harus ikut." Belle meringis kecil saat mendengar permintaan William, di sebelahnya paman Marlon merengut sebal.

"Ah, tidak Sayang, Ayah banyak tugas di rumah sakit, jadi harus menginap. Asal yang penting Ayah selalu datang untuk menjenguk William. Iya kan?" Dokter Liam menjawab cepat, sedang Belle tak mampu berkata-kata. Hanya membatu sesekali melirik ke arah paman Marlon.

Susah payah Marlon menahan agar tetap tenang, mengendalikan diri di hadapan semua orang terutama di depan William. Anaknya lebih menyayangi orang lain ketimbang ayah sendiri. Ironis memang. Dari kecil William sudah dekat dengan Liam, ini adalah kesalahannya. Andai saja dulu Belle tidak pergi mungkin dia akan menjadi seorang ayah sungguhan.

Dicintai William segenap hati.

"Apa anak Ayah sudah makan?" Liam menatap bocah lucu di depannya, dia berjongkok sambil merapikan sedikit rambut lebat nan ikal milik William.

"Eum, sudah, tapi sekarang lapar lagi. William ingin makan dengan Ayah."

Mengangguk sekali, dokter Liam pun bangkit, mendekati kedua orang tua kandung William untuk meminta izin.

"Marlon, Belle, bolehkah William ikut denganku untuk makan siang?"

"Tidak."

Sontak Belle melotot, kaget.

"Kami akan pulang, sampai jumpa." Tandas Marlon, menggendong tubuh mungil William, lalu menggandeng tangan kecil Belle dengan possesif.

Di sepanjang jalan William merengek, memukuli wajah paman Marlon, dia menangis seolah telah meninggalkan kesempatan berharga bersama Liam. Sementara Belle semampunya sigap, kerap kali menangkap tangan si kecil, lalu memeluknya ke dada meski tak bertahan lama. Karena William terus mencari jalan menghabisi pamannya dengan kekuatan yang sangat payah.

Tapi paman Marlon diam saja seakan tidak ada kejadian sama sekali, tetap fokus pada jalan tanpa terkecoh atau semua akan menjadi lebih rumit. Dia mencoba tak mendengarkan apapun. Termasuk rengekan William beserta keanarkisannya, juga sentuhan Belle.

"Paman, tolong maafkan anak kita." Belle meremas paha paman Marlon, sesaat berhasil mendekap William ke dada sehingga tak dapat bergerak.

"Huhuh, Dad jahat, William sayang Ayah, semuanya jahat, Mom juga jahat."

"Cup, cup! Kau tidak mengerti sayang, tidurlah, jangan menangis terus."

Tak berlangsung lama William tidur, kepalanya melemas di atas pangkuan Belle, sepertinya dia kelelahan. Lalu gadis itu mati-matian menyakinkan paman Marlon, kalau anak mereka masih terlalu kecil untuk mengerti. Meski tidak ada jawaban Belle terus berbicara seorang diri, hingga ban mobil mendarat di halaman rumah.

Tanpa berkata sepatah kata paman Marlon beranjak keluar, mendahului Belle bahkan membiarkan William. Tidak sedikit pun berniat membantu Belle, dia kelihatan sangat kecewa. Seharusnya momen ini tak terulang lagi, namun keadaan yang membuat runyam sampai melukai William.

"Aah, Sayang, maafin Dad, dan Mom juga, kami sangat menyayangimu." Cup! Belle mendaratkan kecupan di kening William, sebelum membawa dirinya di dalam gendongan ke luar.

Seusai menaruh William di ranjang tidur, Belle bergegas mencari paman Marlon ke sepenjuru ruangan. Belle sangat merasa bersalah atas hadirnya dokter Liam di antara kebahagiaan mereka, jadi dia harus minta maaf. Sampai benar-benar dimaafkan. Di teras dapur Marlon duduk tercenung memikirkan kekurangannya, hingga William bisa berlaku demikian.

"Paman, ingin kubuatkan teh?" tanya Belle di ambang pintu, Marlon diam.

Oh, astaga! Ujian apalagi ini, kapan masalah kami segera berakhir?

"Maaf."

"Tidak perlu minta maaf Bell, aku yang salah," jawab paman Marlon, tanpa melihat ke arahnya, nyesek.

"Aku harus."

"Jika kau tidak mempunyai perasaan apapun pada dokter Liam, kau tidak harus minta maaf karena semuanya kesalahanku, meski aku bisa melihat dirimu seakan-akan berdosa. Hm, jadi sekarang aku tanya, apa hatimu telah terpecah belah wahai istriku?" Kini paman Marlon sudah berdiri di depan Belle, menatapnya dalam. Menunggu jawaban sekaligus kepastian.

"Ya, aku ..."